Oleh : Ahmad Sastra
Kepemimpinan
dalam pandangan agama bukan sekadar memegang kekuasaan, tetapi adalah amanah
yang harus dijalankan dengan adil, bijaksana, dan takut kepada Allah. Namun,
sejarah mencatat adanya figur-figur yang menyalahgunakan kekuasaan demi
kepentingan pribadi. Salah satu simbol terbesar dari kepemimpinan yang
menyimpang adalah Fir’aun, penguasa Mesir dalam kisah Nabi Musa ‘alaihissalam.
Dalam
konteks modern, istilah “pemimpin berjiwa Fir’aun” merujuk pada pemimpin yang
zalim, otoriter, antikritik, serta menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk
menindas rakyat, bukan untuk melayani mereka.
Tulisan ini
mengajak kita merenungkan ciri-ciri pemimpin seperti itu dan dampaknya terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, kesombongan: “Akulah Tuhanmu yang
Paling Tinggi”. Fir’aun adalah simbol dari kesombongan mutlak. Dalam Al-Qur’an,
ia secara terang-terangan menyatakan “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (QS.
An-Nazi’at: 24)
Ucapan ini
mencerminkan bentuk kesombongan tertinggi: mengklaim ketuhanan, merasa diri
paling benar, dan menolak keberadaan Tuhan yang sesungguhnya. Di masa kini,
kesombongan ini bisa bermetamorfosis menjadi sikap antikritik, merasa tak perlu
nasihat, dan memandang rakyat atau bawahannya sebagai entitas rendah yang hanya
pantas diperintah, bukan dilayani.
Kedua, kezaliman dan pemecah-belah rakyat. Fir’aun
dikenal sebagai pemimpin yang membagi masyarakat untuk mempertahankan
kekuasaannya: “Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi
dan menjadikan penduduknya berpecah-belah...” (QS. Al-Qasas: 4)
Ia memecah
masyarakat dalam kelas dan kelompok, memperalat satu kelompok untuk menindas
kelompok lain. Strategi "divide et impera" ini masih digunakan oleh
banyak pemimpin otoriter, yang sengaja menciptakan polarisasi, menyulut
kebencian antar golongan, dan menebar rasa takut demi menguatkan cengkeraman
kekuasaan.
Ketiga, takut kehilangan kekuasaan. Fir’aun menolak
kebenaran yang dibawa oleh Nabi Musa bukan karena ia tidak memahami, tetapi
karena takut kehilangan kekuasaannya: “Sesungguhnya aku khawatir dia (Musa)
akan mengganti agamamu atau menimbulkan kerusakan di negeri ini.” (QS.
Al-Mu’min: 26).
Pemimpin berjiwa Fir’aun tidak melihat kebenaran
sebagai sesuatu yang harus diikuti, tetapi sebagai ancaman terhadap
singgasananya. Maka tak heran, mereka akan menyingkirkan orang jujur,
mengkriminalisasi lawan politik, atau bahkan memanipulasi hukum demi
mempertahankan tahta.
Keempat, menyalahgunakan kekuasaan dan aparat. Fir’aun
memiliki pasukan dan penasihat yang tunduk sepenuhnya kepadanya. Ia menggunakan
kekuatan mereka untuk menakut-nakuti dan menghukum siapa saja yang
menentangnya. Hal ini digambarkan dalam Al-Qur’an saat ia mengancam Nabi Musa: “Jika
kamu mengambil Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah
satu dari orang-orang yang dipenjarakan.” (QS. Asy-Syu’ara: 29).
Model
seperti ini masih kita saksikan ketika pemimpin menjadikan hukum sebagai alat
kekuasaan, bukan alat keadilan. Media, aparat, dan lembaga hukum bisa saja
dijadikan senjata untuk membungkam suara-suara kritis.
Kelima, menolak kebenaran walau telah nyata. Salah
satu karakter Fir’aun yang paling tragis adalah penolakannya terhadap kebenaran
meskipun ia telah melihat bukti-bukti nyata dari Nabi Musa: “Dan mereka
mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini
(kebenarannya).” (QS. An-Naml: 14).
Pemimpin
berjiwa Fir’aun sering kali tahu bahwa yang mereka lakukan salah, namun karena
ego dan hawa nafsu, mereka tetap melanggengkan kezaliman.
Keenam, akhir yang penuh penyesalan. Pada akhirnya,
Fir’aun ditenggelamkan di laut, dan ia baru mengakui kebenaran saat ajal telah
datang: “(Fir’aun berkata), ‘Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan selain Tuhan
yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah
diri.’” (QS. Yunus: 90)
Namun,
penyesalan di ujung nyawa tidak berguna. Ini adalah peringatan bahwa kekuasaan
tanpa iman akan berujung pada kehinaan di dunia dan akhirat. Kisah Fir’aun
bukan sekadar sejarah, tapi cermin bagi siapa pun yang memegang amanah
kekuasaan. Pemimpin sejati adalah mereka yang takut kepada Allah, mendengar
nasihat, bersikap adil, dan melayani rakyat dengan hati yang tulus. Sebaliknya,
pemimpin berjiwa Fir’aun akan membawa kehancuran, baik bagi dirinya maupun bagi
bangsanya.
Mari kita
berdoa agar negeri ini dijauhkan dari pemimpin yang berjiwa Fir’aun, dan
dikaruniai pemimpin yang mengikuti jejak para nabi: jujur, adil, rendah hati,
dan takut kepada Allah, yakni disaat negeri ini mau melakukan transformasi
dengan menerapkan hukum Allah secara kaffah. Jika negeri ini masih menerapkan
sistem kapitalisme, sekulerisme demokrasi, maka pemimpin fir’aun kana muncul
kembali. Apalagi jika menerapkan komunisme ateis.
Kekuasaan
hanyalah titipan. Yang kekal hanyalah amal baik dan keadilan yang ditanamkan
selama memimpin. “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Meneladani Kepemimpinan
Rasulullah
Dalam
sejarah peradaban manusia, banyak tokoh muncul sebagai pemimpin besar. Namun,
tidak ada yang menandingi kesempurnaan kepemimpinan Nabi Muhammad ﷺ. Ia tidak hanya berhasil memimpin umat
dalam aspek spiritual, tetapi juga membangun sistem sosial, politik, dan
ekonomi yang adil serta penuh kasih sayang.
Kepemimpinan
Rasulullah ﷺ adalah manifestasi nyata dari nilai-nilai
Qur'ani: amanah, adil, sabar, tegas, dan penuh kasih. Kepemimpinannya telah
terbukti membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia, dari masyarakat
jahiliah menuju masyarakat yang beradab.
Pertama, kepemimpinan berbasis wahyu dan keteladanan. Rasulullah
ﷺ memimpin tidak berdasarkan hawa nafsu atau
kepentingan pribadi, tetapi sepenuhnya atas dasar wahyu: "Dan tidaklah
yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan." (QS. An-Najm: 3–4)
Ia menjadi
teladan dalam setiap aspek kehidupan. Allah sendiri menyatakan: "Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu..." (QS.
Al-Ahzab: 21)
Rasulullah ﷺ tidak memerintah dengan kata-kata semata,
tetapi dengan perbuatan. Ia memberi contoh langsung sebelum menuntut orang lain
untuk mengikuti.
Kedua, pemimpin yang adil dan bijaksana. Rasulullah ﷺ sangat menjunjung tinggi keadilan, bahkan
terhadap orang-orang terdekatnya. Dalam satu kisah, ketika seorang wanita dari
kalangan bangsawan Quraisy mencuri dan masyarakat hendak memberi keringanan,
Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Allah, seandainya Fatimah
putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR.
Bukhari).
Ini
menunjukkan bahwa hukum berlaku bagi siapa pun, tanpa pandang bulu. Rasulullah ﷺ tidak membiarkan kekuasaan menjadi alat
untuk membela orang-orang dekat atau menindas lawan.
Ketiga, pemimpin yang lemah lembut dan penuh kasih. Salah
satu sifat utama Rasulullah ﷺ dalam memimpin adalah
rahmah (kasih sayang): "Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad), melainkan
untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya: 107)
Ia tidak
memimpin dengan kekerasan atau kekakuan, tetapi dengan kelembutan. Allah
berfirman: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka akan lari dari sekelilingmu...” (QS. Ali Imran: 159).
Ini adalah
prinsip penting dalam kepemimpinan: seorang pemimpin harus menyentuh hati
rakyatnya, bukan hanya memerintah mereka.
Keempat, pemimpin yang mendengar dan musyawarah. Rasulullah
ﷺ tidak memimpin secara otoriter. Ia selalu melibatkan
sahabat-sahabatnya dalam musyawarah, bahkan dalam urusan penting seperti
strategi perang: “...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah...” (QS. Ali Imran: 159)
Contoh nyata
ketika dalam Perang Uhud, Rasulullah ﷺ
awalnya ingin bertahan di Madinah, namun setelah musyawarah, beliau mengikuti
pendapat mayoritas untuk bertempur di luar kota.
Kelima, pemimpin yang amanah dan antikorupsi. Sejak
muda, Rasulullah ﷺ dijuluki Al-Amin
(yang terpercaya). Sebagai pemimpin, beliau tidak mengambil keuntungan dari
jabatannya. Beliau hidup sederhana, bahkan saat menjadi kepala negara di Madinah.
Rasulullah ﷺ
melarang keras penyalahgunaan jabatan: “Siapa yang kami angkat menjadi pejabat
lalu dia mengambil sesuatu (dari harta umat) selain dari apa yang diberi
padanya, maka itu adalah ghulul (penggelapan), dan ia akan datang pada Hari
Kiamat dengan membawa barang itu di pundaknya.” (HR. Muslim).
Keenam, pemimpin yang rendah hati dan tidak mencari
kekuasaan. Rasulullah ﷺ tidak pernah
mencalonkan diri sebagai pemimpin; justru rakyatlah yang datang kepada beliau
karena kepercayaan yang tinggi. Ketika beliau telah menjadi pemimpin besar, ia
tetap rendah hati: duduk di tanah, menjahit sandalnya sendiri, dan makan
bersama rakyat biasa.
Beliau
bersabda: “Barang siapa yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan
mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).
Ketujuh, kepemimpinan transformasional karena Rasulullah
mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi umat beradab. Rasulullah ﷺ berhasil mentransformasi masyarakat Arab
yang terpecah-belah, brutal, dan jahiliah menjadi masyarakat yang bersatu,
bermoral tinggi, dan berperadaban. Inilah bukti keberhasilan seorang pemimpin
sejati: ia tidak hanya memelihara status quo, tapi membawa perubahan besar yang
mengangkat derajat umat.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1076/19/07/25 : 20.39 WIB)