Oleh : Ahmad Sastra
Kepemimpinan dalam ranah politik seharusnya mengemban
misi kesejahteraan rakyat, bukan sekadar pencapaian kekuasaan. Artikel ini
membahas fenomena meningkatnya motivasi kekuasaan dalam politik tanpa diiringi
komitmen terhadap pelayanan publik. Pendekatan yang digunakan bersifat
deskriptif-analitis dengan merujuk pada teori kepemimpinan publik, konsep etika
politik, serta contoh konkret dari dinamika politik Indonesia.
Temuan menunjukkan bahwa banyak elite politik lebih
fokus pada perebutan jabatan daripada implementasi kebijakan yang pro-rakyat.
Oleh karena itu, artikel ini menekankan pentingnya integritas, akuntabilitas,
dan visi jangka panjang dalam kepemimpinan politik. Sistem demokrasi, dimana
kekuasaan diperebutkan seringkali menjadikan orang hanya sekedar ingin
berkuasa.
Sementara rakyat tak diurus, sebab mereka bukan orang
yang punya kompetensi, hanya sekedar populer dan punya uang. Akhirnya saat
berkuasa, lupa rakyat dan hanya menumpuk-numpuk harta. Bahkan banyak yang tak
mau tahu tentang halal dan haram. Mereka sibuk menumpuk harga, meski dengan
jalan korupsi. Padahal berpolitik itu bukan tentang sekedar berkuasa, tapi
amanah rakyat yang harus ditunaikan dan dipertanggungjawabkan.
Dalam sistem demokrasi, secara normative, kekuasaan
merupakan amanah yang diberikan oleh rakyat kepada individu atau kelompok untuk
mengelola negara dan memastikan terpenuhinya kebutuhan publik. Namun, dalam
praktiknya, tidak sedikit politisi yang hanya menjadikan kekuasaan sebagai
tujuan akhir, bukan sebagai alat untuk melayani.
Fenomena ini berbahaya karena berpotensi menciptakan
pemerintahan yang otoriter, korup, dan jauh dari aspirasi rakyat. Jika pemimpin
hanya mengejar jabatan tanpa niat tulus melayani, maka kesejahteraan rakyat
akan terabaikan. Inilah yang terjadi saat ini di negeri ini. Akhirnya rakyat
marah dan muak kepada para penguasa yang saat pemilu dipilih karena obral janji
setinggi langit.
Secara normatif, kekuasaan dalam politik adalah sarana
untuk mencapai kebaikan bersama. Max Weber (1947) membedakan tiga jenis
otoritas dalam kepemimpinan: tradisional, karismatik, dan legal-rasional. Dalam
konteks negara modern, idealnya kekuasaan dijalankan secara legal-rasional,
berbasis hukum dan akuntabilitas publik. Namun, dalam praktiknya, banyak
pemimpin lebih menampilkan gaya kepemimpinan karismatik dan populis untuk
mendapatkan dukungan, tanpa komitmen nyata pada perubahan struktural. Bahkan banyak
diantara pemimpin yang tidak punya kapasitas yang memadai. Inilah wajah buruk sesungguhnya
akibat penerapan demorkasi sekuler.
Fenomena ini semakin terlihat saat pemilu: janji manis
ditebar, slogan diangkat, namun setelah terpilih, janji tinggal janji. Rakyat
yang seharusnya menjadi prioritas, justru dipinggirkan. Infrastruktur dibangun
bukan berdasarkan kebutuhan mendesak rakyat, tapi demi pencitraan. Kebijakan
dibuat bukan untuk menyelesaikan masalah publik, tapi untuk menjaga
elektabilitas.
Paradigma kekuasaan yang sehat menempatkan rakyat
sebagai subjek, bukan objek. Artinya, rakyat bukan sekadar "target"
kampanye atau "alat" pengumpulan suara, melainkan mitra dalam
pembangunan. John Locke dalam teori kontrak sosial menegaskan bahwa kekuasaan
politik sah hanya jika dibangun atas dasar persetujuan rakyat dan dijalankan
untuk kepentingan umum. Jika pemimpin mengabaikan suara rakyat, maka legitimasi
kekuasaannya patut dipertanyakan.
Masalah muncul ketika kekuasaan justru menjauhkan
pemimpin dari rakyat. Pemimpin sibuk dengan urusan elite, negosiasi politik,
atau konsesi kepada oligarki, sementara kebutuhan dasar masyarakat seperti
pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja diabaikan. Hal ini tidak hanya
mencederai demokrasi, tetapi juga meningkatkan ketimpangan sosial dan
ketidakpercayaan publik terhadap negara.
Untuk menghindari kekuasaan yang kosong nilai,
dibutuhkan kepemimpinan yang visioner dan beretika. Visioner berarti memiliki
pandangan jangka panjang tentang pembangunan, bukan hanya kepentingan lima
tahunan. Beretika berarti mengedepankan nilai keadilan, kejujuran, dan
keberpihakan pada kelompok rentan.
Menurut James MacGregor Burns (1978), kepemimpinan
transformasional adalah tipe pemimpin ideal yang mampu menginspirasi perubahan
positif dalam masyarakat. Pemimpin seperti ini tidak hanya berpikir tentang
kemenangan politik, tapi tentang dampak kebijakannya bagi generasi mendatang.
Mereka menempatkan integritas di atas ambisi, dan kepentingan publik di atas
kepentingan pribadi.
Dalam konteks Indonesia, banyak contoh menunjukkan
kesenjangan antara janji politik dan implementasi nyata. Misalnya,
program-program unggulan yang hanya menjadi "pajangan" tanpa
pelaksanaan maksimal. Atau janji reformasi birokrasi yang tidak menyentuh akar
masalah korupsi dan inefisiensi. Pemimpin daerah maupun nasional kerap lebih
fokus pada "branding politik" daripada penguatan pelayanan publik.
Padahal, tantangan Indonesia sangat kompleks:
kemiskinan struktural, ketimpangan wilayah, kerusakan lingkungan, serta ancaman
intoleransi. Semua ini membutuhkan pemimpin yang betul-betul hadir untuk
rakyat, bukan hanya aktif saat musim kampanye.
Menjadi pemimpin bukanlah tentang sekadar berkuasa,
tetapi tentang bagaimana menggunakan kekuasaan itu untuk mengurus rakyat. Tanpa
visi, integritas, dan komitmen, kekuasaan hanya akan melahirkan pemerintahan yang
kering makna dan kehilangan kepercayaan publik.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk kritis
dalam memilih pemimpin, dan bagi para calon pemimpin untuk merenungi kembali
motivasi mereka: apakah mereka benar-benar ingin melayani, atau hanya sekadar
ingin menguasai?. Coba tanyakan kepada rumput yang bergoyang.
Daftar Pustaka
- Burns, J. M. (1978). Leadership. New York: Harper & Row.
- Locke, J. (1690). Two Treatises of Government.
- Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization.
- Wahid, A. (2001). Menggerakkan Tradisi. Jakarta: Kompas.
- Prasetyo, A. (2020). “Etika Politik dan Kepemimpinan Publik”, Jurnal
Ilmu Sosial dan Humaniora, 5(2), 123–135
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1116/01/09/25 : 09.59
WIB)