Oleh : Ahmad Sastra
Dakwah bukan sekadar menyampaikan ajaran agama, tetapi
merupakan proses perubahan sosial, kultural, dan spiritual yang menyeluruh.
Dalam sejarah Islam, dakwah Rasulullah SAW dari Mekkah hingga tegaknya Daulah
Islam di Madinah adalah contoh nyata dari dakwah transformasional berbasis
ideologis Islam, sebuah pendekatan dakwah yang mengubah individu, komunitas,
hingga tatanan sosial-politik secara sistemik dan berkelanjutan.
Periode Mekkah merupakan tahap awal dakwah Rasulullah
SAW yang penuh tantangan. Selama lebih dari satu dekade, fokus utama beliau
adalah pembinaan akidah, pemurnian tauhid, dan perbaikan akhlak umat. Dakwah
pada tahap ini bersifat individual dan sembunyi-sembunyi, sebelum akhirnya
terbuka kepada publik.
Rasulullah membangun komunitas kecil yang kokoh secara
spiritual dan ideologis, dimulai dari orang-orang terdekat: Khadijah, Abu
Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Mereka bukan sekadar
pengikut, melainkan kader yang siap berjuang dan menyebarkan nilai-nilai Islam.
Masyarakat Quraisy pada saat itu hidup dalam sistem
sosial yang sarat kesenjangan, kesyirikan, dan eksploitasi yang sering disebut
sebagai sistem jahiliah. Rasulullah datang dengan pesan kesetaraan, keadilan,
dan tauhid, yang secara langsung mengancam tatanan lama. Akibatnya, beliau dan
para sahabat mengalami tekanan, boikot, dan kekerasan.
Namun, ini adalah proses transformasi kesadaran.
Rasulullah menanamkan nilai-nilai utama Islam: keadilan, persaudaraan, empati,
dan ketakwaan. Ini adalah fondasi penting sebelum perubahan struktural dapat
terjadi.
Peristiwa hijrah bukan sekadar perpindahan geografis,
melainkan strategi dakwah yang matang. Di Madinah, Rasulullah disambut oleh dua
suku besar, Aus dan Khazraj, yang telah lelah dengan konflik internal. Mereka
menerima Islam bukan hanya karena kebenaran ajarannya, tetapi juga karena
melihat sosok pemimpin yang adil dan visioner dalam diri Muhammad SAW.
Di kota ini, dakwah Rasulullah memasuki fase transformasi
sosial-politik. Rasulullah membentuk konstitusi Madinah (Mitsaq al-Madinah), sebuah
dokumen yang memayungi seluruh elemen masyarakat, termasuk Yahudi dan
non-Muslim. Konstitusi ini menjamin beragama bagi penduduknya, keadilan, serta
hak dan kewajiban seluruh warga negara dalam naungan institusi Daulah Madinah.
Rasulullah juga membangun masjid sebagai pusat
peradaban. Masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga menjadi tempat
pendidikan, musyawarah, dan pengambilan keputusan, bahkan pusat pemerintahan. Rasulullah mendorong terbentuknya masyarakat berperadaban
tinggi dan mulia.
Melalui pendekatan dakwah yang terbuka, dialogis,
penuh kasih sayang, namun tegas terhadap kebatilan, Madinah tumbuh menjadi
masyarakat yang kohesif, adil, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama
dengan penerapan syariah Islam secara kaffah.
Dari perjalanan dakwah Rasulullah SAW, kita bisa
merumuskan beberapa prinsip utama dakwah transformasional:
Pertama, berbasis pada perubahan nilai (value-based). Dakwah
Rasulullah menanamkan nilai-nilai dasar Islam: tauhid, kejujuran, keadilan, dan
kasih sayang. Perubahan yang bertahan lama hanya bisa terjadi jika dimulai dari
perubahan cara berpikir dan keyakinan.
Kedua, membangun manusia sebagai subjek perubahan
(empowerment)
Rasulullah tidak hanya memimpin, tapi juga membangun kader, individu-individu
yang memiliki integritas, kecerdasan, dan daya juang tinggi. Mereka inilah yang
kemudian menjadi pilar-pilar umat.
Ketiga, mengintegrasikan aspek spiritual dan
sosial-politik. Dakwah Rasulullah tidak berhenti pada ranah pribadi, tetapi
menembus ranah sosial dan politik. Beliau mengatur tata kota, hubungan antar
komunitas, hingga strategi pertahanan negara. Inilah yang disebut sebagai
dakwah ideologis yang mengubah pola pikir dan pola sikap masyarakat sehingga
membentuk kepribadian Islam.
Keempat, bersifat kontekstual dan fleksibel. Rasulullah
sangat memahami konteks budaya dan sosial tempat beliau berdakwah. Di Mekkah,
beliau bersabar dan membina; di Madinah, beliau membangun dan memimpin.
Kelima, mengutamakan strategi jangka panjang. Rasulullah
tidak tergesa-gesa. Seluruh proses dakwah beliau berlangsung dalam tiga fase
utama: pembinaan (tatsqif), perjuangan (kifah), dan penegakan sistem (tamkin).
Di tengah krisis identitas, degradasi moral, dan
ketimpangan sosial saat ini, pendekatan dakwah transformasional menjadi sangat
relevan. Dakwah bukan hanya soal ceramah, tetapi bagaimana mengubah sistem
berpikir, pola hidup, dan struktur sosial menuju tatanan yang lebih adil,
beradab, dan berketuhanan.
Kita membutuhkan para dai, pendidik, dan pemimpin umat
yang tidak hanya memahami teks, tetapi juga mampu membaca konteks. Mereka harus
menjadi agen perubahan, bukan hanya pengulang narasi lama. Dakwah transformatif
saat ini membutuhkan para pengemban dakwah ideologis.
Dakwah pemikiran merupakan jantung dari kebangkitan
umat Islam. Seiring perkembangan zaman, dakwah mengalami transformasi, tidak
hanya dari sisi metode, tetapi juga dari sisi visi dan orientasi perjuangan. Di
era modern yang diwarnai oleh globalisasi, disinformasi, dan fragmentasi umat,
dakwah harus berperan sebagai instrumen utama dalam membangun kesadaran
kolektif menuju tegaknya khilafah dan persatuan umat Islam sedunia.
Transformasi dakwah modern tidak bisa dilepaskan dari
realitas umat hari ini. Umat Islam tersebar di berbagai negara, namun
tercerai-berai dalam batas-batas nasionalisme, konflik sektarian, dan
kepentingan politik jangka pendek. Sistem sekuler yang mendominasi kehidupan
umat telah memisahkan agama dari politik dan hukum, menjauhkan Islam dari
perannya sebagai sistem hidup yang menyeluruh.
Di sinilah dakwah modern harus mengambil peran sebagai
gerakan intelektual, spiritual, dan politis. Para dai dan aktivis Islam tidak
cukup hanya menyampaikan ajaran akhlak, tetapi juga harus mengangkat kesadaran
umat tentang pentingnya persatuan global dan penerapan syariat Islam secara
kaffah.
Khilafah bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan
sistem pemerintahan Islam yang terbukti mampu menyatukan umat selama
berabad-abad. Dakwah modern perlu menghidupkan kembali semangat ini, bukan
melalui kekerasan atau pemaksaan, tetapi melalui pencerahan dan pendidikan
politik Islam.
Langkah-langkah strategisnya antara lain: (1) Membangun
kesadaran politik umat melalui media, pendidikan, dan diskusi terbuka. (2) Menghubungkan
komunitas-komunitas Islam lintas negara untuk memperkuat solidaritas global.
(3) Mendorong lahirnya kepemimpinan Islam yang visioner, adil, dan amanah.
Sheikh Taqiuddin An-Nabhani, pendiri Hizb ut-Tahrir
dan pemikir Islam kontemporer, membagi proses dakwah (aktivitas untuk
menegakkan Islam secara kaffah dalam kehidupan) ke dalam tiga marhalah
(tahapan) utama. Tiga marhalah ini dijelaskan secara sistematis dalam berbagai
karya beliau, terutama dalam kitab Nizhamul Islam, Takatul Hizbi,
dan Mafahim Hizb ut-Tahrir.
Pertama, Marhalah Tatsqif (Tahap Pembinaan dan
Pendidikan). Tujuannya membentuk individu-individu yang memiliki syakhsiyah
Islamiyah (kepribadian Islam) dan kesiapan untuk menjadi pengemban dakwah.
Pada tahap ini, fokus utama adalah menanamkan
pemikiran dan pemahaman Islam secara mendalam kepada individu. Hal ini
dilakukan melalui halaqah (lingkaran pengajian), diskusi ideologis, dan
pembinaan intensif.
Individu yang dibina diarahkan untuk memahami Islam
sebagai ideologi (mabda’) yang memiliki aqidah dan sistem kehidupan. Tujuan
jangka panjangnya adalah terbentuknya kutlah (kelompok ideologis) yang solid
dan siap menjalankan perjuangan politik Islam.
Kedua, Marhalah Tafa'ul Ma'al Ummah (Berinteraksi
dengan Umat). Tujuan marhalah ini adalah membangun kesadaran politik dan opini
umum di tengah umat berdasarkan Islam. Pada tahap ini, kelompok dakwah mulai berinteraksi
secara luas dengan masyarakat, menyampaikan pemikiran-pemikiran Islam secara
terbuka melalui mimbar umum, media, diskusi publik, dan aktivitas dakwah
politik.
Tujuannya adalah mengubah pemikiran masyarakat dari
yang bersifat sekuler, kapitalistik, atau nasionalistik menuju pemikiran Islam
yang kaffah. Kelompok dakwah mendorong opini umum yang mendukung penerapan
syariat Islam dan khilafah sebagai sistem pemerintahan. Namun, kelompok tetap tidak
menggunakan kekerasan atau upaya militer, interaksinya tetap bersifat
intelektual dan politis.
Ketiga, Marhalah Istilamul Hukm (penerapan hukum
Islam). Tujuan tahap ini adalah menegakkan kembali Khilafah Islamiyah dan
menerapkan Islam secara menyeluruh dalam negara.
Ini adalah tahap akhir dari dakwah, yakni penerapan
syariah Islam kaffah secara sah dan legal, dengan dukungan nyata dari umat dan
pertolongan (nushrah) dari ahlul quwwah (pemilik kekuatan, seperti militer).
Bukan kudeta atau pemberontakan berdarah, tetapi peralihan
sistem secara strategis untuk menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan. Setelah
kekuasaan diraih, langkah berikutnya adalah menerapkan syariat Islam secara
menyeluruh, membangun struktur negara khilafah, menyatukan negeri-negeri
Muslim, dan melanjutkan dakwah ke seluruh dunia.
Marhalah dakwah menurut Sheikh Taqiuddin An-Nabhani
merupakan pendekatan sistematis, ideologis, dan politis untuk menegakkan Islam
dalam kehidupan nyata. Ketiga tahap ini bukan sekadar urutan kegiatan, tetapi
strategi menyeluruh untuk: (1) Membangun individu ideologis (2) Mengubah
masyarakat secara intelektual dan politik (3) Mewujudkan sistem pemerintahan
Islam dalam bentuk Khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah
Khilafah tidak akan terwujud tanpa adanya persatuan
hati dan pemikiran umat. Dakwah modern harus menembus batas bahasa, mazhab, dan
wilayah geografis. Teknologi informasi hari ini menjadi alat dakwah global yang
sangat efektif, dari media sosial hingga forum internasional, yang harus
dimanfaatkan untuk menyebarkan pesan persatuan dan perjuangan Islam.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1117/03/09/25 : 05.10
WIB)