ILUSIKRASI



 

Oleh: Ahmad Sastra

 

Demokrasi sering dianggap sebagai puncak dari peradaban politik modern. Di ruang kelas, media massa, hingga panggung internasional, demokrasi dipromosikan sebagai sistem pemerintahan yang ideal, mewakili suara rakyat, menjamin kebebasan, dan menghindari tirani. Namun, apakah demokrasi sungguh memberikan kekuasaan kepada rakyat, ataukah ini hanya sebatas ilusi partisipasi yang dibungkus dengan jargon kebebasan?.

 

Fenomena yang disebut "ilusikrasi", ilusi demokrasi, merupakan kritik terhadap praktik demokrasi modern yang tampaknya bebas dan inklusif, padahal dalam kenyataannya penuh manipulasi, ketimpangan, dan penguasaan tersembunyi oleh segelintir elite. Demokrasi yang dijalankan saat ini bisa menjadi sistem yang secara ironis menutupi ketidakadilan dan mempertahankan status quo kekuasaan. Semua janji demokrasi adalah ilusi semata.

 

Demokrasi perwakilan menjadi bentuk paling umum dalam sistem modern. Rakyat memilih wakil, dan wakil itulah yang mengambil keputusan politik. Namun, kritik utama terhadap sistem ini adalah munculnya jarak antara rakyat dan wakilnya.

 

Setelah terpilih, para wakil seringkali tidak lagi merasa terikat oleh kepentingan publik, melainkan oleh kepentingan partai, donor politik, atau kelompok kepentingan tertentu. Para wakil rayat justru sibuk menumpuk harta, sibuk mengembalikan modal politik bahkan sibuk menipu rakyat yang memilihnya. Tidak jarang, para pejabat berubah menjadi penjahat. Kerjanya garong uang rakyat.

 

Inilah yang disebut sebagai “representasi semu”, rakyat merasa memiliki suara, tetapi suara itu dengan cepat diserap dan dibentuk ulang oleh mekanisme politik yang tertutup dan elitis. Pilihan yang tersedia dalam pemilu pun seringkali terbatas pada segelintir kandidat yang berasal dari kelompok sosial dan ekonomi yang sama, sehingga tak benar-benar mencerminkan keragaman suara rakyat.

 

Bahkan karena berbiaya tinggi, demokrasi hanya membutuhkan popularitas dan finansialitas, bukan kapasitas atau kualitas. Tak heran, jika demokrasi tak lebih dari gerombolan orang-orang yang tak punya kapasitas, tapi dipaksa memilikirkan urusan negara dan rakyat. Demokrasi tak lebih dari gerombolan perampok yang membungkus dengan janji-janji kesejahteraan rakyat.

 

Demokrasi seharusnya mengandalkan kesadaran dan kebebasan berpikir rakyat. Namun, dalam praktiknya, industri media dan konsultan politik memegang peran besar dalam membentuk opini publik. Kampanye politik bukan lagi tentang debat ide, melainkan tentang pencitraan, branding, dan manipulasi emosi pemilih. Para buzzeRp meraup uang dengan menjual manipulasi.

 

Fenomena ini memunculkan istilah “demokrasi spektakuler”, di mana politik berubah menjadi ajang hiburan. Wacana publik dibentuk melalui slogan dan narasi dangkal yang dirancang untuk menarik perhatian, bukan untuk mencerdaskan. Akibatnya, rakyat memilih bukan berdasarkan pertimbangan rasional, tetapi berdasarkan persepsi yang telah dimanipulasi oleh media dan iklan politik.

 

Tak heran, jika telah tiba masa pemilu, banyak pihak yang meraup keuntungan materi, seperti para dukun, buzzeRp, tukang survey, tukang spanduk, tukang kaos dan bendera, preman pasar, para cukong, dan tentu saja para penjilat. Demokrasi hanyalah permainan para elit jahat yang menggukan uang sebagai senjatanya.

 

Dalam praktiknya, demokrasi modern berjalan berdampingan dengan sistem ekonomi kapitalisme. Kritik muncul ketika kekuasaan ekonomi yang besar digunakan untuk memengaruhi kebijakan politik. Perusahaan besar dan konglomerat memiliki akses kepada para pembuat kebijakan melalui lobi politik, sumbangan kampanye, atau bahkan penguasaan media.

 

Akibatnya, keputusan politik sering kali lebih mencerminkan kepentingan pasar daripada kepentingan publik. Isu-isu seperti ketimpangan sosial, eksploitasi lingkungan, dan kesejahteraan rakyat cenderung dikesampingkan demi menjaga iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi. Di titik ini, demokrasi tak ubahnya alat legitimasi untuk sistem ekonomi yang eksploitatif.

 

Di negeri yang menerapkan demokrasi justru rakyatnya semakin miskin karena sumber daya alamnya dirampok oleh para oligarki atas nama investasi. Sementara para pejabatnya justru bermain dengan para pengusaha, mendapatkan uang dengan cara menjual sumber daya milik rakyat. Dalam negara demokrasi, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Jutaan hektar tanah hanya dimiliki oleh segelintir manusia rakus.

 

Demokrasi, sebagaimana kita kenal hari ini, sangat mungkin telah berubah menjadi ilusikrasi, yakni suatu sistem yang secara formal demokratis, namun secara substansi menyembunyikan ketimpangan dan dominasi kekuasaan. Masyarakat diberikan ilusi seolah-olah mereka memiliki kontrol, padahal banyak keputusan penting telah diambil jauh dari jangkauan mereka.

 

Menyadari keberadaan ilusikrasi bukanlah pesimisme, tetapi langkah untuk memperjuangkan sistem baru yang lebih baik, yakni sistem Islam. Orang cerdas tidak akan mau ditipu demokrasi. Demokrasi cocok untuk orang yang telah buta dan rela dibutakan hati dan otaknya. Demokrasi adalah kegelapan bagi suatu peradaban.

 

Sementara bagi orang cerdas akan paham apa yang telah difirmankan oleh Allah : Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. (QS Al Maidah : 15)

 

Allah juga berfirman : Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS Az Zumar : 22)

 

Orang cerdas juga akan sangat memahami firman Allah : Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Quran) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu.(QS Al Hadid : 9).

 

Jika demokrasi adalah kegelapan, maka Islam adalah cahaya, sebagaimana firman Allah : Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al Baqarah : 257)

 

Daftar Pustaka Singkat

  • Rancière, Jacques. Hatred of Democracy. Verso Books, 2006.
  • Chomsky, Noam. Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. Pantheon Books, 1988.
  • Mouffe, Chantal. The Democratic Paradox. Verso, 2000.
  • Dahl, Robert. On Democracy. Yale University Press, 1998.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1125/07/09/25 : 15.15 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.