KAPITALISME, BIANG KEROK MASALAH EKONOMI INDONESIA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Menteri Keuangan Purbaya menarik uang dari BI sebesar 200 triliun untuk memutar roda ekonomi. Uang itu disalurkan melalui perbankan untuk kredit dunia usaha. Ini dilakukan sebagai langkah memperbaiki pertumbuhan ekonomi yang hanya 5 persen. Sementara pemerintahan Prabowo memasang target pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen.

 

Kebijakan menteri keuangan ini sontak menuai beragam pendapat dari para ekonom yang umumnya menilai tidak akan efektif untuk menyelesaikan permasalahn ekonomi Indonesia saat ini. Sebab menyalurkan uang ke bank tidak serta merta menyelesaikan pokok masalah ekonomi yang kompleks di negeri ini.

 

Rapuhnya Sistem Ekonomi Kapitalisme

 

Kondisi ekonomi nasional saat ini tengah menghadapi tekanan serius akibat kesalahan penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sejumlah indikator ekonomi makro menunjukkan bahwa pemulihan yang diharapkan pasca-pandemi belum benar-benar terjadi. Daya beli masyarakat masih lemah, yang tercermin dari lesunya konsumsi rumah tangga, padahal sektor ini merupakan penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB).

 

Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah, menandakan ketidakstabilan ekonomi serta menambah beban bagi sektor impor dan pelaku usaha yang bergantung pada bahan baku luar negeri. Situasi ini diperparah oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor, terutama manufaktur dan startup digital.

 

Dampak dari krisis ini tidak hanya dirasakan di sektor formal, tetapi juga langsung menyentuh struktur sosial masyarakat. Salah satu data mencengangkan datang dari penurunan jumlah kelas menengah. Menurut laporan berbagai lembaga, sekitar 9 juta orang keluar dari kelas menengah dan kembali masuk ke kelompok rentan miskin.

 

Hal ini menunjukkan bahwa guncangan ekonomi tidak hanya menimpa kelompok miskin, tetapi juga menekan kelompok yang sebelumnya relatif stabil secara ekonomi. Situasi ini tentu berimplikasi luas pada konsumsi, investasi, dan stabilitas sosial.

 

Yang lebih memprihatinkan, menurut standar Bank Dunia, sekitar 60 persen penduduk Indonesia kini tergolong miskin atau rentan miskin. Artinya, mayoritas penduduk hidup dengan penghasilan yang sangat terbatas dan berada di bawah ambang kesejahteraan yang layak.

 

Fakta ini menuntut evaluasi serius terhadap arah kebijakan ekonomi nasional. Tidak cukup hanya mendorong pertumbuhan ekonomi dengan cara menyalurkan uang ke bank dengan suku bunga tinggi, tetapi juga harus memastikan pemerataan hasil pembangunan bagi seluruh rakyat.  

 

Selain itu, persoalan ekonomi negeri ini diperparah dengan adanya utang luar negeri yang telah jatuh tempo, sekitar 800 triliun. Sumber daya alam di negeri ini juga telah dikuasai oleh asing dan aseng. Padahal sumber daya alam adalah milik umat, haram diprivatisasi, apalagi dikuasai asing.

 

Dalam hal ini Rasulullah bersabda :  "Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, dan lainnya)

 

Beban pajak yang makin memberatkan juga menjadi persoalan tersendiri bagi masyarakat. Utang ribawi dan pajak adalah dua kesalahan fatal ekonomi kapitalisme yang justru telah terbukti gagal mensejahterakan rakyat negeri ini.

 

Rasulullah bersabda tentang larangan memungut pajak :  “Tidak akan masuk surga pemungut pajak (maks).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim; dinyatakan shahih oleh Al-Hakim)

 

Pertumbuhan ekonomi sering dijadikan indikator utama untuk mengukur keberhasilan suatu negara dalam bidang ekonomi. Angka pertumbuhan yang tinggi kerap diasumsikan sebagai tanda bahwa perekonomian sedang sehat dan masyarakatnya sejahtera.

 

Dalam berbagai laporan resmi, seperti produk domestik bruto (PDB), pertumbuhan ekonomi disajikan sebagai bukti keberhasilan kebijakan pemerintah dan sebagai daya tarik bagi investor. Namun, penting untuk memahami bahwa pertumbuhan ekonomi adalah ukuran makro yang bersifat agregat, sehingga tidak serta-merta mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat secara individual.

 

Secara teknis, pertumbuhan ekonomi dihitung dari peningkatan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu periode waktu. Salah satu komponen utama dalam perhitungan ini adalah konsumsi rumah tangga, yang dijumlahkan secara keseluruhan tanpa membedakan kontribusi antar individu atau kelompok pendapatan.

 

Artinya, jika sebagian kecil masyarakat meningkatkan belanjanya secara signifikan, sementara mayoritas justru mengalami penurunan daya beli, angka pertumbuhan ekonomi tetap bisa terlihat meningkat. Hal ini menyebabkan adanya paradoks : ekonomi secara makro tampak tumbuh, namun di tingkat mikro, kesenjangan dan kemiskinan bisa saja memburuk.

 

Dengan demikian, menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi dapat menyesatkan. Diperlukan indikator tambahan yang lebih inklusif dan berfokus pada distribusi kesejahteraan, seperti tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan (indeks Gini), dan akses terhadap layanan dasar.

 

Tanpa mempertimbangkan dimensi-dimensi ini, kebijakan ekonomi berisiko hanya menguntungkan segelintir elit kapitalis oligarki, sementara mayoritas rakyat tidak merasakan manfaatnya. Oleh karena itu, perlu adanya pergeseran paradigma dalam mengevaluasi kinerja ekonomi, dari sekadar mengejar angka pertumbuhan menjadi menciptakan kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan.

 

Persoalan utama ini diabaikan menteri keuangan, tetap ngotot jalankan fiskal neoliberal sambil hamburkan 200 triliun pajak rakyat, bermain-main dengan model fiskal-moneter yang tidak tentu efektivitasnya. Adalah berbahaya, jika uang 200 triliun itu lenyap sia-sia karena dialokasikan di instrumen keuangan spekulatif atau dialirkan untuk danai proyek-proyek milik jaringan oligarki di balik kekuasaan.

 

Padahal Allah telah dengan tegas melarang harta hanya beredar dalam lingkaran oligarki kapitalis, hal ini sebagaimana firmanNya :  Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS Al Hashr : 7).

 

Krisis ekonomi yang terus melanda banyak negara, termasuk Indonesia, menjadi bukti bahwa sistem ekonomi kapitalis menyimpan banyak kelemahan struktural. Ketimpangan distribusi kekayaan, utang luar negeri yang menumpuk, dan dominasi korporasi atas sumber daya publik menunjukkan bahwa sistem ini lebih berpihak pada pemilik modal ketimbang rakyat banyak.  

 

Islam Solusi Tuntas Persoalan Ekonomi

 

Sistem ekonomi Islam didasarkan oleh hukum Allah untuk menilai halal dan haramnya. Sistem ekonomi Islam tidak dilandaskan oleh utang perbankan yang ribawi, uang sebagai komoditas, pajak kepada semua rakyat dan privatisasi sumber daya alam. Kesemuanya dilarang dalam sistem ekonomi Islam.

 

Dalam konteks ini, pemikiran Taqiuddin An Nabhani, seorang pemikir Islam abad ke-20, hadir menawarkan alternatif sistem ekonomi Islam yang menyeluruh, adil, dan bebas dari eksploitasi. Menurut An Nabhani, persoalan utama ekonomi bukan pada jumlah kekayaan yang tersedia, tetapi pada distribusinya.

 

Dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam), beliau menegaskan bahwa Islam menetapkan aturan tegas mengenai kepemilikan, pengelolaan kekayaan, dan peran negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat. An Nabhani membagi kepemilikan menjadi tiga: milkiyyah fardhiyyah (kepemilikan individu), milkiyyah ammah (kepemilikan umum), dan milkiyyah daulah (kepemilikan negara).

 

Konsep ini menutup celah privatisasi sumber daya strategis, karena aset milik umum seperti air, listrik, dan tambang harus dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta.

 

Dalam pandangan Islam, kesejahteraan tidak diukur dari total konsumsi nasional, melainkan dari terpenuhinya hak-hak dasar setiap warga negara. Dengan pendekatan ini, solusi ekonomi Islam menjadi sangat relevan untuk menjawab tantangan ketimpangan dan menciptakan sistem yang lebih adil dan berkeadilan sosial.

 

Lebih dari itu, distribusi kekayaan juga harus sesuai dengan prinsip Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, distribusi bukan sekadar efek samping dari pertumbuhan, tetapi tujuan yang melekat dalam setiap kebijakan ekonomi. Islam menetapkan mekanisme distribusi melalui instrumen seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, dan larangan menumpuk harta.

 

Negara dalam sistem Islam  juga memiliki peran penting dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu seperti sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan, bukan hanya menciptakan pertumbuhan secara agregat.

 

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi menurut Islam bukan hanya soal angka, tetapi tentang keberkahan dan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Sistem ekomoni Islam akan sangat kuat karena ditopang oleh baitul mal dan uang dinar dan dirham yang memiliki nilai intrinsik.

 

Lebih jauh, An Nabhani menolak sistem ribawi yang menjadi fondasi ekonomi kapitalis. Riba dianggap sebagai sumber ketimpangan dan ketidakstabilan karena menciptakan uang dari uang, bukan dari aktivitas produktif. Sebagai gantinya, Islam mendorong sistem berbasis bagi hasil, seperti mudharabah dan musyarakah, yang lebih adil dan berbasis pada kerja sama, bukan dominasi.

 

Larangan riba ditegaskan dalam firman Allah SWT :  Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS Al Baqarah : 275)

 

Pemikiran Taqiuddin An Nabhani menawarkan fondasi ekonomi alternatif yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga aplikatif. Dengan menjadikan syariah sebagai dasar dalam pengaturan ekonomi, sistem ini menjanjikan keadilan distribusi, stabilitas pasar, dan kesejahteraan rakyat. Dengan landasan keimanan dan ketaqwaan, maka penerapan sistem ekomomi Islam akan menghadirkan keberkahan hidup.

 

Hal ini sebagaimana firman Allah :  Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96)

 

Oleh karena itu, di tengah ketidakpastian global dan kompleksitas ekonomi negeri ini, sudah saatnya pemikiran ekonomi Islam, khususnya dari tokoh seperti An Nabhani, dikaji ulang secara serius dan diterapkan sebagai solusi fundamental bagi negeri ini. Institusi khilafah, sebagaimana ditegaskan oleh Taqiuddin An Nabhani adalah satu-satunya solusi bagi krisis multidimensi dunia saat ini, termasuk persoalan ekonomi.

 

Allah SWT berfirman :  Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS Al Hashr : 7)

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1143/21/09/25 : 09.25 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad