Oleh : Ahmad Sastra
Dalam dunia pemikiran Islam kontemporer, Taqiuddin
An-Nabhani merupakan salah satu tokoh penting yang menawarkan pendekatan
rasional dan sistematis terhadap ajaran Islam. Salah satu gagasan kunci dalam
pemikirannya adalah konsep Aqidah Fikriah, yaitu akidah yang dibangun
melalui proses berpikir rasional, bukan semata-mata warisan atau tradisi.
Gagasan ini bukan hanya memengaruhi cara pandang
terhadap Islam sebagai agama, tetapi juga sebagai sistem kehidupan yang
komprehensif, mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Secara bahasa, aqidah berasal dari kata kerja
"ʿaqada" yang berarti mengikat, menguatkan, atau menetapkan. Dalam
konteks keagamaan, aqidah adalah keyakinan yang mengikat hati seorang Muslim
terhadap kebenaran-kebenaran dasar Islam, seperti keimanan kepada Allah, Rasul,
hari kiamat, dan lain sebagainya.
Namun, menurut Taqiuddin An-Nabhani, aqidah tidak
cukup hanya diyakini secara dogmatis. Ia harus menjadi fikriah, artinya,
lahir dari proses berpikir yang mendalam dan rasional. Aqidah Fikriah
adalah akidah yang diyakini bukan karena warisan budaya atau taklid buta,
melainkan karena seseorang telah menggunakan akal pikirannya untuk menyimpulkan
bahwa akidah tersebut adalah kebenaran mutlak.
Taqiuddin An-Nabhani menekankan pentingnya 'aqliyah
(akal) dalam memahami dan menerima aqidah. Menurutnya, Islam mendorong manusia
untuk berpikir dan merenung tentang keberadaan alam semesta, manusia, dan
kehidupan. Dari perenungan ini, seseorang akan sampai pada kesimpulan logis
bahwa semua yang ada tidak mungkin ada secara kebetulan, melainkan ada Sang
Pencipta, yaitu Allah SWT.
An-Nabhani menjelaskan bahwa pemikiran tentang aqidah
harus dimulai dari pertanyaan mendasar: “Dari mana manusia berasal, untuk
apa ia hidup, dan ke mana ia akan kembali?” Jawaban rasional atas
pertanyaan-pertanyaan ini akan mengarahkan seseorang pada kesimpulan tentang
keberadaan Tuhan, misi hidup, dan kehidupan setelah mati, inti dari aqidah
Islam.
Ia juga membedakan antara aqidah fikriah dengan
aqidah taqlidiyah (ikut-ikutan). Aqidah taqlidiyah dianggap lemah karena
mudah goyah saat dihadapkan pada keraguan atau serangan ideologi lain.
Sebaliknya, aqidah fikriah bersifat kokoh karena dibangun di atas pondasi
pemikiran yang kuat dan kritis.
Aqidah fikriah, menurut An-Nabhani, bukan sekadar
keyakinan teologis, tetapi fondasi untuk seluruh aspek kehidupan seorang
Muslim. Aqidah ini harus menjadi landasan dalam berfikir, bersikap, dan
bertindak. Oleh karena itu, seluruh aktivitas manusia, baik dalam aspek ibadah,
sosial, politik, maupun ekonomi, harus terikat dan berlandaskan pada aqidah
ini.
Dalam kerangka ini, An-Nabhani mengembangkan konsep “struktur
pemikiran Islam” yang didasarkan pada aqidah sebagai akar (akar pemikiran),
dan syariat sebagai cabang (cabang pemikiran). Artinya, hukum-hukum Islam tidak
boleh dipisahkan dari aqidahnya. Hukum Islam bukanlah aturan sosial semata,
tetapi merupakan perintah dari Allah yang diterima melalui proses pemikiran
terhadap aqidah.
Konsekuensinya, sistem kehidupan yang tidak berasal
dari aqidah Islam seperti demokrasi sekuler, kapitalisme, atau sosialisme dianggap
bertentangan dengan Islam. Sebab sistem-sistem tersebut tidak dibangun atas
dasar pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum.
Pemikiran An-Nabhani tidak berhenti pada tataran
teori. Ia mendirikan Hizb ut-Tahrir, sebuah partai politik Islam internasional
yang bertujuan menegakkan Khilafah Islamiyah berdasarkan aqidah fikriah. Partai
ini menolak metode kekerasan dan mengedepankan perjuangan intelektual dan
politik.
Dalam konteks perjuangan tersebut, aqidah fikriah
berfungsi sebagai motor ideologis. Anggota partai dididik untuk memahami Islam
secara rasional, berpikir kritis terhadap sistem sekuler yang ada, dan
berkomitmen untuk menegakkan sistem Islam secara menyeluruh. Ini menunjukkan
bagaimana aqidah fikriah menjadi kekuatan transformatif, bukan hanya pada level
individu, tetapi juga masyarakat dan negara.
Konsep aqidah fikriah menurut Taqiuddin
An-Nabhani merupakan kontribusi penting dalam pemikiran Islam modern. Ia
menekankan bahwa aqidah harus dibangun melalui proses berpikir rasional, bukan
hanya diwarisi atau dipercaya secara buta.
Dengan pendekatan ini, aqidah Islam menjadi dasar yang
kokoh untuk seluruh aspek kehidupan, termasuk hukum, politik, dan sistem
sosial. Implementasi gagasan ini juga tercermin dalam perjuangan politik Hizb
ut-Tahrir, yang berupaya menerapkan sistem Islam secara menyeluruh berdasarkan
aqidah yang rasional dan ideologis.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1144/21/09/25 : 09.53
WIB)

