Oleh : Ahmad Sastra
Setiap tanggal 12 Rabiul Awal, umat Islam di seluruh
dunia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, hari kelahiran manusia agung yang
membawa risalah Islam sebagai petunjuk hidup. Maulid Nabi bukan sekadar
perayaan seremonial atau rutinitas tahunan yang berhenti pada pembacaan sejarah
(sirah) dan puji-pujian.
Hakikat sejatinya jauh lebih dalam yakni merayakan
datangnya cahaya petunjuk, serta memperbarui komitmen untuk menerapkan ajaran
Islam dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan negara. Kata maulid merujuk
kepada peristiwa perjalanan Rasululullah, sementara kata maulud merujuk kepada
kelahiran seorang Muhammad.
Setiap tahun, umat Islam di Indonesia
memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dengan beragam cara, seperti pembacaan
maulid, tausiyah, zikir, hingga aksi sosial. Namun, di balik seluruh tradisi
tersebut, terdapat satu hikmah besar yang layak direnungkan lebih dalam, yakni Maulid
sebagai titik tolak transformasi peradaban.
Bukan sekadar memperingati kelahiran
Rasul, atau memahami sirah perjalanan Rasulullah, tetapi lebih dari itu menjadikannya
inspirasi untuk mengubah tatanan hidup menuju masyarakat dan negara yang
berlandaskan syariah Islam. Ada semacam transformasi peradaban dibalik
kelahiran Rasulullah SAW.
Maulid Nabi Muhammad SAW adalah momentum reflektif
untuk memahami kembali misi agung kenabian, yakni membimbing manusia dari
kegelapan menuju cahaya (QS. Ibrahim: 1). Rasulullah tidak hanya datang membawa
ajaran teologis, tapi juga membangun peradaban yang berlandaskan tauhid,
keadilan, akhlak, dan kasih sayang.
Perayaan Maulid sejatinya menjadi sarana untuk
menggali kembali keteladanan Rasulullah. Bagaimana beliau membentuk pribadi
yang tangguh, membina keluarga yang harmonis, membangun masyarakat yang berakhlak,
dan mendirikan negara yang adil. Dengan demikian, Maulid menjadi momen penting
untuk memperbarui semangat umat dalam meneladani beliau secara utuh, tidak
hanya dalam aspek ibadah, tapi juga dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik.
Langkah pertama dari implementasi ajaran Rasulullah
adalah pada tataran individu. Rasulullah SAW adalah teladan sempurna dalam
kehidupan pribadi: jujur, sabar, amanah, dan penuh kasih. Al-Qur’an menegaskan:
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu..." (QS. Al-Ahzab: 21).
Dalam konteks kehidupan kontemporer, meneladani Rasul
berarti membentuk kepribadian yang kokoh di tengah tantangan zaman. Seorang
Muslim tidak cukup hanya mengenang Rasul dengan lisan, tetapi harus
mencerminkan akhlak beliau dalam perilaku, yakni jujur dalam bekerja, adil
dalam bersikap, santun dalam bertutur, dan tangguh dalam menghadapi ujian.
Ajaran Rasulullah tidak berhenti pada individu. Beliau
membentuk masyarakat Madinah yang multikultural menjadi masyarakat yang rukun,
adil, dan produktif dibawah cahaya hukum Islam. Prinsip-prinsip seperti
tolong-menolong (ta’awun), keadilan sosial, dan penghargaan terhadap hak
rakyat Daulahmadinah menjadi fondasi masyarakat Islam.
Peringatan Maulid harus menjadi momentum transformasi
sosial. Umat Islam didorong untuk aktif dalam mewujudkan lingkungan masyarakat
yang sehat, seperti menolak korupsi, memberantas kemiskinan, mengedukasi
generasi muda, serta membela yang lemah dan tertindas. Semua ini merupakan
refleksi dari nilai-nilai yang Rasulullah ajarkan.
Rasulullah tidak hanya seorang nabi, tetapi juga
seorang pemimpin negara. Piagam Madinah adalah bukti historis bagaimana Islam
mengatur tatanan kehidupan berbangsa yang plural dan berkeadaban. Nilai-nilai
seperti keadilan, musyawarah, penghormatan terhadap hak minoritas, dan supremasi
hukum ditegakkan secara nyata dibawah konstitusi syariah kaffah.
Dalam konteks negara modern, peringatan Maulid
hendaknya menjadi ajakan bagi seluruh elemen bangsa, terutama umat Islam, untuk
berjuang mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, adil, dan berpihak
kepada rakyat berdasarkan syariah Islam kaffah. Rasulullah telah memberi contoh
bagaimana negara dibangun bukan atas dasar kekuasaan semata, tetapi atas dasar
amanah dan pelayanan terhadap masyarakat sebagai bentuk ketaatan atas perintah
Allah dan menjauhi larangan Allah.
Maulid Nabi tentu boleh dirayakan dengan beragam
ekspresi budaya dan tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat. Namun,
perayaan itu akan kehilangan makna jika tidak diiringi dengan aksi nyata. Perlu
ada gerakan konkret yang lahir dari semangat Maulid, seperti: (1) Penguatan
pendidikan Islam di rumah dan sekolah. (2) Gerakan sedekah massal untuk kaum
dhuafa. (3) Kampanye anti-hoaks dan etika digital sebagai wujud akhlak Islami.
(4) Partisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan pembangunan bangsa. (5)
Perjuangan ideologis penerapan hukum Islam dalam negara. Dengan demikian,
Maulid bukan hanya peringatan, tetapi gerakan pembaruan spiritual dan sosial
yang terus hidup sepanjang tahun.
Hakikat Maulid Nabi Muhammad SAW adalah merayakan
datangnya risalah Islam sebagai petunjuk hidup yang menyeluruh. Ia bukan hanya
momen mengenang kelahiran Rasul, tetapi ajakan untuk meneladani dan menerapkan
ajaran beliau dalam kehidupan pribadi, membentuk masyarakat yang adil dan
beradab, serta berkontribusi dalam membangun negara yang diridhai Allah SWT.
Dari sinilah Maulid menjadi bukan sekadar seremonial, tapi momentum perubahan.
Dari nostalgia menuju aksi. Dari pujian menuju perjuangan.
Indonesia saat ini hidup dalam sistem yang banyak
dipengaruhi oleh sekularisme warisan kolonial, yang memisahkan agama dari
kehidupan bernegara. Maka, peringatan Maulid Nabi seharusnya menjadi momentum
untuk membangkitkan kesadaran kolektif umat akan pentingnya menjadikan Islam
sebagai dasar kehidupan yang menyeluruh, dari pribadi hingga tata negara.
Indonesia lahir sebagai negara dengan mayoritas Muslim
terbesar di dunia. Namun secara sistemik, negeri ini masih banyak diatur oleh
sistem hukum, pendidikan, ekonomi, dan politik yang sekuler. Sekularisme masuk
melalui kolonialisasi Barat yang tidak hanya menguasai tanah dan sumber daya,
tetapi juga mewariskan cara berpikir dan sistem pemerintahan yang meminggirkan
peran agama dari ruang publik.
Di bawah sistem sekuler, hukum-hukum Allah tidak
dijadikan rujukan utama dalam penyusunan undang-undang. Nilai-nilai Islam hanya
hadir dalam ranah privat, sementara kebijakan publik banyak disusun berdasarkan
ideologi buatan manusia yang rawan bias kepentingan. Akibatnya, ketimpangan
sosial, dekadensi moral, korupsi, dan krisis identitas menjadi masalah yang
terus berulang.
Maulid Nabi seharusnya tidak hanya membahas tentang
kelahiran Rasulullah sebagai individu, tapi juga tentang bagaimana beliau
mengubah sistem jahiliah menjadi masyarakat Islami yang adil, sejahtera, dan
bermartabat. Rasulullah SAW tidak hanya berdakwah untuk memperbaiki akhlak
individu, tapi juga mendirikan negara Islam di Madinah yang menjalankan syariat
secara menyeluruh dalam pemerintahan, ekonomi, pendidikan, hingga hubungan
internasional.
Ketika Rasulullah berhijrah ke Madinah, beliau
membangun struktur masyarakat yang berdasarkan hukum Allah. Hal ini membuktikan
bahwa Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sebuah sistem hidup yang
komprehensif. Maka, meneladani Rasul tidak cukup hanya dengan memuji nama
beliau dalam syair dan shalawat, tetapi dengan mengadopsi metode perjuangan
beliau dalam membangun tatanan kehidupan yang sesuai wahyu.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negeri
bersyariah. Mayoritas penduduknya adalah Muslim, ribuan pesantren tersebar di
seluruh negeri, dan semangat keagamaan terus tumbuh di berbagai kalangan.
Namun, potensi ini belum diarahkan secara maksimal untuk melakukan transformasi
sistemik.
Hikmah Maulid Nabi mengajarkan bahwa perubahan besar
dimulai dari kesadaran kolektif dan perjuangan terorganisir. Untuk menjadikan
Indonesia sebagai negeri bersyariah, diperlukan langkah-langkah strategis,
antara lain:
Pertama, Revitalisasi Dakwah Politik. Dakwah tidak
hanya fokus pada aspek spiritual dan moral, tetapi juga menyasar aspek sistemik
ideologis yakni menyerukan pentingnya penerapan syariah secara kaffah
(menyeluruh) dalam seluruh aspek kehidupan dengan tegaknya institusi daulah
Islam.
Kedua, Pendidikan Islam yang Mencerahkan. Dunia
pendidikan harus mencetak generasi yang tidak hanya saleh secara individu,
tetapi juga memiliki kesadaran ideologis akan pentingnya syariah dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem pendidikan Islam harus menggantikan
sistem pendidikan sekuler.
Ketiga, Konsolidasi Umat Islam. Perlu ada sinergi
antara ormas Islam, tokoh ulama, intelektual Muslim, dan masyarakat umum untuk
memperjuangkan sistem kehidupan yang sesuai dengan ajaran Rasulullah.
Keempat, Advokasi Hukum dan Politik. Perjuangan menuju
negeri bersyariah tidak lepas dari arena kebijakan publik. Perlu ada dorongan
kuat agar regulasi dan sistem hukum di Indonesia semakin mendekati
prinsip-prinsip syariah.
Maulid Nabi bukan hanya momen nostalgia atau tradisi
tahunan, tetapi bisa menjadi pemicu kebangkitan umat. Dari mimbar-mimbar
Maulid, harus disuarakan ajakan untuk kembali pada Islam sebagai solusi atas
seluruh problem bangsa. Saat masyarakat menghadapi krisis multidimensi, seperti
moral, ekonomi, sosial, bahkan lingkungan, Islam datang menawarkan sistem yang
holistik dan terbukti berhasil dalam sejarah.
Dengan menjadikan Maulid sebagai titik tolak
transformasi, umat Islam Indonesia dapat mengarahkan perjuangan menuju sistem
hidup yang sesuai dengan petunjuk wahyu. Bukan berarti menegakkan syariah
secara paksaan atau kekerasan, tetapi melalui dakwah, pendidikan, dan
perjuangan konstitusional yang cerdas dan bijak.
Hikmah Maulid Nabi adalah kesadaran bahwa risalah
Islam yang dibawa Rasulullah SAW harus diwujudkan dalam seluruh aspek
kehidupan. Indonesia, sebagai negeri dengan umat Islam terbesar, memiliki
peluang besar untuk melakukan transformasi dari sistem sekuler warisan kolonial
menuju negeri bersyariah yang diridhai Allah SWT. Inilah saatnya menjadikan
Maulid sebagai momentum perubahan: dari seremoni menuju revolusi pemikiran dan
perjuangan.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1121/06/09/25 : 05.46
WIB)