Oleh : Ahmad Sastra
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (qs Al Ahzab : 21)
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. bukan hanya
momentum ritual penuh lantunan shalawat dan doa semata. Ia juga merupakan kesempatan
reflektif untuk menggali hikmah agung dari kelahiran Rasulullah saw. Salah satu
hikmah terbesar yang jarang disorot adalah bahwa kelahiran beliau menandai awal
perubahan besar dalam peradaban manusia yakni politik transformatif dari
masyarakat jahiliyah menuju masyarakat Islam yang mulia yang dilakukan oleh
Rasulullah.
Pertanyaannya: Apakah kita siap meneladani metode
beliau dalam melakukan perubahan politik hari ini? Ataukah kita tetap mempercayai
metode sekuler seperti demokrasi yang telah terbukti berkali-kali hanya memberikan
janji-janji (janji tentang kemakmuran, kesejahteraan, keadilan dll) yang tidak
pernah terbukti sama sekali? Ataukah kita merasa yakin dengan people power
(gerakan massa) yang acapkali dibumbui anarkisme (kekerasan) yang tak jarang
memakan korban?
Kitab Mawlîd al-Barzanjî karya Syaikh Ja’far
al-Barzanji mengisahkan peristiwa besar saat Rasulullah saw. lahir. Cahaya
memancar hingga menerangi istana Romawi di Syam. Pilar istana Kisra di Madain
retak. Sepuluh menaranya runtuh. Api sembahan Persia padam. Danau Sawah
mengering. Wadi Samawah tiba-tiba mengalirkan air.
Fenomena ini bukan sekadar kejadian kosmik. Ini adalah isyarat politik bahwa kelahiran Nabi
Muhammad saw. adalah ancaman langsung bagi imperium Persia dan Romawi saat itu.
Beliau lahir sebagai pemimpin perubahan politik global yang akan meruntuhkan
tatanan kufur dunia dan membangun peradaban baru: peradaban Islam.
Di Pasar Dzil Majaz Nabi saw. pernah berseru: Hai
manusia, ucapkanlah “Lâ ilâha illalLâh,” niscaya kalian beruntung! (HR
Ahmad).
Seruan itu bukan hanya dakwah tauhid. Ia sekaligus
merupakan deklarasi visi politik bahwa perubahan sejati berawal dari pengakuan
terhadap kedaulatan Allah SWT.
Lalu ketika menggali Parit Khandaq, Nabi saw. memukul
batu besar tiga kali. Saat memulai pukulan pertama, beliau mengucapkan, “BismilLāh”.
Lalu pecahlah sepertiga batu itu. Beliau bersabda, "AlLāhu Akbar!
Aku telah diberi kunci Syam. Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar melihat
istana-istana merahnya dari tempatku ini." Kemudian beliau mengucapkan, “BismilLāh”,
lalu memukul sekali lagi hingga pecah sepertiga batu itu. Beliau bersabda, "AlLāhu
Akbar! Aku telah diberi kunci negeri Persia. Demi Allah, sesungguhnya aku
benar-benar melihat kota-kotanya dan aku melihat istana putihnya dari tempatku
ini." Kemudian beliau mengucapkan, “BismilLāh”, lalu memukul dengan
pukulan lain hingga tercabutlah sisa batu itu. Beliau bersabda, "AlLāhu
Akbar! Aku telah diberi kunci negeri Yaman. Demi Allah, sesungguhnya aku
benar-benar melihat pintu-pintu Kota Shan‘ā (Yaman) dari tempatku ini."
(HR Ahmad dan an-Nasa’i).
Sejarah kemudian mencatat bahwa nubuwat itu menjadi
nyata pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khaththab ra. Saat itu, dua negara
adidaya, yakni Persia dan Romawi, benar-benar berhasil ditundukkan di bawah
kekuasaan Islam.
Di era modern, banyak orang berharap perubahan politik
melalui people power (gerakan massa). Sejarah Indonesia pasca-Reformasi
1998 adalah contoh nyata. Rezim Soeharto tumbang. Orde Baru runtuh. Akan tetapi,
apakah secara politik Indonesia benar-benar berubah? Tidak! Korupsi makin mengganas.
Oligarki makin kukuh.
Sumberdaya alam milik rakyat tetap ada dalam kendali
swasta dan asing. Pajak makin mencekik. Utang negara dan bunganya makin tinggi.
Rakyat tetap miskin. Pengangguran makin banyak. Elit politik makin bergelimang
harta. Keadilan hukum makin sulit ditegakkan.
Mengapa demikian? Sebabnya, yang jatuh hanya rezimnya,
bukan sistem politiknya. Sistem demokrasi sekuler tetap dipertahankan. Padahal
sistem inilah yang menjadi akar kerusakan yang membelit negeri ini.
Ini karena dalam sistem demokrasi, kedaulatan (hak
membuat hukum) ada di tangan manusia. Artinya, pembuatan hukum diserahkan pada hawa
nafsu manusia. Padahal Allah SWT tegas telah menyatakan: Otoritas membuat
hukum itu ada pada Allah (TQS Yusuf [12]: 40).
Bahkan Allah SWT telah menegaskan: Siapa saja yang tidak
berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah pelaku kezaliman
(TQS al-Maidah [5]: 45).
Allah SWT juga telah mengingatkan: Apakah sistem hukum
jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum
Allah bagi kaum yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Jelaslah, demokrasi yang menempatkan kedaulatan (hak
membuat hukum) di tangan manusia adalah sistem hukum jahiliyah. Karena itu pergantian
rezim (penguasa) tanpa pergantian sistem politiknya—ke arah sistem politik
Islam—tak akan pernah menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik.
Islam memiliki metode perubahan politik yang jelas dan
tuntas. Rasulullah saw. tidak pernah menyerukan revolusi massa untuk
menggulingkan rezim Quraisy. Beliau menempuh metode dakwah yang terarah melalui
tiga tahap:
Pertama, Tatsqîf
(Pembinaan): Beliau membina para Sahabat dengan fikrah Islam agar keimanan
mereka kokoh dan mereka siap berjuang untuk perubahan.
Kedua, Tafâ‘ul ma‘a
al-Ummah (Interaksi dengan Masyarakat): Beliau mendakwahkan Islam secara
terang-terangan di tengah-tengah masyarakat sekaligus membongkar kebusukan
sistem kufur hingga opini umum berpihak pada Islam.
Ketiga, Thalab
an-Nushrah (Menggalang Dukungan). Beliau menggalang dukungan dari ahlul
quwwah (para pemilik kekuasaan) untuk menegakkan sistem politik dan
pemerintahan Islam.
Ketiga tahapan ini beliau tempuh tanpa kekerasan sama
sekali apalagi melalui people power (gerakan massa) yang menjurus pada
anarkisme (kekerasan). Pada akhirnya, terutama melalui tahapan thalab am-nushrah,
beliau berhasil meraih kekuasaan (istilaam al-hukum) secara damai dari ahlul
quwwah di Madinah yang didukung oleh mayoritas penduduknya. Saat itu mereka
menyerahkan kekuasaan mereka secara sukarela kepada beliau. Sejak itu beliau
segera memproklamirkan pendirian Daulah Islam untuk pertama kalinya.
Dengan metode ini, perubahan politik yang lahir bukan
sekadar jatuhnya penguasa, melainkan tumbangnya seluruh sistem jahiliyah,
diganti dengan sistem Islam. Hasilnya adalah peradaban Islam yang bertahan berabad-abad
lamanya.
Ibn Hisyam bertutur: Tatkala mereka berkumpul untuk
Nabi saw. di ‘Aqabah, beliau berkata kepada mereka, “Kalian membaiat aku untuk
mendengar dan taat…serta untuk menolong dan melindungi diriku sebagaimana
kalian melindungi diri, istri dan anak-anak kalian.” (Ibnu Hisyam, Siirah an-Nabawiyyah,
2/41).
Inilah Baiat ‘Aqabah Kedua yang menjadi landasan bagi
penegakan Daulah Islam di Madinah. Demikian sebagaimana ditegaskan oleh Al-Mubarakfuri:
“Sesungguhnya baiat ini adalah fondasi kokoh bagi penegakan Daulah Islam
pertama, yang memerintah dengan wahyu yang telah Allah turunkan dan membawa
Islam ke seluruh dunia.” (Al-Mubarakfuri, Ar-Rahīq al-Makhtūm, hlm. 177)
Dari nukilan di atas tampak jelas bahwa Rasulullah
saw. melakukan perjuangan perubahan politik: dari masyarakat jahiliyah di
Makkah (lemah, tertindas) menuju masyarakat Islam di Madinah yang penuh dengan
rahmat dan keadilan dalam naungan Daulah Islam.
People power (gerakan massa) sejauh
ini hanya memberikan euforia sesaat. Faktanya, people power selalu gagal
mengubah sistem rusak yang menjadi akar masalahnya. Sebaliknya, metode perubahan
politik ala Rasulullah saw. telah terbukti efektif dalam proses perubahan
hingga melahirkan peradaban agung.
Alhasil, jika umat Islam benar-benar ingin lepas dari
siklus tirani dan ketidakadilan, jawabannya bukan demokrasi atau people
power (gerakaan massa). Jawabannya adalah meneladani metode dakwah dan
perubahan ala Rasulullah saw.: menempuh tharîqah nabawiyyah,
menegakkan Islam kaaffah dan membangun kembali sistem pemerintahan
Islam. Itulah sistem Khilafah ‘alaa minhaaj an-Nubuwwah sebagai pelanjut
Daulah Islam yang dirintis oleh beliau untuk pertama kalinya.
Apalagi para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah telah sepakat
bahwa Khilafah adalah kewajiban syar’i,
bukan sekadar pilihan politik. Salah seorang ulama mazhab Syafii terkemuka,
Imam al-Mawardi (w. 450 H), tegas menyatakan: Imamah (Khilafah) itu
ditetapkan sebagai pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan
dunia. Mengangkat seorang imam (khalifah) bagi umat hukumnya wajib berdasarkan Ijmak
(Al-Mawardi, Al-Ahkaam as-Sulthaaniyyah, hlm. 5).
Imam an-Nawawi (w. 676 H), salah seorang ulama mu’tabar
mazhab Syafii, juga menegaskan: Para ulama telah bersepakat bahwa wajib atas
kaum Muslim untuk mengangkat seorang khalifah (menegakkan Khilafah). Kewajiban
ini berdasarkan syariah. Bukan berdasrkan akal (An-Nawawi, Syarh
an-Nawawi ‘alaa Muslim, 12/205).
Bahkan Imam an-Nawawi menganggap batil paham yang
menolak kewajiban menegakkan Khilafah ini. Kata beliau: Adapun apa yang
dikisahkan dari al-‘Asham bahwa Khilafah tidak wajib, atau juga dari yang
selain dia, bahwa Khilafah wajib hanya berdasarkan akal, bukan berdasarkan
ketentuan syariah, maka kedua pendapat ini batil (An-Nawawi, Syarh
an-Nawawi ‘alaa Muslim, 12/205).
Alhasil, Peringatan Maulid Nabi saw. sudah seharusnya
diarahkan untuk memotivasi umat agar sungguh-sungguh melakukan perubahan
politik ke arah Islam sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Bukan
dengan tetap mempertahankan sistem demokrasi sekuler seperti saat ini. Hanya
dengan itu Peringatan Maulid Nabi saw. akan jauh lebih bermakna.
(Ahmad Sastra, No.1118/04/09/25 : 05.18 WIB)