Oleh : Ahmad Sastra
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita sering melihat pohon hanya sebagai bagian dari
alam: tempat berteduh, sumber makanan, atau bahan bangunan. Namun dalam
Al-Qur'an, pohon bukan sekadar makhluk hidup biasa. Ia juga menjadi metafora
spiritual yang sangat dalam.
Salah satu
ayat yang menggambarkan hal ini dengan indah adalah Surat Ibrahim ayat 24 dan
25: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat
yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke
langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan izin Tuhannya.
Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS.
Ibrahim: 24-25)
Ayat ini
bukan hanya puisi indah, tetapi juga menyimpan pelajaran filosofis mendalam
tentang bagaimana seharusnya seorang Muslim membangun kehidupannya, baik secara
spiritual, sosial, maupun intelektual.
Allah
memulai perumpamaan ini dengan menyebut "kalimat yang baik" (kalimah
thayyibah) yang diibaratkan seperti "syajarah thayyibah" (pohon yang
baik). Para mufassir menjelaskan bahwa kalimat yang baik ini adalah kalimat
tauhid: La ilaha illallah. Maka, filosofi pertama dari pohon adalah akar, yang
menggambarkan keimanan yang kuat.
Akar tidak
terlihat, tapi menjadi penopang seluruh pohon. Begitu juga iman: ia tersembunyi
dalam hati, namun menjadi fondasi dari amal dan perilaku. Seorang Muslim dengan
iman yang kuat tidak akan mudah goyah oleh cobaan, godaan dunia, atau tekanan
sosial. Ia tetap teguh karena akarnya menghunjam dalam ke bumi, yakni pada
keyakinan yang kuat kepada Allah.
Surat Al-An'am
ayat 162 berbunyi: "Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam."
Ayat ini menjadi deklarasi tauhid yang paling kuat dalam Al-Qur’an. Bukan hanya
sebagai pengakuan keimanan, tetapi juga sebagai pedoman hidup bagi setiap
Muslim. Ayat ini menuntut pemahaman bahwa seluruh aspek kehidupan, baik yang
lahiriah maupun batiniah—harus ditujukan hanya kepada Allah. Tidak ada ruang
bagi niat yang bercabang, apalagi syirik, dalam ibadah dan kehidupan seorang
mukmin.
Ayat ini
diturunkan sebagai perintah kepada Nabi Muhammad ï·º
untuk menyatakan bahwa seluruh kehidupannya hanyalah bentuk pengabdian kepada
Allah. Namun, pernyataan itu juga berlaku bagi seluruh umat Islam. Kata
"shalaati" (shalatku) dan "nusukii" (ibadahku)
menggambarkan aspek ritual dan spiritual, sedangkan "mahyaaya" (hidupku)
dan "mamaati" (matiku) menunjukkan bahwa seluruh perjalanan
eksistensial manusia harus diarahkan kepada Allah. Ini adalah bentuk totalitas
dalam penghambaan, yang tidak mengenal sekat antara agama dan kehidupan
sehari-hari.
Dalam
konteks kehidupan modern, ayat ini sangat relevan. Ketika sekularisme dan
pragmatisme sering memisahkan antara nilai agama dan urusan dunia, QS
Al-An’am:162 justru menegaskan bahwa seorang Muslim harus menjadikan seluruh
aktivitasnya belajar, bekerja, berkeluarga, bahkan beristirahat sebagai bagian
dari ibadah kepada Allah.
Maka, Islam
tidak membatasi ibadah pada ritual semata, tetapi juga pada orientasi dan niat
di balik setiap tindakan. Inilah yang disebut “spiritualitas fungsional”, yakni
menjadikan hidup sehari-hari sebagai ladang pengabdian.
Kesadaran
akan makna QS Al-An’am:162 juga melahirkan prinsip hidup yang kuat: integritas,
keikhlasan, dan kesungguhan. Ketika seseorang sadar bahwa hidup dan matinya
adalah untuk Allah, maka ia akan lebih mudah menahan diri dari maksiat, menjaga
niatnya dalam beramal, dan tetap istiqamah meski berada di tengah ujian.
Ayat ini
bukan hanya pengingat, tapi juga motivasi untuk hidup dengan orientasi akhirat,
tanpa melupakan peran dan tanggung jawab di dunia. Dengan begitu, hidup seorang
Muslim menjadi utuh, bermakna di dunia, dan bernilai di sisi Allah. Dalam
konteks kehidupan modern, ketika nilai-nilai keimanan sering kali digeser oleh
hedonisme dan relativisme moral, filosofi akar ini menjadi pengingat penting
bahwa identitas seorang Muslim harus berakar pada tauhid dan nilai-nilai
Al-Qur'an.
Bagian kedua
dari pohon yang disebut dalam ayat ini adalah cabang yang menjulang ke langit.
Ini melambangkan aspirasi, visi hidup, dan kontribusi positif seorang Muslim. Cabang
yang tinggi bukan hanya menunjukkan pertumbuhan, tetapi juga arah menuju
langit, yakni ke tempat yang tinggi secara spiritual dan moral. Seorang Muslim
tidak cukup hanya beriman dalam hati, tetapi juga harus berkembang dalam amal,
belajar, dan berkontribusi dalam masyarakat.
Cabang yang
tumbuh ke atas juga bisa diartikan sebagai doa dan harapan seorang Muslim.
Dalam tafsir Al-Mazhari disebutkan bahwa cabang yang tinggi menunjukkan bahwa
amal seorang mukmin selalu naik kepada Allah, seperti disebut dalam QS. Fathir
ayat 10: "Kepada-Nya naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang
saleh diangkat-Nya."
Filosofi
ketiga yang terkandung dalam ayat ini adalah buah yang keluar setiap musim. Ini
adalah gambaran dari manfaat dan keberkahan yang diberikan seorang Muslim
kepada sekitarnya, tanpa mengenal waktu atau kondisi.
Pohon yang
baik tidak hanya tumbuh tinggi, tapi juga berbuah secara konsisten, tidak
musiman. Begitulah semestinya amal seorang Muslim: terus menerus, istikamah,
dan membawa manfaat untuk orang lain. Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." (HR. Ahmad)
Seorang
Muslim sejati tidak menunggu momen tertentu untuk berbuat baik. Ia akan tetap
memberi meskipun dalam keadaan sempit, tetap menolong walau sedang kesulitan,
dan tetap tersenyum meski sedang diuji. Seperti pohon yang tidak pilih-pilih
musim untuk berbuah, seorang Muslim juga tidak pilih-pilih waktu untuk beramal.
Melalui
perumpamaan pohon ini, Allah memberikan gambaran utuh tentang karakter Muslim
ideal: berakar pada iman, tumbuh dengan visi, dan berbuah dalam amal. Ketiganya
harus berjalan beriringan. Iman tanpa amal adalah kering, amal tanpa dasar iman
adalah kosong, dan keduanya tanpa arah adalah sia-sia.
Di tengah
dunia yang serba cepat, penuh distraksi dan informasi, filosofi pohon ini
mengajarkan kita untuk kembali pada nilai-nilai dasar dalam Islam: membangun
keimanan yang kokoh, memiliki tujuan hidup yang mulia, dan menjadi pribadi yang
bermanfaat bagi sekitar.
Mari kita
bertanya pada diri sendiri: Apakah akar iman kita cukup kuat?. Apakah cabang
kehidupan kita sedang tumbuh menuju kebaikan?. Dan apakah kita sudah
menghasilkan buah yang bermanfaat bagi orang lain?. Karena seperti pohon, hidup
kita akan dinilai bukan hanya dari seberapa tinggi kita tumbuh, tapi dari
seberapa besar manfaat yang kita berikan.
(Ahmad
Sastra, Kota Hujan, No.1134/15/09/25 : 05.20 WIB)