Oleh : Ahmad Sastra
Dalam diskursus politik kontemporer di banyak negara,
termasuk Indonesia, terdapat tarik menarik antara dua pendekatan yang saling
berlainan namun sering saling bertemu: teknokratisme dan pragmatisme politik.
Teknokratisme menekankan pengambilan keputusan berbasis keahlian, data, dan
bukti ilmiah.
Pragmatisme politik lebih mengedepankan kepentingan
praktis, efek jangka pendek, dan komitmen minimal terhadap nilai-nilai
ideologis atau moral. Kedua pendekatan ini memiliki kelebihan masing-masing,
tetapi implikasi dan dampak buruk muncul ketika pragmatisme mendominasi dan
teknokratisme dipinggirkan.
Teknokratisme pemerintahan
atau kepemimpinan adalah ketika mereka memegang peran penting dalam merancang
dan melaksanakan kebijakan. Fokusnya adalah efisiensi, akurasi, evidence-based
policy, perencanaan jangka panjang, serta stabilitas institusional.
Pragmatisme
politik adalah orientasi politik yang mengutamakan hasil nyata, kekuasaan, dan
kepentingan praktis aktor politik—maupun kelompok dominan. Nilai-nilai
ideologis atau prinsip moral kadang diabaikan jika dianggap menghambat tujuan
praktis; partai dan politisi bisa bergeser atau kompromi dalam nilai agar bisa
menang atau mempertahankan kekuasaan.
Implikasi Dominasi Pragmatisme
Kebijakan jangka pendek akan menguasai kebijakan
jangka panjang. Pragmatisme cenderung menghasilkan program yang cepat terlihat
dampaknya, untuk kepentingan elektoral atau popularitas, meski sebenarnya
program tersebut tidak didukung oleh perencanaan matang atau data valid.
Ketika teknokratisme dilemahkan, studi kelayakan,
evaluasi dampak, dan rem teknis sering diabaikan, maka dalam jangka panjang,
suatu program pemerintah akan justru akan menemukan banyak kompleksitas. Di
Indonesia, menurut Yanuar Nugroho, ada indikasi bahwa kebijakan seperti bantuan
sosial atau program “Makan Bergizi Gratis” tidak sepenuhnya digerakkan oleh
data atau metode perencanaan teknokratis.
Pragmatisme politik akan menimbulkan erosi
akuntabilitas dan transparansi. Politik pragmatis sering kali menggunakan
cara-cara yang tidak terlalu terbuka: transaksi politik, kompromi di belakang
layar, atau janji kampanye yang sulit dipertanggungjawabkan secara teknis.
Ketika teknokrat dan institusi perencana dilemahkan, pengawasan publik dan
basis ilmiah untuk kebijakan menjadi lemah. Publik sulit menilai apakah suatu
program efektif atau sejalan dengan keadilan sosial.
Pragmatisme politik akan berdampak pada pergeseran
nilai-nilai spiritualitas dan moralitas. Pragmatisme bisa melemahkan identitas
ideologis dan kepercayaan publik terhadap institusi politik. Partai politik
yang ideologinya kabur menjadi cepat bergeser orientasi hanya untuk menang.
Pemilih menjadi lebih memilih berdasarkan manfaat sesaat atau materi dari pada
visi jangka panjang atau nilai. Ini terlihat dari meningkatnya politik
transaksional serta politik uang.
Pragmatisme politik akan menimbulkan ketidakadilan
sosial dan distribusi sumber daya yang timpang. Tanpa teknokratisme yang kuat,
kebijakan dapat lebih mudah dipengaruhi oleh kekuatan politik lokal, elite,
atau kelompok kepentingan, seperti oligarki rakus. Fokus pragmatisme bisa
menyebabkan alokasi sumber daya lebih mengarah ke daerah atau kelompok yang
memiliki pengaruh politik dan ekonomi, bukan berdasarkan kebutuhan atau
urgensi. Ini memperburuk ketimpangan sosial.
Sistem dan ideologi kapitalisme jelas melahirkan
pragmatisme dan materialisme. Kapitalisme memungkinkan para pemilik perusahaan
besar atau individu kaya untuk berinvestasi dalam proses politik, baik melalui
lobi, sumbangan politik, atau bahkan mempengaruhi kebijakan publik.
Dengan demikian, mereka sering kali dapat mengubah
undang-undang atau kebijakan yang menguntungkan mereka, seperti pembebasan
pajak, pengurangan regulasi, atau perlindungan terhadap monopoli mereka. Dalam
banyak kasus, ini mengarah pada pemerintahan yang lebih berpihak pada
kepentingan para oligarki daripada masyarakat umum.
Oligarki, dalam konteks kapitalisme, mengendalikan
sebagian besar sumber daya produktif, seperti tanah, pabrik, dan perusahaan
besar. Ini memberi mereka kontrol atas perekonomian negara atau bahkan global.
Dalam situasi ini, mereka memiliki kapasitas untuk menentukan harga, upah, dan
kebijakan ekonomi lainnya yang berdampak pada kesejahteraan banyak orang,
sambil meningkatkan keuntungan mereka sendiri. Oligarki adalah
anak kandung kapitalisme.
Dalam beberapa bentuk kapitalisme, khususnya
kapitalisme yang didominasi oleh oligarki, pasar menjadi sangat terkonsentrasi
dan kurang kompetitif. Oligarki dapat menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk
menekan atau menghancurkan pesaing kecil, menciptakan pasar yang lebih terbatas
dan terkontrol. Ini mengurangi peluang bagi pengusaha kecil dan menengah serta
memperkuat dominasi kelompok oligarki dalam ekonomi.
Pragmatisme kekuasaan politik berpotensi melahirkan kegagalan
kebijakan karena tidak mempertimbangkan kompleksitas local. Teknokrat sering
menekankan penggunaan data empiris dan pengetahuan lokal dalam merumuskan
kebijakan. Pragmatisme bisa mengabaikan faktor-faktor lokal, keberagaman
sosial, budaya, atau konteks sejarah. Akibatnya, kebijakan yang secara teknis
tampak logis bisa gagal atau bahkan menghasilkan efek negatif karena tidak
relevan atau sulit diterapkan secara lokal.
Diantara dampak buruk pragmatism adalah munculnya ketidakpuasan
publik dan hilangnya kepercayaan. Saat kebijakan tidak tepat sasaran atau
banyak janji yang tak terealisasi, publik mulai skeptis terhadap klaim
pemerintah. Kepercayaan pada institusi publik melemah, dan demokrasi bisa
terancam oleh apatisme atau bahkan ekstrimisme sebagai reaksi dari
ketidakadilan yang dirasakan. Kerusuhan agustus tahun ini (2025) di berbagai
wilayah di Indonesia mengindikasikan ketidakpuasan rakyat atas kekuasaan
politik yang pragmatis.
Pragmatisme politik
juga mengakibatkan timbulnya polarisasi politik dan personalisasi kekuasaan. Pragmatisme
yang terlalu kuat bisa memperkuat loyalitas pribadi terhadap tokoh ketimbang
institusi atau ideologi. Hal ini memicu polarisasi, ketika aktor politik lebih
fokus ke mencitrakan diri sebagai figur kuat, alih-alih mengembangkan institusi
demokrasi yang sehat.
Pragmatisme politik
kekuasaan berpotensi melahirkan otoritarianisme. Dengan pragmatisme datang juga
risiko bahwa pemimpin mengabaikan proses deliberatif, pengawasan hukum, atau
kritik sebagai hambatan terhadap efektivitas atau popularitas. Hal ini bisa
membuka pintu bagi kecenderungan sentralisasi kekuasaan atau gaya pemerintahan
yang lebih otoriter. Sebab pragmatisme politik akan melahirkan disorientasi
kekuasaan.
Teknokratisme dan Dampak Positifnya
Teknokratisme adalah sebuah paham atau pendekatan
dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan publik yang menempatkan para ahli
teknis, seperti ilmuwan, insinyur, ekonom, atau akademisi di posisi penting
karena dianggap lebih mampu membuat keputusan berdasarkan presisi karena
berdasarkan data, efisiensi, rasionalitas, dan keilmuan, dibandingkan politisi
atau birokrat biasa.
Teknokratisme berakar dari kata: "Tekno"
berarti teknologi atau teknik, dan "kratisme" berasal dari
"kratos" (Yunani) yang berarti kekuasaan. Jadi, teknokratisme adalah
pandangan bahwa kekuasaan sebaiknya dipegang oleh para ahli, bukan oleh orang
yang hanya bermodal dukungan politik atau kekuasaan finansial.
Ciri-ciri pemerintahan atau kebijakan yang teknokratis.
Pertama, berbasis data dan bukti ilmiah. Keputusan diambil berdasarkan riset,
statistik, dan evaluasi ilmiah, bukan sekadar opini politik atau tekanan massa.
Kedua, mengutamakan efisiensi dan solusi praktis. Fokus
pada hasil nyata dan pemecahan masalah, bukan pada retorika politik.. ketiga,
Minim populisme. Tidak terlalu peduli pada pencitraan atau "menyenangkan
rakyat", tetapi lebih memilih keputusan yang rasional meski kurang
populer.
Keempat, dipimpin atau didominasi para ahli. Posisi
strategis diisi oleh profesional yang punya keahlian di bidangnya, seperti
menteri ekonomi dari kalangan akademisi, atau pejabat infrastruktur dari
kalangan insinyur. Kelima, kelebihan teknokratisme akan melahirkan kebijakan
lebih rasional, efisien, dan terukur, mengurangi pengaruh politik praktis dan
nepotisme dan fokus pada hasil jangka panjang.
Karena itu, kekuasaan politik mestinya selalu menguatkan
institusi teknokrat dan mekanisme evidence-based policy, termasuk kajian
kelayakan dan evaluasi dampak kebijakan sebelum dan setelah pelaksanaan. Teknokratisme
kekuasaan akan meningkatkan transparansi dan partisipasi publik dalam proses
pembuatan kebijakan agar kebutuhan masyarakat nyata bisa ikut didengar, bukan
hanya suara elite politik.
Teknokratisme kekuasaan akan menciptakan budaya
politik yang mengedepankan integritas, akhlak, dan tanggung jawab moral, bukan
hanya sukses elektoral semata. Teknokratisme kekuasaan akan memunculkan kontrol
hukum dan kelembagaan yang kuat, agar kompromi pragmatis tidak berubah menjadi
penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi. Teknokratisme memberi landasan yang kuat
untuk pembangunan jangka panjang dan kebijakan yang adil.
Kekuasaan Islam Berkarakter Teknokratik
Dalam sejarah umat Islam, terdapat contoh nyata di
mana pemerintahan tidak hanya menggunakan kekuasaan sebagai alat dominasi,
tetapi sebagai wahana pengembangan ilmu, keadilan, dan kesejahteraan sosial.
Teknokratisme Islam, meskipun istilah “teknokrasi” adalah terminologi modern,
memiliki akar kuat dalam tata kelola pemerintahan Islam klasik: penguasa yang
mengangkat ilmuwan, pendidik, dan ahli sebagai penasihat dan pelaksana kebijakan,
dengan kebijakan yang berlandaskan ilmu (‘ilm) sebagai basis moral dan praktis.
Islam menempatkan ilmu bukan sekadar sebagai aktivitas
intelektual, tetapi sebagai amanah dan jalan pengembangan manusia yang
holistik. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi
setiap Muslim.” Hadis ini menunjukkan bahwa individu Muslim, dan
lebih-lebih pemimpin, harus menjadikan ilmu sebagai bagian dari identitas dan
tanggung jawab mereka.
Pada masa keemasan Islam, khususnya di era Dinasti
Abbasiyah, kita menyaksikan bagaimana khalifah seperti Harun al-Rasyid dan
al-Ma’mun memberikan prioritas terhadap ilmu pengetahuan dan penerjemahan
karya-karya ilmiah dari Yunani, Persia, dan India. Di Baghdad didirikan Bayt
al-Ḥikmah (Baitul Hikmah), yang tidak hanya menjadi pusat penelitian dan
penerjemahan, tetapi juga pusat produksi ilmu dalam bidang astronomi,
matematika, kedokteran, filsafat, dan juga administrasi pemerintahan.
Konsep pemerintahan Islam klasik yang teknokratis bisa
ditemukan dalam karya-karya ulama seperti Al-Mawardi. Dalam Al-Ahkam
al-Sultaniyyah, ia membahas detail tentang pemilihan penguasa, peran para
menteri, keharusan adanya integritas (akhlaq), penilaian terhadap kapasitas
intelektual dan moral calon pemimpin, serta struktur pemerintahan yang harus
mengikuti prinsip-prinsip keilmuan.
Kebijakan publik di masa itu tidak sekadar berdasarkan
tradisi atau kekuasaan politik semata, tetapi juga berdasarkan kajian ilmiah
dan pertimbangan manfaat serta kemaslahatan rakyat. Prinsip-prinsip maqāṣid
al-Sharī‘ah (tujuan syariah Islam) seperti keadilan (‘adl), kemaslahatan umat,
pemeliharaan jiwa, akal, kerohanian, dan keturunan menjadi tolok ukur dalam
merancang hukum dan kebijakan.
Implikasi positif teknokratisme kekuasaan Islam
diantaranya adalah : Pertama, peradaban
yang meningkat. Dorongan terhadap ilmu membawa umat Islam menjadi pusat
peradaban dunia dalam bidang ilmu alam, teknologi, kedokteran, filsafat, astronomi,
dan matematika. Misalnya, Al-Khawarizmi dalam aljabar, Ibnu Sina dalam
kedokteran dan filsafat, Al-Farabi dan lainnya.
Kedua, kesejahteraan rakyat. Dengan kebijakan yang
berlandaskan ilmu dan keadilan, sistem kesehatan, pendidikan, administrasi
publik dan infrastruktur masyarakat berkembang. Ilmu juga berkontribusi pada
pengelolaan ekonomi, pertanian, perairan, sehingga kebutuhan dasar masyarakat
lebih terjamin.
Ketiga, keadilan dan meritokrasi. Pemimpin Islam
klasik biasanya memperhatikan akhlak dan kemampuan ilmiah calon pejabat, bukan
hanya keturunan atau kekuasaan semata. Hal ini memungkinkan terciptanya elit
pemerintahan yang kompeten dan dipercaya rakyat. Al-Mawardi misalnya
memperlihatkan bahwa kriteria penguasa adalah kompetensi, integritas, dan
kemampuan mengelola urusan publik sesuai ilmu dan syariah.
Di era modern, umat Islam di berbagai negara
menghadapi tantangan dalam merevitalisasi teknokratisme Islam karena terjebak
dalam orientasi pragmatis dan sekuleristik dalam kekuasaan politik. Dominasinya politik sekuler dan pragmatisme
sering kali menyingkirkan pertimbangan keilmuan dan kompetensi profesional.
Paradigma sekulerisme sering menjadikan Ilmu dan
teknologi sering dipisahkan dari nilai keagamaan dan moral, sehingga keputusan
publik kadang kehilangan dimensi etika dan keadilan. Investasi dalam pendidikan
ilmiah dan riset masih jauh di bawah potensi yang bisa dicapai jika ilmu
dijadikan prioritas oleh negara.
Teknokratisme Islam, meskipun tidak selalu disebut
dengan istilah modern, adalah bagian integral dari tradisi pemerintahan Islam
yang didukung ilmu pengetahuan, moralitas, dan kepedulian terhadap
kesejahteraan rakyat. Sejarah membuktikan bahwa ketika ilmu ditinggikan, baik
dalam pendidikan maupun pemerintahan, lahirlah peradaban agung dan masyarakat
yang sejahtera.
Oleh karena itu, umat Islam masa kini dapat mengambil
pelajaran: bahwa menggabungkan ilmuwan dan pemimpin berkompeten, menjadikan
ilmu sebagai basis kebijakan publik, dan menerapkan prinsip-prinsip syariah
yang menegakkan keadilan dan manfaat umum adalah kunci untuk kembali membangun
peradaban besar yang Rasulullah SAW harapkan. Semua ini harus dalam ikatan
sistem dan institusi yang kuat dan kaffah, itulah khilafah Islam.
Referensi
- Buku
Al-Ahkam al-Sultaniyyah karya Al-Mawardi, tentang prinsip-prinsip
politik Islam klasik dan pemerintahan yang ideal.
- Kompas.id. Antiteknokratisme dan Risiko Matinya Kepakaran.
- Kompas.id. Menguatnya Pragmatisme Politik dan Rendahnya Party
ID.
- Kompas.id. Pancasila di Tengah Pragmatisme Politik.
- Kompas.id. Teknokratisme.
- Masa
Keemasan Ilmu Pengetahuan & Teknologi Islam di era Dinasti Abbasiyah,
khususnya pemerintahan Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun.
- Nugroho, Yanuar. Matinya Teknokratisme dalam Pragmatisme Politik
Prabowo. Kompas.id, 2025.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1133/14/09/25 : 09.50 WIB)