Oleh : Ahmad Sastra
Di banyak negara, termasuk Indonesia, demokrasi
mengalami disorientasi: kehilangan arah dan tujuan moralnya. Demokrasi yang
mestinya menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial, justru berubah
menjadi arena perebutan kekuasaan yang sarat kepentingan pribadi dan oligarki.
Fenomena ini menunjukkan wajah busuk demokrasi, sebuah paradoks dari sistem
yang konon menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Oligarki dan demokrasi adalah setali mata uang. Dengan
uangnya yang banyak, para oligarki akan mencari pimpinan yang mau menjadi
budaknya. Tak peduli apakah pemimpin itu bodoh dan dungu, yang terpenting
adalah apakah pemimpin itu bisa menyelamatkan investasi mereka atau tidak. Pemimpin
disorientasi menjadi mitra demokrasi oligarki.
Secara teoritis, demokrasi berakar pada prinsip “dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Namun dalam praktiknya, demokrasi
modern sering kali menjauh dari rakyat. Proses politik yang semestinya menjadi
ajang partisipasi publik, justru didominasi oleh elite politik, partai, dan
pemodal besar. Kedaulatan rakyat berubah menjadi sekadar formalitas di bilik
suara setiap lima tahun sekali.
Salah satu penyebab utama disorientasi ini adalah
komersialisasi politik. Demokrasi elektoral yang terlalu menekankan pada
kompetisi politik akhirnya melahirkan biaya politik yang sangat mahal.
Partai politik dan kandidat membutuhkan dana besar
untuk kampanye, promosi citra, dan mobilisasi massa. Akibatnya, muncul
ketergantungan pada sponsor atau pemilik modal. Ketika kekuasaan diperoleh,
kepentingan publik sering dikorbankan demi membalas “utang politik”. Demokrasi
pun menjadi transaksi, bukan aspirasi.
Krisis demokrasi juga tampak dalam manipulasi opini
publik melalui media dan teknologi digital. Media massa yang semestinya
berfungsi sebagai pilar keempat demokrasi, kini sering berperan sebagai alat
propaganda politik. Algoritma media sosial memperkuat polarisasi, menciptakan
“gelembung informasi” yang memisahkan masyarakat dalam kelompok pro dan kontra secara
ekstrem.
Dalam konteks ini, rakyat bukan lagi subjek politik
yang berpikir kritis, melainkan objek manipulasi. Politik pencitraan, politik
identitas, dan penyebaran hoaks menggantikan perdebatan gagasan dan visi
kebangsaan. Demokrasi berubah menjadi pertunjukan semu di panggung maya, menarik,
tetapi dangkal.
Wajah busuk demokrasi juga tampak pada menguatnya
oligarki politik. Oligarki adalah kekuasaan segelintir elite yang menguasai
sumber daya ekonomi dan politik. Dalam sistem demokrasi liberal, kekuasaan
oligarki sering bersembunyi di balik proses yang tampak demokratis: pemilu,
partai, dan parlemen. Namun, keputusan politik sering kali lebih ditentukan
oleh negosiasi di ruang tertutup ketimbang aspirasi rakyat di ruang publik.
Krisis representasi ini menimbulkan apatisme sosial.
Rakyat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga politik karena merasa suaranya
tidak benar-benar diperhitungkan. Partisipasi politik menurun, sementara
korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap subur. Dalam situasi seperti ini,
demokrasi hanya tinggal prosedur tanpa substansi.
Disorientasi demokrasi pada akhirnya bermuara pada
krisis moralitas politik. Demokrasi tanpa etika melahirkan politisi oportunis,
yang lebih mementingkan kekuasaan daripada pengabdian. Politik kehilangan
nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan integritas. Ketika moralitas tidak
lagi menjadi fondasi, demokrasi mudah terjebak dalam pragmatisme jangka
pendek—asal menang, asal berkuasa.
Padahal, para pemikir klasik seperti Alexis de
Tocqueville telah memperingatkan bahwa bahaya terbesar bagi demokrasi bukanlah
tirani penguasa, melainkan tirani mayoritas dan degradasi moral warga
negaranya. Demokrasi yang sehat membutuhkan warga yang berpendidikan, berpikir
kritis, dan beretika. Tanpa itu, demokrasi berubah menjadi anarki yang
dilegalkan, katanya.
Disorientasi politik demokrasi menunjukkan bahwa
demokrasi bukan sistem yang otomatis melahirkan keadilan. Ia bisa menjadi
tirani baru jika kehilangan arah moral dan kesadaran kritis. Wajah buruk demokrasi
hari ini mestinya menjadi cermin untuk berbenah—bukan alasan untuk putus asa
Politik Islam sebagai Solusi
Dalam Islam, politik (siyâsah)
sesungguhnya bersandar pada nilai-nilai ideologis dan spiritual yang tinggi.
Politik bukanlah seni merebut dan mempertahankan kekuasaan. Dalam Islam,
politik (siyâsah) hakikatnya adalah: ri’âyah syu’ûn al-ummah bi syar’ilLâh
(pengurusan dan pelayanan urusan umat berdasarkan tuntunan syariah Allah SWT).
Karena itu penguasa atau pemimpin dalam
Islam bukanlah raja yang bertakhta dengan hak istimewa. Dia hanyalah seorang
hamba yang dibebani amanah yang jauh lebih berat dibandingkan dengan rakyat
biasa.
Rasulullah saw. bersabda: Imam (Kepala
Negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban (di
akhirat) atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, menjadi penguasa atau
pemimpin adalah beban akhirat. Bukan sebuah kehormatan dunia. Karena itu
kepemimpinan dalam Islam bukan jalan kemewahan, tetapi jalan ibadah dan
pelayanan.
Ini sesuai dengan sabda Nabi saw.: Pemimpin
suatu kaum adalah pelayan mereka (HR Abu Nu‘aim dalam Hilyah al-Awliyâ’,
10/117).
Hadis ini bukan retorika, tetapi prinsip
agung dalam sistem kepemimpinan Islam. Seorang pemimpin yang benar-benar
memahami tugasnya akan melihat rakyat bukan sebagai objek kekuasaan; tetapi
sebagai amanah dari Allah yang wajib dipelihara dengan cinta, keadilan dan
pengorbanan. Itulah karakter dasar kepemimpinan dalam Islam: melayani umat
dengan kasih sayang dan keadilan.
Amanah dan adil adalah inti dari siyâsah
(politik) Islam (lihat: QS an-Nisa’ [4]: 58). Dalam banyak tempat, Allah SWT
bahkan menggandengkan keadilan dengan ketakwaan. Pemimpin yang adil tidak akan
menzalimi rakyatnya. Sebabnya, dia sadar bahwa setiap keputusan akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak.
Dia akan selalu mengingat sabda Rasulullah
saw.: ”Tidaklah seorang pemimpin yang diberi amanah oleh Allah, lalu dia
meninggal dalam keadaan mencederai rakyatnya, kecuali Allah haramkan bagi
dirinya surga.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw. sendiri adalah seorang
kepala negara yang selalu hadir di hati umat (rakyat)-nya karena beliau amat
mencintai dan menyayangi mereka.
Demikian pula Abu Bakar ash-Shiddiq ra.
Ketika diangkat sebagai khalifah, beliau langsung menyatakan, ”Aku telah
diangkat menjadi pemimpin kalian. Padahal aku bukan yang terbaik di antara
kalian. Karena itu jika aku benar, bantulah aku. Jika aku salah, luruskanlah
aku.” (Târîkh ath-Thabari, 2/245).
Kata-kata ini menunjukkan kerendahan hati
dan kesadaran bahwa kepemimpinan adalah amanah, bukan privilege. Beliau
memimpin dengan kerendahan hati dan cinta kepada umat. Bahkan ketika sakit
menjelang wafatnya, beliau masih memikirkan nasib kaum rakyatnya, bukan
dirinya.
Demikian pula Khalifah Umar bin
al-Khaththab ra. Beliau adalah simbol keadilan. Ketika seorang warga Mesir
mengadukan kezaliman anak gubernur Mesir, Khalifah Umar memanggil keduanya ke
Madinah. Lalu beliau mempersilakan rakyat jelata itu membalas cambukan kepada
anak gubernur di hadapan publik. Khalifah Umar ra. berkata kepada gubernur itu,
”Sejak kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu
mereka dalam keadaan merdeka?” (Adz-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubalâ’, 2/514).
Ketika rakyat kelaparan pada masa
paceklik, Khalifah Umar tak mau makan sampai rakyatnya betul-betul kenyang.
Beliau berkata, “Bagaimana mungkin aku merasa kenyang, sementara rakyatku
lapar?” (Ibn Sa‘d, Thabaqât al-Kubrâ, 3/312).
Beliau pun pernah menggendong sendiri
karung gandum ke rumah seorang janda yang kelaparan. Ketika ajudannya menawarkan
bantuan, beliau menjawab, “Apakah engkau yang akan memikul dosaku kelak pada
Hari Kiamat?” (Ibn al-Jauzi, Manaaqib ‘Umar, hlm. 149).
Keteladanan juga ditunjukkan oleh Khalifah
Utsman bin ‘Affan ra. Pada masa kekeringan, beliau pernah membeli—dari uang
pribadinya—Sumur Raumah dari orang Yahudi untuk diberikan kepada umat Muslim
secara gratis.
Keteladanan juga ditunjukkan oleh Khalifah
Ali bin Abi Thalib ra. Khalifah Ali adalah lambang kecerdasan dan keberanian,
tetapi juga kelembutan hati. Beliau pun dikenal sebagai sosok pemimpin yang
suka hidup zuhud. Pakaian dan makanannya sangat sederhana. Padahal, kalau mau,
beliau bisa hidup mewah.
Berikutnya adalah Khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Beliau adalah salah satu sosok pemimpin teladan yang paling menggetarkan
hati. Sesaat setelah dilantik sebagai khalifah, beliau menangis dan berkata,
“Duhai Allah, Engkau telah membebani diriku perkara yang besar. Jika Engkau
tidak menolongku maka binasalah aku dan umat ini.”
Beliau adalah khalifah yang sangat takut
terhadap hisab Allah. Selama menjabat, beliau menolak semua harta negara.
Istrinya, Fathimah binti Abdul Malik, bersaksi, “Demi Allah, ia tak pernah
menyentuh satu dirham pun dari Baitul Mal. Setiap malamnya diisi dengan tangis
dalam sujud.” Beliau biasa memadamkan lampu minyak negara saat membicarakan
urusan pribadi/keluarga. Beliau memandang urusan pribadi/keluarga tidak boleh
menggunakan fasilitas publik (Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 9/199).
Beliau hanya menjabat dua tahun. Namun,
dalam waktu singkat, rakyatnya makmur dan hidup sejahtera. Bahkan dikatakan
bahwa pada zamannya tak ditemukan lagi orang miskin yang layak menerima zakat
(Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 9/199).
Demikianlah para penguasa Muslim dulu.
Mereka benar-benar memahami dan mempraktikan dengan baik hakikat politik
(siyâsah) Islam, yakni: mengurus dan melayani rakyat berdasarkan tuntutan
syariah Allah SWT.
Alhasil, wahai para penguasa dan para
pemimpin! Jadikanlah kekuasaan kalian sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT
dan pelayanan kepada rakyat kalian. Bukan sebagai puncak nafsu dunia dan
ketundukan pada godaan setan. Ingatlah! Kelak, di Akhirat, yang paling berat
hisabnya adalah para penguasa dan para pemimpin seperti kalian! Saat demikian,
kekuasaan yang kalian usahakan dan kalian pertahankan mati-matian—tanpa kalian
peduli halal dan haram, benar-benar akan berbuah penyesalan yang amat dalam!
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
No.1158/06/10/25 : 05.02 WIB)