Oleh : Ahmad Sastra
Pendidikan Islam tidak hanya bertujuan mentransfer
ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, moral, dan ketakwaan. Untuk
mencapai tujuan tersebut secara berkelanjutan, diperlukan sistem keuangan yang
solid dan direncanakan dengan baik. Perencanaan dan pengelolaan keuangan
pendidikan Islam mencakup semua aspek mulai dari sumber dana, alokasi,
penggunaan, pengawasan, hingga pertanggungjawaban.
Kunci utamanya adalah bahwa semua kegiatan keuangan
harus sejalan dengan prinsip-prinsip syariah: keadilan, transparansi,
akuntabilitas, efisiensi, bebas riba, dan tidak melibatkan praktik yang
dilarang seperti maysir (judi) atau gharar secara berlebihan. Pembiayaan pendidikan
Islam juga melibatkan pemerintah, sebab salah satu hak dasar rakyat adalah
mendapatan pendidikan bebas biaya.
Landasan Konsep dan Prinsip Syariah
Konsep keuangan Islam pada pendidikan bersandar pada
wahyu (al-Qur’an) dan hadis, sebagai sumber hukum utama yang memerintahkan agar
keuangan dijalankan secara benar, adil, dan sebagai bentuk ibadah. Misalnya,
prinsip ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah, Waqf) menjadi salah satu landasan sumber
dana alternatif dalam lembaga pendidikan Islam.
Pengelolaan dana zakat dan waqf yang produktif dapat
menambah sumber keuangan yang tidak hanya bergantung pada iuran siswa atau
hibah pemerintah. Selain sumber dana, prinsip-prinsip seperti efisiensi,
transparansi, akuntabilitas publik, keadilan (fairness), dan bebas dari unsur
riba, maysir, gharar merupakan panduan yang harus dijaga dalam setiap tahap
pengelolaan keuangan.
Perencanaan keuangan pendidikan Islam dapat dibagi ke
dalam beberapa tahap penting berikut:
Pertama, Identifikasi
kebutuhan. Lembaga pendidikan harus menganalisis kebutuhan operasional (gaji
guru, fasilitas, sarana prasarana, peningkatan mutu, promosi), kebutuhan
pengembangan (ekspansi, inovasi kurikulum, teknologi), dan cadangan (untuk kondisi
darurat atau masa sulit).
Kedua, Perumusan
anggaran. Setelah kebutuhan diidentifikasi, dibuatlah anggaran yang realistis
dan proporsional. Prioritas harus ditetapkan berdasarkan urgensi dan dampak
terhadap tujuan pendidikan. Anggaran harus mencakup semua pos: sumber daya
manusia, infrastruktur, operasional, pemeliharaan, dan pembelajaran non-formal
jika ada.
Ketiga, Sumber
dana dan Diversifikasi. Agar lembaga tidak terlalu tergantung pada satu jenis
sumber dana, perlu upaya diversifikasi. Selain dari iuran siswa, pemerintah,
sumbangan, hibah internasional, lembaga pendidikan Islam dapat memanfaatkan
zakat/infaq/sedekah dan waqf produktif. Pengelolaan sumber dana syariah ini
harus profesional agar keberlanjutan dana dapat terjaga.
Keempat, Pengalokasian
dan penggunaan anggaran. Anggaran yang sudah disusun harus dialokasikan sesuai
dengan skala prioritas (penting mendesak, penting tidak mendesak, tidak penting
mendesak dan tidak penting tidak mendesak) dan sesuai dengan prinsip syariah
(wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram). Penggunaan dana harus tepat sasaran,
tidak ada pemborosan, dan semua pos harus jelas (efektif dan efisien).
Pengorganisasian penggunaan dana melibatkan pihak yang kompeten (professional atau
ahli).
Kelima, Pengawasan
dan evaluasi. Lembaga harus memiliki sistem untuk memonitor realisasi anggaran,
melakukan audit internal, laporan transparan kepada stakeholder (guru, wali
murid, masyarakat), evaluasi hasil dan dampaknya, serta memperbaiki kelemahan.
Evaluasi tahunan atau berkala sangat penting untuk menjaga akuntabilitas dan keberlanjutan.
Pengawasan dan
evaluasi keuangan di lembaga pendidikan Islam merupakan instrumen penting dalam
menjaga transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan lembaga. Dalam
perspektif Islam, pengelolaan keuangan tidak hanya bersifat administratif,
tetapi juga bernilai ibadah karena berkaitan dengan amanah dan kejujuran dalam
mengelola dana umat.
Model pengawasan
yang ideal mencakup dua dimensi utama: pengawasan internal dan pengawasan
eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh pihak manajemen lembaga, seperti
bendahara dan pengawas syariah, untuk memastikan penggunaan dana sesuai dengan
rencana anggaran dan prinsip syariah.
Sementara itu,
pengawasan eksternal dilakukan oleh auditor independen, lembaga zakat, atau
yayasan induk yang menaungi lembaga pendidikan, guna menilai kepatuhan terhadap
regulasi dan standar akuntansi keuangan Islam.
Evaluasi keuangan
di lembaga pendidikan Islam tidak hanya menilai efektivitas penggunaan dana,
tetapi juga mengukur efisiensi, kebermanfaatan, dan kesesuaian dengan tujuan
dakwah dan pendidikan Islam. Instrumen evaluasi biasanya mencakup audit
keuangan berbasis syariah, analisis rasio keuangan, serta laporan
pertanggungjawaban publik (transparency report) yang dapat diakses oleh
pemangku kepentingan.
Prinsip hisbah
dalam Islam menjadi landasan moral pengawasan ini—yakni memastikan setiap
pengelolaan harta dilakukan secara benar, adil, dan tidak menimbulkan
kemudaratan. Dengan penerapan model pengawasan dan evaluasi keuangan yang
profesional serta berlandaskan etika Islam, lembaga pendidikan Islam dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat dan memperkuat perannya sebagai pusat
pembentukan generasi berintegritas dan berakhlak mulia.
Pengelolaan Keuangan Pendidikan Islam: Best Practise
dan Tantangan
Berbagai penelitian telah menggambarkan bagaimana
lembaga pendidikan Islam mengelola keuangan mereka di Indonesia:
Pertama, Studi “Islamic Education Institution
Financial Planning” menjelaskan bahwa lembaga seperti STIT Al-Hikmah dan
STIT At-Taqwa telah menerapkan perencanaan keuangan sejak masa Nabi Muhammad
sebagai teladan, termasuk penyusunan anggaran dan evaluasi. (journal.uin-alauddin.ac.id)
Kedua, Penelitian lainnya menunjukkan bahwa prinsip
efisiensi dan transparansi sangat membantu dalam menjaga kepercayaan masyarakat
dan pihak donor, terutama saat lembaga menghadapi masalah seperti penurunan
jumlah siswa atau ketidakpastian ekonomi. (Markas Jurnal STAI Al Hidayah Bogor+1)
Ketiga, Pengelolaan berbasis ZISWAF juga menjadi
solusi kreatif untuk sumber dana tambahan yang sustainable. Namun, tantangan
terbesar adalah kurangnya SDM yang memahami hukum-syara serta praktik akuntansi
syariah, serta kurangnya sistem informasi keuangan yang memadai. (UIKA Bogor Journals+2Jurnal Cendekia+2)
Kiat Strategis
Untuk lembaga pendidikan Islam yang ingin memperkuat
keuangan mereka, berikut beberapa kiat strategis:
Pertama, Meningkatkan kapasitas tenaga keuangan/lembaga
dalam sisi akuntansi syariah, audit, dan pengelolaan zakat/waqf.
Kedua, Mengadopsi sistem informasi keuangan yang
transparan dan mampu melaporkan realisasi dengan mudah ke stakeholder.
Ketiga, Melakukan perencanaan jangka panjang (5-10
tahun), bukan hanya tahunan, agar pengembangan fasilitas, SDM, dan kualitas
kurikulum bisa dipersiapkan lebih matang.
Keempat, Memprioritaskan pemanfaatan dana yang
produktif seperti waqf produktif agar hasilnya tidak hanya konsumtif, tetapi
memberikan manfaat berkelanjutan.
Kelima, Menjalin kemitraan dengan komunitas,
pemerintah lokal, lembaga zakat, dan donor agar ada dukungan tambahan, dan
mengurangi beban keuangan pada siswa/ortu.
Perencanaan dan pengelolaan keuangan dalam pendidikan
Islam adalah aspek krusial yang menentukan keberlanjutan dan kualitas
pendidikan. Dengan pondasi syariah yang kuat (termasuk prinsip terkait sumber
dana, prinsip keadilan, bebas riba, transparansi, efisiensi, akuntabilitas),
praktik pelaksanaan yang sistematis dari identifikasi kebutuhan, anggaran,
penggunaan, pengawasan dan evaluasi, lembaga pendidikan Islam dapat lebih
tangguh menghadapi tantangan. Ke depan, inovasi dalam sumber dana seperti
ZISWAF produktif dan peningkatan kemampuan SDM dalam keuangan syariah akan
semakin penting.
Sejarah Pembiayaan Pendidikan Islam Masa Keemasan
Islam
Salah satu aspek penting dalam perkembangan peradaban
Islam adalah bagaimana sistem pendidikan didanai dan dikelola — terutama pada
masa Khulafaur Rasyidin, Umayyah, dan Abbasiyah. Model pembiayaan pendidikan
Islam pada masa keemasan Islam memiliki karakteristik unik yang memadukan
kepedulian negara, lembaga agama, masyarakat, dan wakaf (endowment).
Dalam
kitab Al Roudhul Uruf karya as Suhali, Rasulullah SAW telah menerapkan suatu
sistem yang terbaik dalam upaya mendidik kaum muslimin. Beliau mendorong kepada
kaum muslimin untuk menuntut ilmu dan memberantas buta huruf pada awal
berdirinya Daulah Islam di Madinah dengan cara setiap tawanan perang Badar
diharuskan mengajar sepuluh orang kaum muslimin sebagai tebusannya.
Atas
dasar ini negara Islam telah menyempurnakan sektor pendidikan melalui
sistem pendidikan bebas biaya bagi seluruh warga negara. Ilmu pengetahuan
merupakan kebutuhan pokok setiap manusia, karenanya menjamin terpenuhinya
kebutuhan pokok warga negara adalah kewajiban negara. Dalam al Fathul Kabir,
Rasulullah pernah menjelaskan bahwa termasuk tanda-tanda datangnya kiamat
adalah hilangnya ilmu dan meluaskan kebodohan. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu
Islam untuk memahami Islam dan tentu saja ilmu-ilmu yang lainnya.
Negara Islam menjadikan pendidikan bebas biaya dengan cara menjamin kesejahteraan
semua guru dari baitul maal. Dalam sejarah ada tiga guru dari madinah yang
digaji oleh Khalifah Umar bin Khaththab 15 dinar (63, 75 gram emas) setiap
bulannya. Khilafah berkewajiban memelihara, mengatur dan melindungi rakyatnya
dari kebodohan ilmu pengetahuan dan menjamin para guru untuk bisa mengajar
tanpa harus memikirkan kesejahteraan hidupnya. Sumber-sumber
Pembiayaan Pendidikan Islam :
Pertama, Baitul Mal (Kas Negara Islam). Pada masa
Khulafaur Rasyidin, pendidikan formal seringkali didukung oleh kas negara.
Baitul Mal menjadi lembaga yang menyalurkan dana untuk berbagai kepentingan
publik termasuk pendidikan. Sumber kas ini berasal dari pendapatan negara
seperti jizyah (pajak atas non-Muslim yang tunduk), kharaj (pajak
tanah), ushur (pajak atas barang-barang impor atau yang melintasi
batas), fai’, ghanimah, dan khums. Jurnal Raden Fatah+3Umsida Press+3KOMPASIANA+3
Contohnya, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab,
Baitul Mal memanfaatkan pendapatan dari kharaj, jizyah, dan ushur untuk
membiayai pendidikan, termasuk menggaji guru, imam, muazin, dan penyediaan
sarana pendidikan. Raden Intan Repository+2Muhammad Fathurrohman+2
Kedua, Wakaf (Endowment). Wakaf muncul sebagai
instrumen penting untuk pembiayaan lembaga pendidikan, perpustakaan, dan
beasiswa. Wakaf memungkinkan aset tetap seperti tanah, bangunan, atau properti
disediakan secara permanen agar manfaatnya terus dirasakan. Pada masa Umayyah
dan Abbasiyah, wakaf digunakan untuk membangun dan memelihara madrasah, kuttab,
perpustakaan, serta menggaji para pengajar. Larisma Journal+3VOI+3Journal Abdurrauf Institute+3
Ketiga, Iuran dan Donasi Masyarakat. Selain dukungan
negara dan wakaf, masyarakat Muslim juga memberi kontribusi melalui sedekah,
infaq, dan sumbangan sukarela lainnya. Meski tidak selalu formal seperti wakaf,
kontribusi masyarakat ini memainkan peran krusial, terutama untuk lembaga
pendidikan nonformal dan kegiatan dakwah atau pengajaran agama lokal. UMM Institutional Repository+1
Keempat, Provinsi dan Pemerintah Lokal. Seiring pertumbuhan
administrasi pemerintahan, unit pemerintahan lokal terkadang mendapatkan
otoritas untuk mendanai lembaga pendidikan di wilayahnya. Pemerintah pusat
(Khilafah) biasanya menjamin anggaran dasar melalui Baitul Mal, tetapi
lembaga-lembaga lokal dan gubernur kadang memiliki anggaran tambahan untuk
sekolah atau madrasah di wilayah mereka. Referensi spesifik tentang hal ini
ditemukan dalam literatur terkait madrasah dan pengelolaan pendidikan di bawah
Abbasiyah. Journal Abdurrauf Institute+1
Mekanisme dan Praktik Pembiayaan dalam sejarah negara
Islam adalah sebagai berikut :
Pertama, Penggajian Guru dan Pengelola. Negara
bertanggung jawab membayar gaji guru, imam, muazin, dan pegawai pendidikan
lainnya. Misalnya, gaji guru dan imam pada masa Khalifah Umar dan Utsman
dibayarkan dari pendapatan negara. Raden Intan Repository+2KOMPASIANA+2
Kedua, Pembangunan dan Pemeliharaan Sarana Pendidikan.
Melalui dana Baitul Mal dan wakaf, dilakukan pembangunan gedung madrasah,
asrama, perpustakaan, dan fasilitas ilmiah. Fasilitas ini biasanya dikelola
agar bertahan lama dan melayani banyak generasi. Contoh: Madrasah Nizhamiyah di
Baghdad, yang mendapat dukungan wakaf pemerintah, menjamin fasilitas memadai
serta buku dan pengajar terkemuka. Journal Abdurrauf Institute
Ketiga, Subsidi / Pendidikan Gratis. Salah satu
kekhasan masa Khilafah adalah bahwa pendidikan agama dasar atau pendidikan
formal kadang diberikan secara gratis atau dengan biaya rendah, terutama bagi
umat Islam. Kebijakan ini didasari keyakinan bahwa negara bertanggung jawab
memastikan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk pendidikan. KOMPASIANA+2VOI+2
Periode Khulafaur Rasyidin, Umayyah, dan Abbasiyah :
Perkembangan dan Perbedaan
Pertama, Khulafaur Rasyidin. Pada masa ini, sistem
sangat awal dan masih sederhana. Pengajaran agama dilakukan di masjid dan
majelis pengajaran oleh para sahabat dan ulama. Negara melalui Baitul Mal mulai
terlibat dalam pendanaan meskipun tidak ada sistem madrasah formal sebagaimana
pada masa Abbasiyah. � cite partly turn0search38 and turn0search0.
Kedua, Umayyah. Di bawah Dinasti Umayyah, institusi
pendidikan mulai lebih terstruktur. Wakaf mulai digunakan lebih luas untuk
membangun fasilitas pendidikan, membayar guru, dan menyediakan ruang belajar
publik. Negara tetap menjadi pelaksana utama tanggung jawab keuangan
pendidikan. VOI+1
Ketiga, Abbasiyah. Masa kejayaan lembaga pendidikan
Islam sebagian besar terlihat pada periode Abbasiyah. Madrasah‐madrasah besar
seperti Nizhamiyah muncul, Bait al‐Hikmah menjadi pusat intelektual, dan wakaf
serta Baitul Mal memainkan peran besar dalam menjaga pendanaan dan kualitas
pendidikan. Kurikulum berkembang, laboratorium ilmiah, observatorium dan
perpustakaan besar didirikan sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam. Jurnal UMSU+3Journal Abdurrauf Institute+3Jurnal Raden Fatah+3
Implikasi dan Pelajaran dari Sejarah : Dimensi Empirik
Pertama, Keberlanjutan melalui Wakaf. Wakaf terbukti
menjadi instrumen pembiayaan yang berkelanjutan. Aset wakaf dapat dipelihara
dan dikelola agar manfaatnya terus mengalir sepanjang waktu. Ini adalah pelajaran
penting bagi lembaga Islam kontemporer dalam merancang sumber daya finansial
agar tidak tergantung hanya pada satu jenis pendanaan.
Kedua, Peran Negara dalam Pendidikan. Negara masa
Khilafah memandang pendidikan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan
ibadah; sehingga negara menyediakan dana melalui Baitul Mal. Keterlibatan
negara sebagai jamin pendidikan bagi rakyat adalah elemen penting dalam
pemerintahan Islam klasik.
Ketiga, Keterlibatan Masyarakat dan Legitimasi Sosial.
Kontribusi masyarakat seperti wakaf dan donasi memperkuat legitimasi lembaga
pendidikan; memberi rasa kepemilikan, dan bahkan mendorong keadilan akses.
Keempat, Kualitas dan Struktural Institusi. Dengan
dana yang cukup dan sistem pembiayaan yang relatif stabil, lembaga pendidikan
Islam pada masa Abbasiyah mampu menghasilkan ilmuwan besar dalam berbagai
bidang—teologi, ilmu alam, matematika, astronomi, kedokteran. Keberadaan
fasilitas-fasilitas ilmiah seperti observatorium dan perpustakaan besar
(contohnya Bait al-Hikmah) menunjukkan bahwa pembiayaan tidak hanya untuk aspek
agama dasar tetapi juga untuk ilmu pengetahuan umum. Jurnal UMSU+2Jurnal Raden Fatah+2
Sejarah pembiayaan pendidikan Islam masa Khilafah
menunjukkan bahwa lembaga pendidikan berkembang pesat melalui kombinasi sumber
dana negara (Baitul Mal), wakaf, masyarakat, dan pemerintah lokal. Mekanisme
pembiayaan tersebut memungkinkan pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum
berjalan secara simultan, bahkan gratis atau sangat terjangkau, dan mendukung
pembentukan budaya ilmiah yang kuat. Pelajaran dari sejarah ini mempunyai
relevansi tinggi bagi pembangunan pendidikan Islam modern: diversifikasi sumber
dana, peran aktif negara, pengelolaan aset wakaf secara profesional, dan
pemberdayaan masyarakat adalah kunci untuk keberlanjutan dan kualitas
pendidikan Islam.
Referensi
Dewi Kartika et
al., Islamic Education Institution Financial Planning. Idaarah: Jurnal
Manajemen Pendidikan, Vol. 7 No. 1, 2023.
Islamic Education at the Nizhamiyah Madrasah during
the Abbasid Era: Models of Financing, Curriculum Design, and Pedagogical
Priorities”, Reni Dwi Anggraini & Ahmad Nurul Kawakib, El-Suffah: Jurnal
Studi Islam. Journal Abdurrauf Institute
Islamic Education Institutions in the Classical Period
(Umayyad and Abbasid Periods)”, Nurul Hidayah, Faridi Faridi, Ishomuddin,
Jurnal PAI Raden Fatah. Jurnal Raden Fatah+1
Nurul Mawaddah Al-Mursal, Hamdi Abdul Karim, Hafiz
Azhari, Effective Strategies in the Financial Management of Islamic
Educational Institutions: Identifying Sources and Optimizing Management.
Jurnal Bina Ilmu Cendekia, 2023.
Studi tentang pembiayaan pendidikan dan Baitul Mal
pada masa Umar bin al-Khaththab, dari berbagai naskah sejarah Islam. Raden
Intan Repository+1
Ulil Amri Syafri et al., Konsep manajemen keuangan
untuk pendidikan Islam berbasis prinsip ZISWAF. Tawazun: Jurnal Pendidikan
Islam.
Waqf in the Umayyah and Abbasid Dynasties Was Used to
Build Schools and Scholarships”, artikel VOI dan referensi sejarah terkait. VOI
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1159/06/10/25 : 09.25 WIB)