MEMUPUK SPIRIT SANTRI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Menjadi “pelajar berjiwa santri” bukan sekadar soal pengetahuan agama yang dipelajari di ruang kelas atau kitab kuning, melainkan terbentuknya karakter, spiritualitas, etika sosial, dan kemampuan berinteraksi yang menjadikan peserta didik bukan hanya cerdas secara kognitif tetapi juga matang secara moral dan religius.

 

Pertama, integrasi kurikulum: pendidikan formal mesti menyinergikan kurikulum umum dan kurikulum keagamaan secara holistik. Kurikulum yang terpadu tidak menempatkan pelajaran agama sebagai muatan tambahan semata, melainkan sebagai dimensi yang menjiwai mata pelajaran lain (karakter, etika ilmiah, tanggung jawab sosial).

 

Praktik terbaik pesantren yang menekankan hafalan, tafsir dasar, akhlak, dan pengamalan ibadah dapat diadaptasi ke sekolah umum melalui modul pembiasaan, pengayaan bacaan klasik, serta kegiatan rutin seperti halaqah dan murajaah. Pendekatan ini mengacu pada tradisi pembelajaran yang panjang dalam studi pesantren.

 

Kedua, teladan kyai/guru sebagai pusat pembentukan karakter. Santri tumbuh dari teladan; kyai dan guru yang konsisten antara ucapan dan praktik membentuk rasa hormat, disiplin, dan etika sosial.

 

Oleh karena itu, penguatan kapasitas pendidik, baik kompetensi pedagogis maupun keteladanan spiritual adalah kunci. Pelatihan bagi guru yang menggabungkan pendekatan psikopedagogis modern dengan wawasan keislaman tradisional membantu mereka menjadi fasilitator perubahan bukan sekadar pemberi materi. Pendekatan ini tercermin dalam kajian tentang peran ulama dan jaringan pendidikan Islam.

 

Ketiga, pembiasaan praktik ibadah dan akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Santri dikenal oleh kebiasaan praktik ritual dan internalisasi nilai: disiplin waktu, kejujuran, kesederhanaan, gotong-royong, dan pengendalian diri.

 

Sekolah dapat menerapkan jadwal harian yang memuat doa bersama, muhasabah singkat, pengelompokan mentoring, dan program layanan sosial. Kegiatan-kegiatan ini bukan ritual simbolik, melainkan metode pedagogis untuk menginternalisasi nilai moral. Prinsip-prinsip spiritual klasik dari karya-karya besar keilmuan Islam menegaskan pentingnya latihan batin dan etika dalam pendidikan.

 

Keempat, lingkungan pembelajaran yang suportif: pesantren menunjukkan bahwa lingkungan asrama, kebersamaan makan, kerja bakti menjadi laboratorium sosial untuk pendidikan karakter.

 

Sekolah dapat merancang “mini-pesantren” lewat kegiatan ekstrakurikuler terstruktur, asrama singkat, atau program boarding weekend yang menumbuhkan kebiasaan hidup bersama, kemandirian, dan kepedulian sosial. Lingkungan yang kondusif mempercepat transfer nilai dari guru ke pelajar.

 

Kelima, keterkaitan dengan masyarakat dan pembelajaran kontekstual. Santri tidak terisolasi; mereka aktif dalam masyarakat mengajar anak-anak, ikut pengajian, atau mendampingi kegiatan sosial.

 

Sekolah perlu membangun kemitraan dengan masjid, pesantren, dan organisasi keagamaan lokal sehingga pembelajaran menjadi kontekstual dan relevan. Kegiatan layanan masyarakat memperkuat empati serta rasa tanggung jawab sosial pelajar. Studi-studi modern tentang reformasi pendidikan Islam menekankan pentingnya jaringan ulama dan lembaga dalam transfer pengetahuan dan nilai.

 

Terakhir, evaluasi holistik dan berkelanjutan: pengukuran keberhasilan tidak hanya lewat ujian tertulis, tetapi juga asesmen sikap, observasi perilaku, portofolio keterlibatan sosial, dan umpan balik komunitas. Model evaluasi seperti ini menghargai perkembangan karakter yang seringkali lambat terlihat namun berdampak panjang.

 

Kesimpulannya, mencetak pelajar berjiwa santri memerlukan kombinasi antara warisan tradisi pesantren dan inovasi pedagogis modern: kurikulum terpadu, keteladanan pendidik, pembiasaan spiritual-akhlak, lingkungan hidup yang mendukung, keterhubungan dengan masyarakat, serta evaluasi holistik.

 

Upaya ini tidak spontan melainkan proses pendidikan berkelanjutan yang memerlukan komitmen sekolah, keluarga, dan komunitas agama. Jika dijalankan dengan konsistensi, strategi ini berpotensi menghasilkan generasi pelajar yang tidak hanya kompeten secara intelektual, tetapi juga berakhlak, berempati, dan bersiap memimpin masyarakat dengan nilai-nilai keilmuan dan spiritual yang kuat.

 

Referensi

Van Bruinessen, M. (1994). Kitab kuning, pesantren, & tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia.

Azra, A. (The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia.

Al-Ghazali. (12th century). Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn (The Revival of the Religious Sciences). Hasyim Asy'ari, kajian biografis dan pemikiran tentang pendidikan pesantren. Nurcholish Madjid, gagasan modernisasi pemikiran Islam dan relevansinya terhadap pendidikan


(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1175/25/10/25 : 14.48 WIB) 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad