Oleh : Ahmad Sastra
Imam Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111 M), seorang ulama
besar dan pemikir Islam klasik, dikenal luas melalui karya-karyanya seperti Ihya’
Ulum al-Din, Ayyuha al-Walad, dan Mizan al-‘Amal.
Pemikirannya mengenai pendidikan dan pembentukan akhlak memiliki pengaruh
mendalam terhadap sistem pendidikan Islam hingga kini.
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidikan bukan sekadar
transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga proses penyucian jiwa (tazkiyatun nafs)
dan pembentukan karakter mulia (akhlaq karimah). Karena itu, sanksi
dalam lembaga pendidikan Islam menurut al-Ghazali tidak boleh dipahami semata
sebagai hukuman, melainkan sebagai sarana tarbiyah untuk menumbuhkan kesadaran
moral dan spiritual peserta didik.
Dalam Ihya’ Ulum al-Din, al-Ghazali menjelaskan
bahwa anak pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan fitrah, dan tugas pendidik
adalah menjaga serta mengarahkan fitrah itu agar tetap berada di jalan yang
benar. Ketika peserta didik melakukan kesalahan, sanksi menjadi bagian dari metode
ta’dib (pendisiplinan), bukan ta’dzib (penyiksaan).
Sanksi dalam perspektif al-Ghazali berfungsi untuk
menanamkan kesadaran dan mengembalikan perilaku pada nilai-nilai kebenaran,
bukan untuk melampiaskan kemarahan pendidik.
Al-Ghazali menegaskan, “Jika seorang anak menunjukkan
perilaku buruk, hendaklah guru menegurnya dengan lembut, tidak dengan
kekerasan. Jika dengan nasihat belum cukup, maka baru diberi peringatan yang
menumbuhkan rasa malu.” (Ihya’ Ulum al-Din, Juz 3).
Prinsipnya adalah berangsur-angsur (tadarruj):
dimulai dari nasihat, peringatan, pembatasan hak, dan hanya dalam keadaan
tertentu diberikan sanksi fisik ringan, tanpa melukai martabat atau tubuh anak.
Dengan demikian, al-Ghazali telah merumuskan hierarki
sanksi yang mendidik—mulai dari teguran moral hingga tindakan disiplin semuanya
dalam bingkai kasih sayang dan niat mendidik.
Pendekatan ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW: “Perintahkanlah
anak-anakmu untuk salat pada usia tujuh tahun dan pukullah mereka (dengan
pukulan mendidik) ketika berusia sepuluh tahun jika mereka meninggalkannya”
(HR. Abu Dawud). Hadis ini bukan melegitimasi kekerasan, melainkan menegaskan
bahwa disiplin adalah bagian dari pendidikan akhlak.
Al-Ghazali menggarisbawahi pentingnya akhlak pendidik
dalam memberi sanksi. Dalam Ayyuha al-Walad, beliau menulis bahwa guru
harus menjadi teladan moral, bukan penguasa yang menakutkan. Sanksi yang baik
harus memenuhi beberapa prinsip:
Pertama, Niat Ikhlas dan Tujuan Mendidik. Sanksi
diberikan bukan karena emosi atau dendam, tetapi demi perbaikan akhlak.
Al-Ghazali menyebut, “Barang siapa mendidik anak karena amarah, ia telah
menanamkan keburukan dalam dirinya dan anak itu.”
Kedua, Proporsionalitas. Beratnya sanksi harus sesuai
dengan kadar kesalahan. Hukuman berlebihan akan merusak hati anak dan
menumbuhkan kebencian terhadap ilmu maupun pendidik.
Ketiga, Konsistensi dan Keadilan. Guru harus bersikap
adil dan tidak membeda-bedakan murid. Ketidakadilan dalam menegakkan disiplin
dapat mematikan semangat belajar dan merusak wibawa lembaga pendidikan.
Keempat, Kasih Sayang dan Hikmah. Menurut al-Ghazali,
kasih sayang adalah ruh pendidikan. Sanksi tanpa kasih sayang hanya
menghasilkan ketakutan, bukan kesadaran moral.
Dalam konteks modern, prinsip-prinsip ini sejalan dengan
pendekatan restorative discipline dalam psikologi pendidikan, di mana
sanksi diarahkan pada pemulihan hubungan dan kesadaran diri, bukan pada
pembalasan.
Implementasi di Lembaga Pendidikan Islam
Konsep al-Ghazali dapat diimplementasikan dalam sistem
pendidikan Islam melalui kebijakan dan praktik yang selaras dengan nilai-nilai
Qur’ani dan prinsip hukum positif. Implementasi yang ideal mencakup beberapa
langkah :
Pertama, Penyusunan Kode Etik dan Tata Tertib Islami. Lembaga
pendidikan perlu merumuskan aturan yang menekankan nilai adab, kejujuran,
disiplin, dan tanggung jawab. Pelanggaran terhadap aturan tersebut direspons
dengan tindakan mendidik yang bersifat pembinaan, bukan hukuman keras.
Kedua, Pembinaan Karakter dan Spiritualitas. Sebelum
memberi sanksi, lembaga perlu menanamkan pemahaman spiritual bahwa setiap
pelanggaran adalah peluang untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Hal ini sesuai
dengan semangat tazkiyatun nafs yang diajarkan al-Ghazali.
Ketiga, Keterlibatan Guru dan Orang Tua. Dalam
pandangan al-Ghazali, pendidikan adalah kerja kolektif antara guru, keluarga,
dan masyarakat. Karenanya, penerapan sanksi perlu melibatkan komunikasi dengan
orang tua agar pembinaan berlanjut di rumah.
Keempat, Pendekatan Bertahap dan Rehabilitatif. Implementasi
sanksi di pesantren atau madrasah dapat dimulai dari nasihat pribadi,
peringatan, tugas sosial, hingga skorsing dengan pendampingan. Model ini
terbukti efektif menjaga keseimbangan antara ketegasan dan kasih sayang.
Relevansi Pemikiran al-Ghazali di Era Modern
Pemikiran al-Ghazali tentang sanksi sangat relevan
dalam menghadapi tantangan pendidikan kontemporer yang menuntut keseimbangan
antara disiplin dan perlindungan hak anak.
Prinsip targhib wa tarhib (dorongan dan
peringatan) yang beliau ajarkan mencerminkan pendekatan motivasional dalam
pendidikan modern. Sanksi tidak boleh menghilangkan harga diri anak, melainkan
harus menumbuhkan tanggung jawab moral dan kesadaran spiritual.
Di tengah meningkatnya kasus kekerasan di sekolah dan
pesantren, gagasan al-Ghazali menjadi koreksi penting terhadap praktik disiplin
yang keliru. Pendidikan Islam perlu kembali menegakkan konsep sanksi berbasis rahmah
(kasih sayang) dan ta’dib (pendisiplinan bernilai spiritual), bukan
kekerasan fisik atau psikologis.
Konsep sanksi menurut Imam al-Ghazali adalah refleksi
dari keseimbangan antara ketegasan dan kasih sayang, antara ta’dib dan tazkiyah.
Tujuannya bukan menakut-nakuti, tetapi menyadarkan. Implementasinya dalam
lembaga pendidikan Islam harus berlandaskan niat ikhlas, keadilan, dan
proporsionalitas.
Dengan meneladani pandangan al-Ghazali, lembaga
pendidikan Islam dapat membentuk generasi berakhlak mulia tanpa kehilangan
kemanusiaan dalam prosesnya.
Referensi
Al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, Juz 3. Beirut: Dar al-Fikr, 2000.
Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad. Kairo: Dar
al-Ma’arif, 2002.
Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal. Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995.
Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode
Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani, 2004.
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam.
Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.
Al-Abrasyi, M. Athiyah, Ruh al-Tarbiyah wa
al-Ta’lim fi al-Islam. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1975
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1174/23/10/25 : 05.04
WIB)

