Oleh : Ahmad Sastra
Indonesia adalah
negara yang diberkahi keberagaman, kekayaan alam, dan peluang ekonomi besar.
Namun ironi yang sering muncul adalah bahwa negeri ini terus berkutat pada
masalah-masalah klasik yang tampak tidak kunjung menemukan penyelesaian.
Mulai dari
korupsi, tata kelola birokrasi yang buruk, konflik agraria, hingga ketimpangan
pembangunan, semuanya menampilkan pola berulang: rakyat menjadi korban dari
kebijakan yang tidak tepat, struktur yang timpang, dan tata kelola yang lemah.
Korupsi merupakan
salah satu akar utama mengapa banyak masalah tidak pernah terselesaikan.
Indonesia terus berada pada posisi mengkhawatirkan dalam Corruption Perceptions
Index versi Transparency International (2023). Korupsi merembes ke banyak
sektor: proyek infrastruktur, bantuan sosial, perizinan, hingga pendidikan.
Dalam literatur
politik Indonesia modern, korupsi dianggap sebagai fenomena struktural yang
berakar kuat pada budaya patronase, oligarki ekonomi-politik, dan lemahnya
penegakan hukum (Hadiz & Robison, 2013).
Korupsi tidak
hanya menghilangkan uang negara; ia menghilangkan kesempatan rakyat untuk hidup
sejahtera. Ketika jalan cepat rusak, ketika bangunan sekolah roboh, atau ketika
bantuan tidak sampai kepada masyarakat miskin, akar persoalannya sering kembali
pada korupsi. Rakyat menjadi korban dari ketidakefisienan negara yang
seharusnya mereka percayai.
Layanan publik
seharusnya menjadi wujud konkret hadirnya negara. Namun birokrasi Indonesia
masih dianggap lamban, tidak efisien, dan kerap menjadi sumber keluhan.
Penelitian dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) menunjukkan bahwa banyak
layanan publik tidak memiliki standar operasional baku, tidak adaptif terhadap
kebutuhan masyarakat, dan rentan terhadap pungutan liar.
Ketimpangan akses
juga menjadi masalah serius. Daerah perkotaan menikmati layanan kesehatan
modern, RS rujukan, dan dokter spesialis, sementara masyarakat pedesaan menghadapi
fasilitas minim, tenaga medis terbatas, dan biaya transportasi tinggi.
Dalam pendidikan
pun demikian: sekolah unggulan terkonsentrasi di kota, sedangkan di daerah
terpencil banyak sekolah kekurangan guru, buku, dan infrastruktur.
Walaupun secara
geografis Indonesia berada di wilayah rawan bencana, banyak bencana yang
terjadi sesungguhnya diperparah oleh kesalahan tata ruang dan eksploitasi
sumber daya alam tanpa regulasi ketat.
Banjir Jakarta,
kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, serta longsor di daerah pegunungan
kerap dihubungkan dengan deforestasi, pembangunan tidak terencana, dan lemahnya
pengawasan pemerintah daerah.
Penelitian WALHI
(2022) menunjukkan bahwa 80% bencana ekologis di Indonesia terkait langsung
dengan ulah manusia. Rakyat menjadi korban banjir, kehilangan rumah, mengalami
penurunan kualitas kesehatan akibat asap, dan menderita kerugian ekonomi. Pada
titik ini, “apes”-nya Indonesia bukanlah semata karena geografis, melainkan kegagalan
kebijakan tata ruang.
Konflik agraria
merupakan salah satu masalah yang paling kronis dalam sejarah panjang
pembangunan Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan bahwa
ratusan konflik terjadi setiap tahun, mencakup sengketa antara masyarakat dan
perusahaan sawit, tambang, maupun proyek strategis nasional.
Masalah agraria
muncul akibat tumpang tindih kebijakan, lemahnya perlindungan negara terhadap
masyarakat adat, serta sistem sertifikasi tanah yang tidak transparan. Banyak
masyarakat adat yang telah turun-temurun mendiami suatu wilayah justru tergusur
atas nama pembangunan.
Dalam penelitian
antropologi agraria, situasi ini sering digambarkan sebagai bentuk kolonialisme
internal yang terus berlanjut bahkan setelah Indonesia merdeka.
Indonesia memiliki
cadangan batu bara, nikel, emas, minyak, dan hasil laut yang luar biasa besar.
Namun kekayaan ini tidak otomatis membuat rakyat hidup sejahtera. Fenomena
*resource curse* atau “kutukan sumber daya alam” menjelaskan paradoks ini:
negara yang kaya SDA justru sering miskin karena tata kelola yang buruk,
korupsi, dan ketergantungan pada ekspor komoditas mentah.
Contohnya, daerah
tambang masih menunjukkan angka kemiskinan tinggi, minim infrastruktur, dan
kerusakan lingkungan parah. Sementara itu, keuntungan terbesar justru jatuh ke
perusahaan multinasional atau elite lokal. Penelitian Ross (2012) menegaskan
bahwa negara dengan tata kelola buruk akan gagal memanfaatkan SDA untuk
kesejahteraan rakyat.
Demokrasi
Indonesia berkembang cepat, tetapi tidak selalu matang. Polarisasi politik yang
muncul setiap pemilu memperlihatkan bagaimana identitas agama, etnis, dan
ideologi dipolitisasi untuk kepentingan elektoral. Media sosial memperburuk
situasi dengan melanggengkan echo chamber dan penyebaran disinformasi.
Fenomena ini sudah
diteliti oleh banyak akademisi, termasuk Mietzner (2019), yang menyatakan bahwa
demokrasi Indonesia telah bergerak ke arah iliberal akibat meningkatnya politik
identitas. Ketika polarisasi merusak kepercayaan sosial, rakyat menjadi korban
politik yang memecah belah, bukan politik yang mencerdaskan.
Indonesia sering
digambarkan sebagai negara hukum, tetapi praktiknya sering menunjukkan
sebaliknya. Banyak kasus besar berjalan lambat, penuh kejanggalan, atau
berakhir tanpa hasil, terutama jika melibatkan elite ekonomi-politik. Sementara
itu, masyarakat kecil sering dihukum berat untuk pelanggaran kecil.
Studi Komisi
Yudisial dan beberapa jurnal hukum menegaskan adanya masalah serius dalam
independensi hakim, integritas aparat, dan konsistensi putusan pengadilan.
Ketidakpercayaan publik terhadap lembaga hukum mencerminkan masalah kronis
dalam sistem peradilan kita.
Istilah “Indonesia
Apes” bukan ungkapan pesimistis semata, melainkan kritik sosial terhadap
kondisi struktural yang membuat rakyat menjadi korban berkali-kali. Namun bukan
berarti bangsa ini harus pasrah.
Indonesia memiliki
potensi besar untuk bangkit, dengan syarat adanya reformasi menyeluruh:
penguatan hukum, pemberantasan korupsi, pembenahan tata ruang, dan keberpihakan
nyata pada rakyat kecil. Dan tentu saja ganti akar masalah penerapan ideologi
sekulerisme kapitalisme menjadi sistem Islam.
REFERENSI
Hadiz, V. R.,
& Robison, R. (2013). The Political Economy of Oligarchy in Indonesia.
Konsorsium
Pembaruan Agraria. Laporan Konflik Agraria Nasional.
Mietzner, M.
(2019). Populisme dan Politik Identitas di Indonesia.
Ross, M. (2012).
The Oil Curse: How Petroleum Wealth Shapes the Development of Nations.
Transparency
International. Corruption Perceptions Index (2023).
WALHI. (2022).
Laporan Lingkungan Hidup Indonesia.
(Ahmad Sastra, Kota
Hujan, No.1182/19/11/25 : 08.21 WIB)

