Oleh : Ahmad Sastra
Mestinya sebuah karya film yang dibuat oleh umat Islam diapresiasi, tentu saja ketika karya itu betul-betul mampu memberikan pencerahan kepada umat. Namun, jika karya film itu justru menambah kegaduhan, maka wajar jika justru menuai kecaman. Meskipun demikian tentu saja ada ruang argumentasi dalam karya yang notabene dianggap kontroversial.
Sebuah film bergenre nasionalisme yang tayang tanggal 22 oktober 2020 dengan judul My Flag, Merah Putih vs Radikalisme menuai banyak hujatan karena dinilai banyak paradoks. Selama ini paradigma nasionalisme yang punya jargon menghargai perbedaan justru diekspresikan sebaliknya dalam film ini.
Menjaga negara dan keberlangsungan iman menjadi narasi yang mengawali adegan film ini. Padahal faktanya iman tidak dijaga dengan baik oleh negara sekuler. Dalam sistem negara Islam, iman dan kepercayaan rakyat justru dijaga dengan baik, sementara iman kaum muslimin justru seringkali terancam di negeri ini. Negara seringkali membiarkan berbagai bentuk penistaan atas Islam dan kaum muslimin. Lihatlah harmonisasi pluralitas dalam daulah Madinah yang dipimpin Rasulullah.
Iman dan negara memang memiliki korelasi yang kuat, jika negara tersebut adalah negara beriman. Namun jika negaranya liberal atau sekuler, maka sebaliknya, kaum muslimin justru seringkali terancam. Di berbagai negara, umat Islam yang ingin menjalankan keyakinannya justru sering kali dituduh sebagai kaum radikal, bahkan dituduh teroris.
Lihatlah hari ini negara Perancis yang menuai banyak kecaman dari dunia karena telah melecehkan Rasulullah dengan menayangkan kartun Rasulullah. Bahkan di berbagai belahan dunia, Islam dan kaum muslimin belum bisa bernafas lega karena mengalami berbagai kezaliman. Di Indonesia, umat Islam bahkan dikriminalisasi disaat ingin menjalankan keyakinannya secara kaffah. Negara ikut campur hingga materi-materi khutbah dan ceramah agama.
Adalah paradoks, sebuah film yang menampilkan aktivitas santri di sebuah pesantren yang notabene tempat paling toleran terhadap perbedaan, namun di film ini, santri dan pesantren justru digambarkan intoleran kepada saudaranya sendiri. Pada menit ke 3 ada adegan yang sangat miris yakni dibuka paksanya cadar seorang muslimah oleh santriwati yang mengaku sebagai kaum nasionalis yang dinarasikan di film menghargai perbedaan bangsa dan suku.
Adalah paradoks, film nasionalisme dari pesantren justru digambarkan dengan sosok-sosok santri yang memusuhi saudara seiman yang memiliki perbedaan pendapat. Bukankah perbedaan dalam Islam adalah rahmat ?. Perkelahian antar santri dalam adegan film ini, selain melecehkan institusi pesanten juga berpotensi menimbulkan rasa permusuhan dan kebencian sesama muslim. Mengapa sesama muslim digambarkan sebagai musuh, bukan saudara.
Padahal Allah menegaskan dalam firmanNya bahwa sesama muslim adalah bersaudara dan tidak boleh saling mengolok-olok. Perhatikan firmanNya :
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (QS Al Hujurat : 10)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al Hujurat : 11).
Karena itu seorang muslimah tak bercadar tak sepatutnya mengolok-olok muslimah bercadar. Muslim yang tak bercelana cingkrang tak selayaknya melecehkan muslim bercelana cingkrang, sebab bisa jadi mereka lebih baik dari yang mengolok-olok. Cadar sendiri adalah bagian dari ajaran Islam.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah. Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Pendapat mazhab Hambali bahwa setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya. Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari laki-laki ajnabi. Sementara mazhab Syafi’i, terdapat dua pendapat, yakni wajib dan sunnah seorang wanita memakai cadar.
Ironis, narasi radikalisme dalam film ini seolah ditujukan kepada beberapa santri lain yang bercelana cingkrang dan bercadar, serta membawa bendera hitam putih. Tentu saja narasi ini (jika benar) sangat menyesatkan. Sebab celana cingkrang dan cadar adalah bagian dari ajaran Islam, meski empat imam mazhab diatas beda pendapat. Cadar jelas bukan bagian dari simbol radikalisme. Radikalisme sendiri adalah narasi Barat kafir yang dihembuskan untuk menghadang kebangkitan Islam.
Ungkapan-ungkapan bernada nasionalisme yang berlebihan tentu saja bisa merusak iman, sebab kecintaan tertinggi seorang muslim hanya kepada Allah dan RasulNya. Tidak boleh dalam hati seorang muslim ada cinta yang lebih tinggi dari cinta kepada Allah dan Rasulullah. Cinta kepada yang lain harus diletakkan dibawah cinta kepada Allah dan rasulNya.
Islam mengajarkan cinta kepada sesama harus didasari karena Allah. semisal cinta kepada keluarga adalah cinta karena Allah. Bahkan Islam juga mengajarkan benci juga karena Allah. Maknanya, seorang muslim selalu mencintai apa yang Allah cintai dan membenci kepada apa yang Allah benci. Rasulullah mencintai kota mekkah tentu saja cinta karena Allah. Cintailah Indonesia karena Allah, bukan karena karena alasan lain, sebab Indonesia milik Allah. Cintailah saudara seiman karena Allah, sebab sesama orang beriman adalah dipersaudarakan oleh Allah.
Adalah paradoks dalam film ini jika yang digambarkan justru sebaliknya yakni mencintai Indonesia secara berlebihan dan membenci saudara seiman juga berlebihan. Jika ada perbedaan pendapat, mengapa dalam film ini harus diadegankan dengan perkelahian penuh permusuhan, bukan dengan musyawarah dan saling menasehati ?. Sementara kepada para penjajah yang telah merampok sumber daya alam milik rakyat tak disinggung sedikitpun dalam film ini.
Adalah paradoks dalam film ini dengan menggambarkan seorang santri dari sebuah pesantren yang berwatak ‘radikal’ dengan cara memusuhi saudaranya sendiri. Sebab selama ini makna radikal adalah mereka yang intoleransi. Nah justru dengan film ini bukankah santri berbendera merah putih itulah yang seolah radikal, karena tidak bisa menerima perbedaan saudaranya yang bercadar ?. Mestinya buat film itu yang mencerdaskan, mencerahkan, mendamaikan, bukan malah menimbulkan kegaduhan dan permusuhan.
Maka wajar jika penayangan film ini justru memantik banyak kecaman karena dianggap berpotensi menimbulkan permusuhan dan kebencian antar sesama anak bangsa, bahkan sesama muslim. Entah siapa yang mendanai film berdurasi 8 menit ini, saya juga tidak tahu. Coba tanya ke Gus Muwafiq, dia pasti tahu.
(AhmadSastra,KotaHujan,27/10/20 : 00.00 WIB)
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad