MEMBELA PEMIMPIN JANGAN MEMBABI BUTA - Ahmad Sastra.com

Breaking

Kamis, 28 April 2022

MEMBELA PEMIMPIN JANGAN MEMBABI BUTA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS An Nisa’ : 59)

 

Masalah Kepemimpinan dalam pandangan  Islam adalah perkara yang sangat penting.  Saking pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam Islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu Bakar Asy Syidiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.

 

Fungsi  kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur  urusan manusia agar tertib sejalan dengan  nash Al Qur’an  serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Rasulullah memerintahkan kaum muslim agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah  perjalanan. Jika dalam sebuah perjalanan saja harus diangkat seorang pemimpin, apa lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Islam mewajibkan umat Islam untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat. Islam tidak mengajarkan membela dan taat kepada pemimpin secara membabi buta sebagaimana kaum jahiliah dahulu. Ketaatan kepada pemimpin adalah hanya jika pemimpin itu taat kepada Allah dan RasulNya.  Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS An Nisaa : 59).

 

Ayat ini memberikan pemahaman bahwa wajib untuk mentaati Ulil Amri atau pemimpin diantara umat. Secara bahasa (harfiah) ulil amri bermakna penguasa atau orang yang memegang urusan. Pemimpin menurut Imam Bukhari dan Abu Ubaidah memiliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan orang-orang yang dipimpinnya.

 

Abu Hurairah memaknai ulil amri sebagai al umara (penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan). Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama. Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat Rasul. Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni Abu bakar dan Umar bin Khatab.

Ibnu Abbas memaknai ulil amri sebagai al umara wa al wullat atau para penguasa. Kontek ayat ini juga turun berkaitan dengan kewajiban mentaati para penguasa. Namun apakah semua pemimpin dan penguasa wajib kita taati ?

 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaatinya. Sebaliknya tidak wajib taat kepada kemimpin tidak memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT atau memerintahkan  kemaksiatan kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW laa thoata li makhluqin fii maksiatil kholiq Tidak ada ketaatan kepada makhluk yang memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. (HR Ahmad).

 

Dengan demikian ketaatan kepada pemimpin dalam  pandangan Islam hanya jika pemimpin tersebut terikat kepada hukum dan aturan Allah SWT dalam merumuskan hukum dan perundang-undangan. Jika pemimpin justru mengkhianati Allah dan Rasulnya sebagai pemimpin produk pemilu demokrasi, maka haram hukumnya mentaatinya. Demokrasi sendiri adalah sistem kufur, maka akan melahirkan pemimpin yang menolak Islam diterapkan di negeri ini.

 

Rasululah adalah pemimpin teladan dalam Islam yang sepenuhnya berhukum kepada wahyu Allah dalam mengatur seluruh urusan manusia dan dunia, bukan dengan hawa nafsu. Dengan demikian, dalam konteks hari ini, seorang pemimpin yang wajib kita taati adalah pemimpin yang mengatur sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri atau hukum-hukum syariah yang lain bersumberkan kepada Al Qur’an dan Al Hadist. Dengan kata lain seorang pemimpin muslim yang menerapkan Islam secara kaafah. Selain itu pemimpin itu juga harus seorang muslim, laki-laki, merdeka, berakal, baligh, adil, dan memiliki kemampuan.

 

Sebagai seorang muslim sudah memestinya sadar sepenuhnya untuk terikat kepada aturan dan hukum Allah dalam bersikap dan bertindak sekecil apapun. Semua sikap dan tindakan kita semestinya didasarkan oleh dalil agar kita tidak terjebak kepada tindakan yang justru dilarang oleh Allah SWT. Sebab semua tindakan yang kita pilih akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat. Jika perbuatan kita dilandasi oleh niat lillah dan mengikuti sunnah Rasululah, maka kita telah beramal sholeh dan karenanya mendapatkan pahala dari Allah SWT.

 

Menjadi pemimpin atau mentaati pemimpin adalah perbuatan yang juga akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat. Kesalahan memilih pemimpin  yang tidak menerapkan Islam secara kaffah akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akherat. Islam memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaaffah. Udkhulu fissilmi kaafah. Kehidupan manusia di dunia ini akan penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan jika diatur dengan hukum dan aturan Allah semata-mata karena didasari oleh keimanan dan ketaqwaan.

 

Hal ini sejalan dengan janji Allah : Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96)

 

Dengan demikian penguasa dan pemimpin  yang tidak mendorong terciptanya masyarakat yang beriman dan bertaqwa akan jauh dari keberkahan Allah.  Penguasa yang tidak menerapkan Islam secara kaffah bukan hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat, lebih dari itu kita tidak boleh dipilih apalagi ditaati.

 

Masyarakat yang dibentuk oleh Rasulullah saw setelah hijrah benar-benar berbeda sama sekali dengan masyarakat jahiliyah sebelum hijrah. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari beberapa aspek:

Pertama, dari aspek akidah, masyarakat jahiliyah sebelum hijrah penuh dengan kemusyrikan, terutama penyembahan terhadap berhala. Penyembahan berhala zaman modern sekarang disebut hidup materialisme yang merupakan ajaran komunis. Tujuan hidup semata-mata hanya untuk menumpuk-numpuk materi. Padahal Allah melarangnya. Sementara masyarakat Islam setelah hijrah dibangun diatas asas akidah Islam.

 

Akidah Islam menjadi satu-satunya asas negara dan masyarakat yang dipimpin langsung oleh Rasulullah sebagai kepala Negara Islam Madinah setelah hijrah.  Karena itu, meski saat itu terdapat kaum Yahudi dan Nasrani, aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan adalah syariah Islam.

 

Kedua, dari aspek sosial, masyarakat jahiliyah sebelum hijrah identik dengan kebobrokan prilaku yang luar biasa. Mabuk-mabukan, pelacuran dan kekejaman tersebar di mana-mana. Anak-anak perempuan yang baru lahir pun biasa dikubur hidup-hidup. Kehidupan jahiliyah yang mereka praktekkan jauh dari nilai-nilai agama. Jauhnya nilai agama dalam kehidupan disebut kehidupan yang sekuler, yakni memisahkan nilai agama dari perilaku hidup sehari-hari.

 

Sementara masyarakat Islam setelah hijrah adalah masyarakat yang penuh dengan kedamaian dan ketenteraman serta jauh dari berbagai ragam kemaksiatan. Perjudian diperangi. Perzinaan diberantas. Segala bentuk kemaksiatan dan kriminalitas diberantas habis melalui penegakkan hukum Islam yang tegas. Kehidupan berbangsa dan bernegara pimpinan Rasulullah menjadikan Islam sebagai sumber perundang-undangan untuk mengatur kehidupan masyarakat.

 

Sejarah mencatat, hijrah nabi sebagai peristiwa terpenting dalam Islam. Adanya peristiwa hijrah ini membuat Sayyidina Umar bin Khattab menetapkan penanggalan Islam menggunakan nama hijriah. Hal ini terjadi pada tahun ke-17 sejak Hijrahnya Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah, ketika beliau menjabat sebagai Khalifah.

 

Beliau mengutamakan peristiwa hijrah sebagai tonggak terpenting ketimbang peristiwa-peristiwa lainnya dalam sejarah Islam. Sesuai  dengan klaim beliau: “Kita membuat penanggalan berdasar pada Hijrah Rasulullah Saw, karena hijrah merupakan pembeda antara yang hak dengan yang batil.”

 

Dengan demikian hikmah hijrah yang bisa kita ambil dalam kehidupan kita hari ini setidaknya ada dua. Hijrah perilaku individu dan hijrah peradaban masyarakat. Sebagai individu muslim yang tentu banyak kekurangan, maka semestinya senantiasa  merenungkan diri kita, kekurangan kita, dosa-dosa kita, kelalaian kita lantas sadar dan bangkit untuk menjadi muslim yang lebih berkualitas.

 

Selagi masih diberikan waktu dan kesempatan,  maka sepatutnya umat Islam menata kembali hidup menjadi lebih beriman, lebih bertaqwa, lebih giat ibadah, lebih cerdas, lebih rajin belajar dan bekerja, lebih berprestasi, lebih bertanggungjawab, dan lebih sholeh dengan cara meninggalkan seluruh perbuatan yang dilarang Allah dan meningkatkan seluruh perbuatan yang diperintahkan oleh Allah.

 

Hikmah kedua adalah hijrah peradaban. Indonesia, sebagaimana yang kita tahu adalah negara yang tidak berdasarkan Islam. Al Qur’an tidak dijadikan sumber perundang-undangan negara. Karena itu di Indonesia sistem ekonominya masih ribawi dan kapitalistik. Sistem sosialnya makin liberal, kebebasan pergaulan, seks bebas, narkoba, aborsi, pelacuran, perjudian, dan lainnya masih meraja lela di tengah kehidupan kita.

 

Sistem politiknya masih sangat pragmatis, berkuasa bukan untuk mensejahterakan rakyat melainkan untuk memperkaya dirinya sendiri. Perilaku korupsi masih mewarnai para pemimpin di negeri ini. Dalam kehidupan beragama, di Indonesia atas nama hak asasi manusia memberikan kebebasan aliran-aliran sesat yang menghina Islam berkembang di Indonesia, bahkan dilindungi oleh Undang-undang.

 

Karena itu tidaklah cukup hanya dengan revolusi mental akan mampu memperbaiki kehidupan di Indonesia. Yang dibutuhkan adalah revolusi sistem dari negara demokrasi sekuler liberal menjadi negara berdasarkan al Qur’an. Semua aspek kenegaraan seperti ekonomi, budaya, pendidikan, politik, sosial diatur berdasarkan al Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

 

Umat Islam itu diperintahkan untuk membela dan menolong agama Allah, yakni menjadi para penolong agama Allah, bukan membela para pemimpin. Islam itu memerintahkan untuk membela nilai dan kebenaran Islam, bukan membela orang secara membabi buta. Jikapun harus membela pemimpin, maka hanya pemimpin yang taat kepada Allah dan RasulNya dalam mengelola negara. Membela Allah dan RasulNya adalah mutlak, sementara membela ulil amri adalah relatif. Membela pemimpin secara membabi buta adalah tradisi kaum jahiliyah.

 

Allah menegaskan dalam QS Shaff : 14 berikut : Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang

 

Mari kita senantiasa berdakwah mengingatkan pemimpin negeri ini untuk kembali kejalan yang benar yakni Islam sebagai shirotol mustaqiem, jika ingin negeri ini menjadi negeri yang penuh berkah, sejahtera, damai dan terhindar dari berbagai kerusakan dan musibah. Allah berfirman : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS Ar Ruum :41)

 

(AhmadSastra,KotaHujan,28/04/22 : 12.09 WIB)

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories