RADIKAL, RADIKALIS, RADIKALISME DAN RADIKALISASI - Ahmad Sastra.com

Breaking

Senin, 05 Desember 2022

RADIKAL, RADIKALIS, RADIKALISME DAN RADIKALISASI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata radikal diartikan dengan tiga makna, pertama secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Kedua, keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan). Ketiga, maju dalam berpikir atau bertindak.

 

Dalam ilmu filsafat, berpikir radikal yang bermakna upaya menggali kenyataan atau ide hingga ke akar-akarnya, jelas merupakan syarat mutlak untuk membangun diskursus rasionalisme dan kritisisme. Bahkan dalam ilmu kimia, tak kecuali, ternyata juga dikenal istilah radikal bebas.

 

Secara etimologis, kata radikal sesungguhnya netral. Radikalis, kata sifat ini berasal dari bahasa Latin, radix atau radici. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal berarti ‘akar’, ‘sumber’, atau ‘asal-mula’. Dimaknai lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala, atau juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).

 

Sampai disini jelas bahwa, kata radikal sesungguhnya netral dalam arti tidak berhubungan agama, apalagi Islam. Kata radikal lebih tepat jika ditempatkan dalam konteks akademik atau filsafat, dimana segala sesuatu harus digali dari akarnya untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki. Aktifitas berfikir dalam rumus filsafat justru harus radikal, bukan dangkal.

 

Berpikir radikal dalam tinjauan filsafat justru memiliki aksilogi positif. Sebab dengan berpikir radikal, seseorang dapat memahami, menganalisa dan bahkan memberikan solusi yang benar. Pemimpin negara yang berpikir radikal pun demikian, ia akan dapat memahami hakikat permasalahan yang dihadapi oleh negaranya.

 

Berpikir radikal hanya mungkin dilakukan oleh pemimpin cerdas. Pemimpin yang berpikir radikal akan mampu menganalisa secara holistik  setiap permasalahan sehingga pemecahan masalahnya pun bisa tuntas dan benar. Pemimpin radikal justru akan menjadikan negara kuat dan memiliki prinsip kokoh.  Kebalikan dari berpikir radikal adalah pemimpin yang plin plan, tidak punya prinsip dan tidak punya landasan dalam berpikir.

 

Dari akar kata dan makna radikal di atas, maka kata radikalis bisa bermakna kata sifat bisa juga bermakna subyek. Radikalis bisa bermakna bersifat mendasar, bisa juga orang yang memiliki pemikiran yang dalam dan mengakar. Pemikiran mendalam dan mengakar tentang segala realitas untuk mendapatkan kebenaran dalam filsafat dilakukan oleh seorang filosof. Filosof dengan demikian adalah seorang radikalis.

 

Seorang pemikir, penulis, kritikus, politisi, ilmuwan dan pendakwah haruslah seorang radikalis, bahkan otomatis sebagai radikalis. Sebab jika tak radikalis, tak mungkin bisa melakukan proses analisa permasalahan dengan metode dan pisau analisa yang tajam. Pemikir yang tidak radikalis bukanlah seorang pemikir. Jika tidak radikalis, bukan pemikiran namanya.

 

Sementara kata Radikalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Radikalisme memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga radikalisme dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan.

 

Ada tiga arti kata radikalisme sebagai nomina dalam KBBI. Pertama, paham atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ketiga, sikap ekstrem dalam aliran politik.

 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik. Arti lainnya dari radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

 

Jika melihat makna radikalisme diatas, maka politik dengan ideologi komunisme dan kapitalisme layak mendapatkan sematan kata radikalisme ini. Kedua ideologi politik itu melakukan perubahan dengan cara imperialisme dan kekerasan. Pada masa lalu, bahkan di negeri ini pernah diwarnai oleh politik komunisme yang kejam tak beradab dan tak berperikemanusiaan. Kata radikalisme dengan makna diatas tidak layak disematkan kepada Islam.

 

Namanya Joseph Vissarionovich Jugashvili Stalin dari Rusia. Figur misterius dan atheis, bekas agen rahasia Tsar. Dari seorang ayah yang pemabok dan sering memukulinya. Terinspirasi oleh karya-karya revolusioner sosialis marxis. Baginya agama adalah sebuah penipuan. Baginya Tuhan itu tidak ada. Saat istrinya mati, ia bergumam, “Inilah akhir dari rasa kehangatan saya kepada seluruh manusia”. Jadilah dia manusia dingin, sarkartis, penuh curiga, dendam dan kejam. ‘Stalin bukan manusia yang baik’, kata Herbert Morrison, Pemimpin Partai Buruh Inggris.

 

Prinsip kapitalisme adalah liberalisme sumber daya alam dengan jalan imperialisme. Seluruh sumber daya alam boleh diprivatisasi oleh para kapitalis hingga menyebabkan kemiskinan rakyat kecil karena mengabaikan pemerataan, namun lebih mengedepankan pertumbuhan semu. Adapun prinsip komunisme adalah pemerataan dengan cara otoriterisme, semua sumber daya alam dikuasai oleh negara yang diwakili oleh seorang diktator. Dalam alam komunisme, rakyat juga dibuat sengsara dan penuh tekanan.

 

Berbeda dengan Islam yang melakukan perubahan dengan dakwah dan pendidikan, sebab Islam adalah agama yang menyebarkan rahmat bagi alam semesta. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah : 'Aisyah istri Nabi Muhammad SAW menyampaikan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, "Hai 'Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut. Dia mencintai sikap lemah lembut. Allah akan memberikan pada sikap lemah lembut sesuatu yang tidak Dia berikan pada sikap yang keras, dan juga akan memberikan apa-apa yang tidak diberikan pada sikap lainnya." (HR Muslim).

 

Islam melakukan berbagai perubahan dan perbaikan masyarakat hingga tegak peradaban mulia berabad-abad adalah dengan gerakan dakwah, bukan radikalisme. Beberapa ayat dakwah : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104).

 

Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Q.S. Luqman [31]: 17).  Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah (Q.S. Ali Imran [3]: 110).

 

Serulah manusia kepada jalam Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. An-Nahl [16]: 125).

 

Terakhir, jika mengacu kepada narasi diatas, maka radikalisasi adalah sebuah proses agar orang berpikir radikal. Hal ini tentu saja secara filosofis bagus, sebab radikalisasi adalah usaha agar orang berpikir secara mendalam dan mengakar. Seorang dosen salah satu tugasnya adalah melakukan radikalisasi kepada mahasiswa dalam arti mahasiswa harus diajarkan untuk mampu berpikir yang mendalam, mengakar, kritis, kreatif dan holistik.

 

Namun sayangnya, secara politik, oleh ideologi barat, istilah-istilah ini justru disalah artikan menjadi semacam tuduhan kepada Islam dan kaum muslimin. Ada semacam politisasi makna atas istilah radikal, radikalis dan radikalisme ini. Istilah yang sejatinya tidak berhubungan sama sekali dengan Islam justru kini disematkan kepada Islam adan kaum muslimin. Inilah kejahatan intelektual yang dilakukan oleh Barat dan jongos-jongosnya.

 

Maka, dalam perspektif politik, istilah radikalisasi dimaknai oleh mereka sebagai usaha atau proses seorang muslim berpikir radikal yang artinya kritis dan anti peradaban Barat. Sementara muslim yang membebek peradaban Barat disebut sebagai moderat dan dijadikan sebagai teman dan agennya. Radikalisasi bisa juga dimaknai secara politik sebagai upaya Barat untuk menjadikan Islam dan ajarannya serta kegiatan keagamaan sebagai tindakan radikal yang harus diwaspadai, dimusuhi bahkan dibabat habis.

 

Hal ini terutama ketika umat Islam sudah sadar politik dan melakukan perlawanan pemikiran atas imperialisme Barat atas dunia Islam. Sayangnya banyak umat Islam yang justru terjebak kepada sihir barat ini, sehingga mereka menjadi jongos barat dan memusuhi agamanya sendiri. Logikanya, jika barat sekuler berpolitik, mengapa umat Islam tidak boleh berpolitik. Jika kapitalisme berekonomi, mengapa Islam tidak boleh berekonomi juga. Inilah yang namanya hegemoni politik yang jarang disadari oleh umat Islam. 

 

Maka benarlah apa yang dikatakan oleh para periset dari National Consortium for the Study of Terrorism and Responses to Terrorism (START) justru mengungkap bahwa umat Islam telah menjadi korban sebenarnya dari aksi terorisme di seluruh dunia.

 

Sejalan dengan hasil riset di atas, John Pilger menuturkan bahwa tidak ada perang terhadap terorisme, namun yang ada hanyalah alasan yang dibuat-buat. “Korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang terhadap terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme,” katanya lansir Galamedia dari situs John Pilger pada 2 April 2021.

 

 

John Pilger sendiri merupakan seorang jurnalis investigative Australia dan produser film dokumenter pemenang penghargaan BAFTA. Pada 1967 dan 1978, dirinya memenangkan Jurnalis of the Year Award di Inggris terhadap karya film dokumenternya.

 

Maka jangan heran jika radikalisasi ini kini marak dimana-mana dengan bentuk berbagai tuduhan kepada Islam dan umat Islam sebagai radikal, teroris, fundamental, intoleran, dan seabrek tuduhan buruk lainnya. Inilah praktak radikalisasi sebagai bagian dari ghozwul fikr. Bahkan seringkali kitab Al Qur’an dijadikan sebagai barang bukti tindak terorisme.

 

Betapa kejam dan biadabnya barat memusuhi Islam dan ajarannya. Lebih kejam dan jahat lagi adalah muslim yang menjadi jongos dan antek barat dalam memusuh Islam hanya karena diberikan seonggok nasi basi. Entah apa yang akan disampaikan dihadapan Allah kelak di akhirat oleh seorang muslim yang membenci agamanya sendiri dan berkomplot dengan musuh-musuh Allah karena iming-iming dunia.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,05/12/22 : 21.46 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories