BABAK BARU PERANG PERADABAN, DIMANA POSISI UMAT ISLAM ? - Ahmad Sastra.com

Breaking

Kamis, 09 Februari 2023

BABAK BARU PERANG PERADABAN, DIMANA POSISI UMAT ISLAM ?



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Francis Fukuyama dalam The End of History-nya menyatakan bahwa pasca ambruknya Uni Soviet 1991 dunia akan mencapai satu konsensus luar biasa terhadap Demokrasi Liberal. Ia berasumsi bahwa Demokrasi Liberal adalah akhir dari evolusi ideologi setelah runtuhnya berbagai ideologi lain seperti Monarki, Komunis, Fasisme, dan seterusnya. Tercabiknya Uni Soviet dalam beberapa negara seolah-olah menjadi momentum pembanding antara Kapitalisme dan ideologi serta isme-isme lain di muka bumi. Tesis Francis Fukuyama dibantah oleh Samuel Hutington.


Bagi Samuel P Hutington penasehat politik kawakan Gedung Putih menyebut konflik Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya. Sedangkan konflik antara Kapitalis dan Marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal. Dari 32 konflik besar dunia di tahun 2000-an dua per tiganya adalah antara Islam dengan Non-Islam tanpa ia mengurai secara detail sebab akibat dan mengapa konflik itu terjadi.

 

Istilah ‘konflik peradaban’ diperkenalkan Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996). Menurut Huntington, dengan berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya ideologi komunisme, wilayah konflik meluas melewati fase Barat, dan yang mewarnainya adalah hubungan antara peradaban Barat dan non-Barat serta antarperadaban non-Barat itu sendiri.

 

Huntington mengelompokkan negara-negara bukan atas dasar sistem politik ekonomi, tetapi lebih berdasarkan budaya dan peradaban. Ia mengidentifikasi sembilan peradaban kontemporer, yaitu, peradaban Barat, Cina, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, Islam, dan Kristen Ortodoks.

 

Benturan yang paling keras – menurut Huntington - akan terjadi antara kebudayaan Kristen Barat dengan kebudayaan Islam. Tesis tersebut secara tidak langsung memperkuat asumsi sebagian besar ilmuwan Barat yang melihat Islam sebagai aggression and hostility (agresi dan ancaman). Pendek kata, bagaimana Barat menciptakan stereotipe-stereotipe simplistis yang menunjukkan wajah the rage of Islam.

 

Dunia akan mencapai satu konsensus luar biasa terhadap demokrasi liberal sebagaimana diungkap oleh Francis Fukuyama agaknya memang meleset, sebab pada faktanya umat muslim sedunia dengan ideologi Islamnya mulai menggeliat bangkit menjadi lawan ideologi demokrasi liberal yang secara institusi diwakili oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dengan model nation statenya. Pada faktanya, nation state itu memang harus tunduk patuh kepada PBB. Sederhananya, abad ini tengah dimulai perang peradaban antara ideologi Islam dengan sistem khilafah dengan ideologi demokrasi liberal dengan sistem nasionalisme yang induknya PBB.

 

Tiga tokoh pendiri PBB adalah Franklin D. Roosevelt,  Winston Churchill dan Joseph Stalin yang mewakili tiga negara yakni  Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet yang disebut sebagai “The Big Three”. Kesepakatan pembentukan PBB itu berlanjut pada Konferensi Dumbarton Oaks di Washington DC, di mana para diplomat AS, Inggris, dan Uni Soviet berunding dengan diplomat Cina. Sidang Umum pertama kali digelar pada 10 Januari 1946 di London dan dihadiri oleh wakil dari 51 negara setelah sebelumnya Piagam PBB diratifikasi oleh lima anggota tetap keamanan, yakni Perancis, Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina, dan Inggris, serta 46 negara lainnya.

 

Kembali kepada tesis Hutington, pada gilirannya dia merekomendasi perlunya Pre-emtive Strike (serangan dini) terhadap ancaman kaum Militan Islam. Idenya sangat efektif mewarnai politik luar negeri Amerika Serikat (AS) era George W Bush. Awal Juni tahun 2002, Pre-emtive Strike menjadi doktrin baru AS dan diumumkan ke publik. Meskipun itu menimbulkan kontroversi baik di kalangan dalam maupun luar negeri, sebab sewaktu perang dingin saja memakai metode penangkisan dan penangkalan, kenapa menghadapi musuh baru --teroris, yang masih samar-samar justru AS menggunakan metode serangan dini?

 

Maka, ada dua kemungkinan positioning umat Islam dalam perang peradaban ini, pertama berjuang menegakkan khilafah dan kedua tunduk kepada PBB. Dua hal ini adalah pilihan, namun tentu saja umat Islam semestinya memilih posisi sebagai pejuang khilafah dan menjadikan Islam sebagai ideologinya. Sumber hukum Islam itu ada empat Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Maka, sangat aneh, jika ada muslim menolak sistem Islam dan menerima hukum yang dibuat oleh PBB. Islam sebagai ideologi melahirkan sistem pemerintahan khilafah, sementara PBB melahirkan ideologi kapitalisme dan atau komunisme.

 

Secara umum, ideologi (Arab: mabda') adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958). Pemikiran mendasar dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1) materialisme; (2)  sekularisme; (3) Islam.

 

Akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya.

 

Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22). Pada kenyataannya berdasarkan penjelasan di atas, maka di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1) Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2) Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang lahir dari akidah Islam. Menyebut khilafah sebagai ideologi adalah kesalahan fatal yang tidak ada dasar pijakan epistemologinya. Ada dua buku referensi untuk mendalami masalah ideologi ini.

 

Kejayaan umat Islam hanya akan bisa diwujudkan jika terikat dengan hukum Islam, jika meninggalkan Islam, maka peradaban umat Islam akan runtuh. Karena itu, pasca runtuhnya khilafah ustmaniyah di Turki, negeri-negeri muslim dan umat Islam dalam kemunduran yang luar biasa. Bukan hanya mundur, namun juga terjajah, terzolimi, terusir, terbunuh dan terjerat kemiskinan.

 

Nasionalisme ala PBB yang menjerat negeri-negeri muslim menyebabkan kaburnya mana kawan dan mana lawan. Bahkan sesama negeri muslim bisa saling bermusuhan karena nasionalisme. Maka, jika khilafah tegak, PBB dengan Amerika sebagai bossnya akan kehilangan banyak negeri-negeri muslim yang dijajah. PBB akan terus melakukan penolakan tegaknya khilafah dengan berbagai cara, termasuk mengajak negeri-negeri muslim untuk ikut dalam barisan PBB.

 

Namun, ibarat bunga, mereka mungkin bisa mematikan bunga, namun tak akan mampu menghentikan tibanya musim semi. Tegaknya khilafah sebagai janji Allah juga seperti terbitnya matahari dan turunnya air hujan, tak mungkin bisa dihentikan oleh manusia, bahkan jika seluruh manusia di dunia bersatu padu sekalipun.

 

Khilafah adalah salah satu ajaran Islam dalam aspek politik, kepemimpinan, kekuasaan dan pemerintahan sebagaimana telah terwujud dalam sejarah peradaban Islam masa lalu. Menyalahkan khilafah berarti menyalahkan ajaran Islam, padahal khilafah sendiri hari ini belum tegak di muka bumi. Gagasan khilafah bahkan masih sebatas diskursus intelektual.

 

Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan menegaskan bahwa khilafah tidak identik dengan terorisme. Di tegaskan oleh ketua MUI Sulsel, Prof. KH. Najamuddin menyampaikan pernyataan yang menuai banyak perhatian publik, ia menyebut khilafah tidak identik dengan terorisme. “Khilafah tidak identik dengan terorisme dan khilafah tidak boleh disalahartikan,” tegas KH Najamuddin.

 

Prof KH Najamuddin mengungkapkan, khilafah dalam arti kepemimpinan adalah sesuatu yang wajib dalam pandangan Islam. Menurut KH Najamuddin, Nabi Muhammad SAW memerintahkan, jika kalian bertiga keluar dari daerah, angkatlah satu pemimpin dalam perjalanan. “Jika tiga saja harus ada pemimpin, dalam komunitas Rukun Tetangga atau Rukun Warga (RT/RW), hingga negara perlu ada pemimpin,” jelas KH Najamuddin pada Senin, 6 Juni 2022. (dimuat di Onlineindo News - 2022-06-06,12:45).

 

Wahbah az-Zuhaili mengemukakan makna khilafah. Beliau menyebutkan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881). Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam.

 

Sejatinya antara syariah atau ajaran Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah. Ini juga yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali: “Agama adalah pondasi dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan roboh. Sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terlantar.”

 

Dalam Kitab fikih yang sangat terkenal—dengan judul Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid, dicantum bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. Terlepas dari berbagai ragam sikap, namun seluruh imam mazhab bersepakat bahwa Khilafah atau imamah adalah bagian dari ajaran Islam, bahkan wajib untuk ditegakkan.

 

Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H) seorang ulama yang sangat otoritatif di bidang tafsir. Menjadikan ayat 30 surat al-baqarah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Kata beliau, "Ayat ini merupakan dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah yang di patuhi serta di taati  agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat di terapkan.

 

Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan tidak pula di antara para ulama atas kewajiban ini, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al-'Ahsam yang benar-benar telah tuli (ashamm) terhadap syariah. Demikian pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya itu serta mengikuti ide dan mazhabnya."

 

Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf (menunjuk Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal. Imam al-Qadhi 'Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya Ikmal  al-mu'lim bi-Fawa id Muslim, "ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah.

 

Imam Syamsuddin At-Taftazani ( w. 791 H) dalam Syarh Al-'Aqa id Al-Nasafiyyah, dengan berdasarkan hadist tersebut, menegaskan bahwa khilafah itu wajib menurut syariah. Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah Ikmal Sahabat pasca Rasulullah saw. Untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja.

 

Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) mengatakan, "Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ahlul Haq) berpendapat: Dalil qath'i atas kewajiban mewujudkan seorang khalifah serta menaatinya secara syar'i adalah riwayat mutawatir tentang adanya ijmak kaum Muslim (Ijmak Sahabat) pada periode awal pasca Rasulullah saw. Wafat atas ketidakbolehan masa dari kekosongan seorang khalifah..."

 

Esensi pertama khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan. Ketiga esensi di atas adalah kebaikan, bukan keburukan, apalagi ekstrimisme kekerasan, sama sekali bukan. Sebab syariah, dakwah dan persatuan umat adalah kebaikan yang diperintahkan oleh Allah.

 

Jadi, perang peradaban tengah berlangsung, maka umat Islam semestinya memilih untuk berjuang tegaknya khilafah, bukan malah patuh kepada PBB.  

 

(AhmadSastra,KotaHujan,09/02/23 : 23.08 WIB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 




 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories