MAKNA SEMIOTIKA IDUL QURBAN : MELEPAS KEMELEKATAN HARTA, TAHTA DAN KELUARGA - Ahmad Sastra.com

Breaking

Jumat, 23 Juni 2023

MAKNA SEMIOTIKA IDUL QURBAN : MELEPAS KEMELEKATAN HARTA, TAHTA DAN KELUARGA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Dalam perspektif hukum fikih, kurban dengan menyembelih hewan kurban memiliki periode waktu tertentu.  Menurut ketentuan fikih Islam Islam, waktu penyembelihan hewan kurban dimulai setelah shalat Idul Adha dan berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Tiga hari tersebut dikenal sebagai "Ayyamut-Tasyriq" dalam bahasa Arab.

 

Ayyamut-Tasyriq dimulai pada tanggal 10 Dzulhijjah (hari Idul Adha) dan berakhir pada tanggal 13 Dzulhijjah. Selama periode ini, umat Muslim yang berkemampuan dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah. Biasanya, hari pertama (tanggal 10 Dzulhijjah) adalah hari yang paling banyak dipilih untuk menyembelih kurban, tetapi boleh juga dilakukan pada hari-hari tasyriq.

 

Kaidah fikih ini merujuk kepada hukum perbuatan yang ditentukan oleh syariat Islam. Sementara makna dibalik idul kurban ini tentu saja tidak dibatasi oleh 4 hari itu. Ada makna yang lebih mendalam dari Idul Kurban, yakni tentang ketundukan, ketaatan, pengorbanan, persatuan, keimanan, hingga makna tentang pendidikan keluarga. Makna dibalik peristiwa dan simbol Idul Kurban ini bisa dilihat secara semiotik konotatif.

 

Semiotik konotatif adalah cabang ilmu semiotik yang berkaitan dengan penggunaan tanda-tanda (simbol, kata, gambar, dll.) dalam komunikasi untuk menyampaikan makna yang bersifat konotatif. Konotasi merujuk pada asosiasi, makna tersembunyi, atau makna filosofis  yang melekat pada suatu tanda, selain makna denotatif atau literal yang umumnya diketahui.

 

Dalam konteks semiotik, tanda memiliki dua tingkatan makna, yaitu denotatif dan konotatif. Makna denotatif adalah makna literal atau langsung dari suatu tanda yang dikenal secara umum. Contohnya, upaya penyembelihan Ismail oleh Nabi Ibrahim dan digantikannya dengan hewan sembelihan yang sangat bagus. Namun, peristiwa penyembelihan  dapat memiliki makna konotatif yakni tentang keimanan dan ketaatan seorang hamba atas perintah Allah.

 

Dalam analisis semiotik konotatif, para ahli semiotik mempelajari bagaimana makna konotatif terbentuk, bagaimana tanda-tanda mengandung makna konotatif, dan bagaimana makna tersebut dipahami oleh penerima pesan. Tujuan dari analisis semiotik konotatif idul kurban adalah untuk memahami bagaimana Allah memberikan pelajaran berharga bagi Umat Islam tentang hakikat pengorbanan atas apapun yang dicintai di dunia, hingga yang paling berharga yakni anak yang telah lama ditunggu kehadirannya.  

 

Bagaimana kita bisa membaca suasana psikologi seorang Nabi Ibrahim yang telah begitu lama, hampir seratus tahun, menunggu hadirnya seorang anak yang akan meneruskan perjuangan menyebarkan tauhid ini. Ketika puncak kecintaan seorang ayah kepada anak semata wayang ini justru turun perintah Allah untuk mengorbankannya dengan menyembelihnya. Bagiamana mungkin seorang ayah mampu menyembelih anak yang paling dicintai. Namun, itulah ujian keimanan seorang hamba, apakah ada yang lebih dicintai selain Allah.

 

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: 'Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu; maka pikirkanlah apa pendapatmu.' Dia (Ismail) menjawab: 'Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar (QS As Shaffat : 102)

 

Peristiwa yang luar biasa bagi seorang ayah. Namun Allah ingin menguji apakah masih ada kemerlekatan di hati Ibrahim selain kepada Allah. Apakah masih ada kecintaan Nabi Ibrahim kepada harta, tahta dan keluarga selain kecintaan kepada Allah. Begitupun yang dialami oleh Nabi Ayyub yang harus berpisah dengan harta dan seluruh keluarganya demi untuk tetap bersabar dengan ujian keimanan dari Allah.

 

Sebab secara naluriah, manusia itu diberikan rasa cinta kepada harta, tahta dan keluarga. Sebagaimana Allah tegaskan dalam firmanNya : Dihiasi untuk manusia cinta terhadap keinginan-keinginan dari (bermacam-macam) wanita, anak-anak, harta yang berlimpah ruah dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (QS Ali Imran : 14)

 

Kemelekatan manusia duniawi telah diperingatkan oleh Allah dalam firmannya : Katakanlah, 'Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluarga, harta kekayaan yang kamu peroleh, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah, Rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.' Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik (QS At Taubah : 24)

 

Ayat ini menekankan pentingnya mengutamakan cinta dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad (saw), daripada ikatan duniawi dan keinginan-keinginan pribadi. Ayat ini mengingatkan kaum mukmin untuk tidak membiarkan kemelekatan mereka pada keluarga, harta, atau kepentingan pribadi mengalahkan iman dan kewajiban untuk berjuang dan berkorban di jalan Allah.

 

Ayat ini juga memberikan peringatan agar tidak melakukan kemaksiatan secara terang-terangan terhadap perintah-perintah Allah, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang terus-menerus durhaka tidak akan mendapatkan petunjuk dari-Nya. Ayat ini mendorong kaum mukmin untuk tetap teguh dalam pengabdian mereka kepada Allah dan mengutamakan komitmen mereka terhadap Islam di atas segala hal. Bukan malah menjadi orang yang melawan perintah Allah atau menghalangi perjuangan agama Allah.

 

Allah dengan tegas menekankan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya sebagai tanda keimanan dan bagi yang mempermainkan agama sebagai bentuk kekufuran, sementara yang menghalanginya sebagai bentuk kemunafikan. Pertatikan firman Allah berikut :

 

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad SAW) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil menjadi pemimpinmu orang-orang yang memandang remeh agama kamu dan menjadikan main-main dan permainan (perkara agama) dari orang-orang yang telah diberi Kitab sebelum kamu dan orang-orang yang kafir. Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Marilah kepada apa yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul (Muhammad SAW), niscaya kamu lihat orang-orang munafik itu menghalangi  daripada kamu dengan sangat jauh. (QS An Nisaa : 59-61)

 

Dalam konteks semiotik, Idul Kurban memiliki banyak makna simbolik dan konotatif yang mesti dipahami oleh umat Islam sepanjang zaman. Pertama, pengorbanan dan ketundukan. Idul Kurban secara simbolis mewakili pengorbanan dan ketundukan kepada Allah. Tindakan menyembelih hewan kurban menggambarkan ketaatan dan kesediaan untuk mengorbankan sesuatu yang berharga sebagai bentuk pengabdian kepada Allah.

 

Tunduk kepada Allah harus totalitas atau kaffah, tidak menjadikan Islam seperti prasmanan, hanya yang menguntungkan yang diambil, sementara yang dirasa merugikan diabaikan. Misalnya ajaran zakat diambil, sementara ajaran jihad diabaikan. Ajaran haji dijalankan, sementara ajaran persatuan umat melalui tegaknya daulah Islam diabaikan. Menjadikan ajaran agama sebagai prasmanan adalah perilaku buruk yahudi. Sementara Allah memerintahkan hambaNya untuk masuk Islam secara kaffah.

 

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah: 208)

 

Makna semiotik idul kurban juga terkait dengan persatuan umat ditandai dengan ibadah haji yang menyatukan umat Islam seluruh dunia. Tentu tidak hanya sebatas haji persatuan itu harus diwujudkan oleh umat Islam sedunia jika kita baca secara semiotik konotatif, namun persatuan umat Islam sepanjang zaman. Jika persatuan umat Islam dibatasi waktu saat haji, maka persatuan umat Islam harus diikat oleh tegaknya daulah Islam (khilafah) agar persatuan umat Islam sedunia bisa berlangsung sepanjang zaman.

 

Sebab Allah memang mewajibkan umat Islam untuk bersatu dan haram hukumnya bercerai berai, sebagaimana Allah tegaskan dalam firmanNya : Dan berpeganglah kamu semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu musuh dan Dia mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara. Dan kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Dia menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran: 103)

 

Esensi khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna (kaffah) di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan yang disebut khalifah atau ulil amri atau amirul mukminin.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,23/06/23 : 14.30 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories