JANGAN PILIH PEMIMPIN SEKULER - Ahmad Sastra.com

Breaking

Sabtu, 20 Januari 2024

JANGAN PILIH PEMIMPIN SEKULER



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Disainyalir seorang pejabat negara atau tepatnya ketua sebuah partai telah melakukan pelecehan atas ajaran Islam hanya demi pemujaannya kepada manusia. Inilah watak asli demokrasi sekuler yang juga akan melahirkan sikap benci kepada agama, khususnya Islam. Sebab demokrasi sekuler adalah sistem politik anti agama. Sekulerisme adalah paham dimana urusan dunia dipisahkan dari agama. Ini bukti kuat bahwa sistem sekuler akan melahirkan pemimpin sekuler. Ibarat manusia akan melahirkan manusia, hewan melahirkan hewan.

 

Paham sekulerisme agama, sebagaimana juga paham pluralisme dan  liberalisme agama telah dinyatakan haram oleh fatwa MUI tahun 2005 dengan dasar dalil naqli : “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85). “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...”. (QS. Ali Imran [3]: 19).

 

Dalil lainnya adalah : “Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 6). “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. al-Ahzab [33]: 36).

 

Sekulerisme itu intinya anti Islam dengan cara menjauhkan ruh atau aspek metafisika dengan kehidupan di semua aspeknya. Itulah kenapa, sekulerisme cenderung memuji kemaksiatan dan cenderung melecehkan ajaran Islam, dengan berbagai bentuk dan ekspresinya. Maksiat merupakan lawan dari taat, istiqomah, dan takwa. Perbuatan ini dapat menjerumuskan dan membahayakan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Lantas, apa itu maksiat ?.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maksiat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar perintah Allah SWT. Jika seorang hamba melakukan perbuatan bermaksiat, artinya dia menentang Allah SWT. Melecehkan ajaran Islam adalah bentuk kemaksiatan dan karenanya dimurkai oleh Allah.

 

Orang yang melakukan maksiat ialah yang berbuat sia-sia dan akan mendapatkan hukuman atas perbuatannya itu. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang Artinya : (Aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia akan mendapat (azab) neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al Jinn: 23).

 

Dalam kitab berjudul Fawaidul Fawaid karya Ibnul Qayyim disebutkan bahwa pokok-pokok maksiat, baik yang kecil maupun yang besar ada tiga perkara, yakni bergantungnya hati kepada selain Allah, mengikuti kekuatan marah, dan menaati kekuatan syahwat. Perdukunan termasuk perkara yang pertama dari kemaksiatan. Sementara nikah beda agama termasuk kemaksiatan jenis ketiga.

 

Sementara negeri ini konon katanya adalah negara hukum, dimana setiap tindakan warga negara terikat dengan hukum, termasuk perbuatan yang diduga menghina ajaran agama. Hukum penistaan agama merupakan hukum yang diciptakan untuk mereka yang melakukan penistaan terhadap suatu agama tertentu. Penistaan terhadap agama merupakan tindakan yang tidak bermoral dan menyimpang.

 

Sebab watak demokrasi sekuler itu anti agama, maka kecenderungan para pemuja paham ini juga akan membenci agama dengan berbagai motifnya, baik untuk sekedar untuk popularitas maupun untuk kepentingan pragmatis. Maka, jika negeri ini masih terus menerapkan demokrasi sekuler, maka selama itu pula akan marah pelaku pendengki agama dan melecehkannya demi kepentingan duniawi mereka. Umat Islam dilarang memilih pemimpin sekuler, sebab sekulerisme haram hukumnya. Semestinya umat Islam berjuang untuk mewujudkan sistem kepemimpinan Islam agar melahirkan pemimpin Islam, bukan pemimpin sekuler.


kepemimpinan dalam sistem sekuler pada intinya ingin menjauhkan rakyat ini dari agamanya, khususnya umat Islam. Caranya adalah dengan melakukan kampanye sekulerisme dengan bungkus kata-kata indah, namun hakikatnya menipu. pemimpin sekuler adalah musuh para Nabi. Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan (QS. Al An’am : 112). 

 

Paradigma kepemimpinan dalam Islam mestinya untuk mewujudkan keberkahan kehidupan di dunia dan keselamatan di akhirat yakni dengan menerapkan Islam secara kaffah. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah :  Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96). Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al Baqarah : 208)

 

Menjadi seorang muslim dan mukmin adalah menjadi orang yang dengan sadar harus melaksanakan segala hukum dan aturan Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Menjadi seorang muslim berarti siap untuk senantiasa terikat dengan ajaran Islam. Keterikatan semua sikap dan tingkah laku kepada Islam adalah konsekuensi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. 

 

Konsep kepemimpinan dalam Islam bukan sekedar mendudukan seorang muslim di panggung kekuasaan. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kekuasaan digunakan untuk menjaga, menerapkan dan mendakwahkan Islam serta bertanggungjawab dunia akhirat dalam mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam.  

 

Seorang pemimpin yang bertanggungjawab memimpin rakyat, maka visinya harus untuk mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Pemimpin itu ibarat nahkoda sebuah kapal yang sedang berlayar di tengah lautan luas dengan ombak yang setiap saat bisa menghantamnya. Nahkoda adalah orang yang paling bertanggungjawab kemana kapal berlayar. Nahkoda adalah pemimpin dan kapal adalah wadah atau sistemnya.

 

Misi seorang pemimpin dalam paradigma Islam adalah untuk mencapai kebahagiaan rakyat di dunia dan keselamatan di akhirat. Pemimpin dalam paradigm Islam adalah yang senantiasa berorientasi kepada kemajuan peradaban bangsa dan keberkahan hidup di dunia. Pemimpin dalam paradigma Islam juga selalu berorientasi kepada kehidupan akhirat yang abadi. Kekuasaan dalam Islam adalah untuk menerapkan hukum Allah demi mewujudkan hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. Allah telah berfirman : Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia ini dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka (QS Al Baqarah : 201)

 

Islam adalah agama yang benar dan sempurna karena berasal dari Allah yang maha sempurna. Islam adalah pedoman hidup menuju keselamatan dunia akherat. Meninggalkan hukum dan peringatan Allah akan melahirkan kesengsaraan dan kesempitan hidup. Hal ini sejalan dengan peringatan Allah SWT : Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang  sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". (QS Thaha : 124).

 

Masalah kepemimpinan dalam pandangan  Islam adalah perkara yang sangat penting.  Saking pentingnya keberadaan kepemimpinan dalam islam, tatkala Rasulullah wafat, para sahabat menunda memakamkan jenazah Rasulullah selama dua malam untuk bermusyawarah memilih pemimpin pengganti kepemimpinan Rasulullah dan terpilihlah sahabat Abu Bakar Asy Syidiq menjadi seorang khalifah pertama dalam Islam.

 

Fungsi  kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur  urusan manusia agar tertib sejalan dengan  nash Al Qur’an  serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Rosulullah memerintahkan kita agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah  perjalanan. Islam mewajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat  . Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS An Nisaa : 59).

 

Ayat ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa wajib bagi kita untuk mentaati Ulil Amri atau pemimpin di antara kita, selama ulil amri tersebut taat kepada hukum Allah dan RasulNya. Secara bahasa (harfiah) ulil amri bermakna penguasa atau orang yang memegang urusan. Pemimpin menurut Imam Bukhari dan Abu Ubaidah memiliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus urusan orang-orang yang dipimpinnya.

 

Abu Hurairah memaknai ulil amri sebagai al umara (penguasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan). Sedangkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama. Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah sahabat Rasul. Ikrimah memaknai ulil amri lebih spesifik yakni Abu bakar dan Umar bin Khatab.

 

Ibnu Abbas memaknai ulil amri sebagai al umara wa al wullat atau para penguasa. Kontek ayat ini juga turun berkaitan dengan kewajiban mentaati para penguasa. Sayyidina Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaatinya.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,20/01/24 : 10.10 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories