Oleh : Ahmad Sastra
Umat Islam
di belahan dunia ini telah lama terpisah dari pemikiran Islam akibat terlalu
lama masuk dalam kubangan pemikiran sekuler. Terlebih semenjak runtuhnya
khilafah Islamiyah Turki Utsmani pada tanggal 3 Maret 1924. Semenjak itulah
umat Islam tak lagi memiliki penjaga atas agamanya, tak lagi mampu menerapkan
hukum Allah secara totalitas, tak lagi bersatu dalam naungan satu pemimpin
yakni khalifah, tak lagi mampu menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru
dunia, tak lagi mampu melakukan futuhan atas bangsa-bangsa di dunia dan tak
lagi mampu menjaga pemikiran Islam yang menjadi senjata paling ampuh.
Islam,
sebagaimana diungkapkan oleh Yusuf Qordhowy adalah sebagai agama sempurna
dimana keseluruhan urusan manusia dibahas oleh Islam, termasuk di dalamnya
adalah soal negara. Islam adalah mabda’ atau ideology khas yang berakar kuat
dari kitabullah dan sunnah Rasulullah. Jika akar ini telah tercerabut dari
pikiran umat Islam, maka kehancuran di hampir semua aspek akan menimpa umat Islam.
Bahkan lebih
ironis lagi, akibat terpecah belah dalam ikatan nasionalisme akibat dari
runtuhnya khilafah, kini umat Islam tidak lagi menjadi umat terkuat, namun
justru mengalami berbagai bentuk penjajahan, kezaliman, pengusiran, bahkan
genosida sebagaimana terjadi di Palestina, hingga tulisan ini dibuat.
Pemikiran
politik Islam memiliki manhaj atau metodenya (fikrah dan thariqoh) tersendiri,
di mana kajiannya tidak semata-mata mendasarkan pada kasus-kasus yang bersifat
empiris belaka, tetapi juga berdasarkan pada sumber rujukan utama, yaitu
al-Qur`an dan Sunnah Nabi.
Oleh
karena itu, jika fikrah ini tidak dipahami dengan benar, maka kesadaran umat
tentang relasi agama dengan negara akan menjadi tidak jelas atau bias, dan
bahkan tidak dapat dibedakan mana pemikiran pemikiran politik Islam dan mana
pemikiran politik barat sekuler. Telah banyak diketahui bahwa muncul banyaknya
intelektual muslim yang sekuler dan liberal karena terkena virus pemikiran
barat.
Rasulullah
adalah teladan sempurna dalam mewujudkan fikrah dan tariqoh politik Islam
dengan menjadikan Madinah sebagai negara Islam pertama dibawah kepemimpinan
beliau dan dilanjutkan oleh khalifah yang empat, dan dilanjutkan lagi dengan kekhalifahan
umayyah, abbasiyah dan utsmaniyah. Rasulullah menolak permintaan para pembesar
kaum Quraisy untuk bergabung dengan pemerintahan mereka.
Namun Rasulullah
memilih manhaj Islam sebagai dasar mendirikan negara Islam. Inilah juga yang
seharusnya disadari oleh umat Islam hari ini, yakni wajib menolak paham
sekulerisme dan liberalisme, namun istiqomah kepada fikrah dan thariqoh Islam
dalam memperjuangkan kembali tegaknya khilafah masa depan.
Adalah fakta
sejarah penolakan Rasulullah atas tawaran bergabung dengan pemerintah jahiliah.
Ketika 'utbah mendatangi Nabi Muhammad Saw, lalu 'Utbah berkata
kepadanya,"Ya Muhammad, siapa yang lebih baik Engkau ataukah Hasyim? Siapakah yang lebih baik Engkau ataukah Abdul
Muthalib ? Siapakah yang lebih baik Engkau
ataukah Abdullah? maka Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak
menjawabnya.
Kemudian
'Utbah berkata Mengapa engkau mencela tuhan-tuhan kami dan menyesatkan nenek
moyang kami? ‘Kalau saja kamu menginginkan kepemimpinan, maka kami mengangkat
panji-panji kami untukmu, dan kamu akan menjadi pemimpin kami selama kamu masih
ada, dan jika kamu menginginkan nikah, maka kami akan menikahkan kamu dengan
sepuluh istri, yang mana kamu boleh pilih di antara mereka dari putri-putri
Quraisy yang kamu kehendaki, dan jika kamu menginginkan harta maka Kami
kumpulkan untukmu dari kekayaan kami yang dengannya kamu dan keturunanmu
setelahmu sudah tidak memerlukan (harta lain)’.
Syekh al-Buthi menyebutkan, dalam riwayat Ibnu Hisyam dari Ibnu
Ishaq bahwa Utbah bin Rabiah (seorang cerdik dan pandai dari suku Quraisy)
berkata kepada para pemuka Quraisy yang berkumpul untuk merundingkan sikap dan
langkah mereka menghadapi gerakan dakwah Nabi Muhammad. Dia mengatakan, “Wahai
Quraisy, mungkin langkah yang baik adalah aku menemui dan ngobrol langsung
dengan Muhammad, lalu menawarinya beberapa hal. Barangkali dia mau menerima
salah satu yang kita tawarkan kemudian kita memberinya apa pun yang dia
inginkan agar dia tak lagi menyusahkan kita.” Mereka menjawab, “Benar,
wahai Abu al-Walid, kami menyetujui usulmu. Pergi dan bicaralah kepadanya.”
Maka, Utbah datang menemui Rasulullah lalu berkata, “Wahai anak
saudaraku, kau adalah bagian dari kami. Sungguh sejak dulu kami telah mengenal
kejujuran, kesantunan, dan kemuliaan silsilah keluargamu. Namun, kau telah
membawa masalah yang sangat besar kepada kaummu. Apa yang kaubawa itu telah
merusak persatuan mereka dan merendahkan cita-cita mereka. Jadi, dengarkanlah
baik-baik. Aku datang sebagai utusan kaummu untuk menawarimu beberapa hal,
mungkin kau mau menerima salah satunya.”
Rasulullah membaca Surah Fussilat dari ayat pertama sampai ayat ke
13: Haamiiim, Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab,
untuk kaum yang mengetahui, (QS fussilat 1-3). Jika mereka berpaling maka
katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir
yang menimpa kaum 'Aad dan Tsamud". (QS Fussilat 13).
Setidaknya ada tiga pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah di
atas. Pertama, menjelaskan secara rinci tentang hakikat dakwah Rasulullah ï·º yang bersih dari segala kepentingan dan tujuan pribadi yang
biasanya menjadi motivasi para pengusung propaganda baru serta para penyeru
revolusi dan reformasi. Kedua, kejadian di atas juga menunjukkan
kebijaksanaan Rasulullah ï·º
yang telah menjadi sifatnya.
Ketiga, Rasulullah ï·º menyikapi tuntutan dan bujukan kaum Quraisy dengan tegas.
Mereka mengajukan semua tuntutan itu sebagai syarat agar mereka bisa
mengikutnya. Sikap tegas Rasulullah ini tentu saja sebagai bentuk ketaatan
kepada perintah Allah ï·».
Dan tentu saja kita tahu bahwa ujung dari dakwah Rasulullah dan penolakan
ajakan bergabung dengan kafir Quraisy adalah tegaknya daulah Islam Madinah
pimpinan Rasulullah yang berdasarkan Al Qur’an As Sunnah, tidak ada sedikitpun
pengaruh dari ideologi jahiliah saat itu.
Kesempurnaan
Islam diantaranya adalah ajaran tentang politik dan pemerintahan ini. Sebab kehidupan
manusia harus diatur oleh Islam, dimana Islam adalah hukum yang datangnya dari
Allah dan Allah adalah Tuhan yang paling tahu urusan seluruh makhluknya. Tindakan
dan kebijakan manusia tersebut tidak terlepas dari penilaian, dan penilaian ini
dalam perspektif pemikiran politik Islam berdasarkan kriteria-kriteria yang
tetap di dalam al-Qur`an dan Sunnah Nabi.
Atas
dasar ini, maka negara Islam adalah instrumen yang dipergunakan untuk
merealisasikan missi dan tujuan mulia, baik untuk jangka pendek ataupun untuk
jangka panjang. Jangka pendek adalah di dunia ini, yaitu terciptanya kehidupan
yang islami (damai, maju, berkah, beradab, adil, bahagia dan sejahtera) dengan
penerapan syariah secara kaffah dan tujuan jangka panjangnya adalah di akhirat
nanti, yaitu memperoleh ampunan dan ridha dari Allah. Jadi negara Islam
memiliki dua dimensi, yakni dimensi dunia dan akhirat. Berbeda dengan negara
sekuler yang hanya berdimensi dunia saja, karenanya cenderung merusak manusia
dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan.
Konsepsi bahwa
Islam adalah sistem kehidupan yang komprehensif adalah penting ditumbuhkan
dalam pemikiran dan kesadaran kaum muslimin hari ini, jangan sampai larut dalam
pemikiran sekuler. Islam tidak membagi dunia secara artifisial dan sewenang-wenang
ke dalam sosial dan profan ( hal keduniaan ) atau ke dalam keagamaan dan
sekular. Dalam Islam, agama dan pemerintahan adalah suatu organik yang melekat
dalam kesatuan, sebagaimana dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan.
Hakikat
ini senada dengan apa yang ditegaskan al-Faruqi; Umat bagaikan suatu badan
organik yang bagian-bagiannya saling bergantung antara satu dengan yang lainya
secara keseluruhan. Agar bagian tersebut dapat bekerja untuk dirinya, maka ia
sendiri harus bekerja untuk bagian-bagian lainya secara keseluruhan, dan agar
keseluruhan dapat bekerja untuk dirinya, maka iapun harus bekerja untuk masing-masing
bagian yang lain.
Dalam
salah satu hadits, Nabi Muhammad saw. menggambarkan umat Islam sebagai suatu
bangunan yang kokoh dan bersatu, masing-masing bagian dari bangunan tersebut
menopang kepada bagian yang lainya. Di dalam hadits lain, Nabi menyamakan umat
dengan sebuah badan atau jasad, di mana komponen badan yang lain akan merasakan
gelisah dan demam panas, ketika bagian komponen yang lainya terkena sakit.
Kesadaran atau pemikiran politik Islam saat ini adalah sebuah
kebutuhan mendesak bagi umat Islam pada umumnya dan ulama intelektual
khususnya, mengingat kondisi umat Islam saat ini dalam kondisi terburuk. Pemimpin
yang bercokol di negeri-negeri muslim adalah para antek penjajah yang
sekuleristik. Hal ini salah satunya dikarenakan kaum intelektual muslim tidak
lagi sadar dan komitmen dengan pemikiran Islam, mereka malah terjebak dalam
disorientasi, yakni cinta dunia.
Relevan dengan
kondisi di atas, Imam Al Ghazali mengingatkan : Sesungguhnya kerusakan rakyat
disebabkan oleh kerusakan para pemimpinnya, dan kerusakan para pemimpin disebabkan
oleh kerusakan para para Intelektualnya, kerusakan para intelektual disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan. Siapa
saja yang dikuasai oleh ambisi duniawi, dia tidak mampu mengurus (mengelola)
rakyat.
Urgensi politik
(al-Siyasah) dalam pandangan al-Ghazali
adalah karena negara Islam akan mengatur tindakan dan upaya memperbaiki kondisi
manusia untuk diarahkan ke jalan yang benar (Islam) dalam rangka memperoleh keselamatan
di dunia dan di akhirat. Oleh karena
itu, pemahaman politik seperti ini, menurut al Ghazali terbagi ke dalam empat
tingkatan, yaitu; Pertama, al-Siyasah
al-Ulya (high politic); yaitu politik para Nabi (Siyasah al-Ambiya ). Kekuasaan
dan otoritas mereka ditujukan kepada semua orang, baik yang khusus atau pun yang
umum, yang zahir dan yang bathin.
Kedua, Politik
para Khalifah, para Raja, para Sulthan. Kekuasaan dan otoritas merekaditujukan
kepada orang-orang khusus dan juga umum, tetapi hanya yang berkaitan dengan
halhal yang zahir atau yang real saja dan tidak pada hal-hal yang bathin atau
spiritual mereka. Ketiga, Politik para
Ulama (Siyasatul Ulama), yaitu pengaturan hubungan antara Allah dan agama-Nya,
dimana mereka adalah para pewaris Nabi ( warasatul Ambiya ). Kekuasaan dan
otoritas mereka pada bathinatau spiritual orang-orang secara khusus. Keempat, Politik
para da`I dan para muballigh (al-Wu`az). Kekuasaan dan otoritas mereka
diarahkan pada bathin atau spiritual orang-orang umum.
Ketika Al
Qur’an menyebut kata khalifah, maka pemerintahan yang diwariskan Rasulullah
kepada para sababat adalah khilafah dengan khulafaur rasyidin sebagai khalifahnya.
Itulah mengapa para khalifah seperti Abu Bakar Syiddiq, Umar Bin Khathab, Usman
Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib memimpin sebuah institusi bernama khilafah.
Begitupun khilafah bani Umayyah dan Usmaniyah. Inilah kesadaran awal yang harus
dibangun kembali di tengah-tengah umat Islam hari ini. Umat Islam juga harus
disadarkan bahwa menegakkan kembali khilafah Islam adalah sebuah kewajiban bagi
kaum muslimin saat ini.
Esensi
khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara
sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah
dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah
adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan.
Imam
Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H) seorang ulama yang sangat otoritatif di
bidang tafsir. Menjadikan ayat 30 surat al-baqarah sebagai dalil atas kewajiban
menegakkan Khilafah. Kata beliau, "Ayat ini merupakan dalil atas kewajiban
mengangkat seorang khalifah yang di patuhi serta di taati agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu
dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat di terapkan. Tidak ada
perbedaan pendapat di antara umat dan tidak pula di antara para ulama atas
kewajiban ini, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al-'Ahsam yang benar-benar
telah tuli (ashamm) terhadap syariah. Demikian pula siapa saja yang berpendapat
dengan pendapatnya itu serta mengikuti ide dan mazhabnya."
Para
ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan
Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf (menunjuk
Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati
ajal. Imam al-Qadhi 'Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya
Ikmal al-mu'lim bi-Fawa id Muslim,
"ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa
lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah.
Imam
Syamsuddin At-Taftazani ( w. 791 H) dalam Syarh Al-'Aqa id Al-Nasafiyyah,
dengan berdasarkan hadist tersebut, menegaskan bahwa khilafah itu wajib menurut
syariah. Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah
Ikmal Sahabat pasca Rasulullah saw. Untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil
ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja. Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H)
mengatakan, "Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ahlul Haq) berpendapat: Dalil qath'i
atas kewajiban mewujudkan seorang khalifah serta menaatinya secara syar'i
adalah riwayat mutawatir tentang adanya ijmak kaum Muslim (Ijmak Sahabat) pada
periode awal pasca Rasulullah saw. Wafat atas ketidakbolehan masa dari
kekosongan seorang khalifah..."
Khilafah
sebagai ahammul wajibat juga di kemukakan oleh Sa'duddin At-Taftazani (w. 791
H), Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H), Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari
(w.926 H), Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H), Ahmad bin Hijazi Al-Fasyani (w.978 H), Syamsuddin ar-ramli (w.
1004 H), Mulla Ali al-Qari (w. 1014 H), Syamsuddin as-Safarini (w. 1188 H),
Hasan bin Muhammad al-'Aththar (w. 1250 H), Ahmad bin Muhammad ash-sawi (w.
1241 H), Abu al Fadhal as-Sinuri (w.1411 H), dan lainya.
Sudah
sangat jelas dalil dari al-Quran, hadist dan juga Ijmak Sahabat yang menunjukan kewajiban menegakkan
Khilafah. Kita sebagai umat Islam jangan pernah ada lagi keraguan tentang
kebenaran, Khilafah ajaran Islam yang musti harus kita perjuangkan bersama-sama
(jamaah) semoga janji Allah yang akan menjadikan kita (kaum Muslim) sebagai
penguasa di muka bumi ini segera terwujud.
Sayyidina
Ali bin Abi Thalib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al Baghawi
menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah
berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT, serta menunaikan amanah.
Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaatinya.
Sebaliknya tidak wajib taat kepada kemimpin tidak memerintah berdasarkan hukum
yang telah diturunkan Allah SWT atau memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW laa thoata li makhluqin fii maksiatil kholiq Tidak ada ketaatan
kepada makhluk yang memerintahkan kemaksiatan kepada Allah. (HR Ahmad).
Namun demikian,
saat ini kesadaran politik umat Islam masih terlihat sangat jauh. Ada di antara
umat yang memang awam masalah relasi agama dan negara ini dikarenakan keawaman
ilmunya. Ada di antara kaum muslimin yang telah memiliki pemikiran politik
Islam, namun belum memahami betul bagaimana thoriqah menegakkan kembali khilafah.
Ada juga di antara kaum muslimin yang tidak mau tahu soal bentuk negara, karena
hidupnya hanya terjebak pada urusan duniawi semata. Ada pula di antara kaum
muslimin yang menolak khilafah Islam karena pemikirannya telah teracuni paham
sesat dan haram sekulerisme liberalisme.
Ada juga
di antara umat Islam yang menolak khilafah Islam karena mereka menjadi jongos
paham kapitalisme dan komunisme, sebagaimana dialami oleh para pemimimpin
negeri-negeri muslim. Ada juga di antara kaum muslimin yang menolak khilafah Islam
justru karena sengaja menjadi agen Barat yang membiayai hidupnya, dengan kata
lain mereka telah menjual Islam dengan harga sedikit. Mereka memang dibayar
kaum kafir untuk merusak dan menghalangi kebangkitan Islam.
Klasifikasi
di atas mungkin sejalan dengan klasifikasi yang dirumuskan oleh Imam Al Ghazali
bahwa ada empat kriteria manusia : dia tahu bahwa dirinya tahu, dia tahu bahwa
dirinya tidak tahu, dia tidak tahu bahwa dirinya tahu dan dia tidak tahu bahwa
dirinya tidak tahu. Keempat kriteria ini tentu saja ada pada diri umat Islam saat
ini. Jadilah orang pertama dan berdakwahlah untuk kebangkitan Islam, dengan
sabar menerima semua resikonya.
Maka masukkan
dalam golongan umat yang terus menyerukan kebangkitan Islam ini sampai mati
atau kita mendapati kebangkitan peradaban Islam dengan tegaknya khilafah masa
depan. Sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Qutub bahwa masa depan adalah milik
Islam. Pejuang Islam harus yakin, berani, tangguh dan sabar dalam meniti jalan
perjuangan ini. Sebab janji Allah adalah pasti, kita hanya diwajibkan ikhtiar
untuk menyongsong kemenangan Islam ini.
( Sumber
: [1] Ali Ibn Muhammad al-Mawardiy, al-Ahkam al-Sulthaniyahwa al Wilayah
al-Diniyah ( Kairo: Isa al-Babiy al-Halabiy, 1960). [2] E.I,J. Rosenthal,
Political Thought in Medival Islam ( Cambridge: Cambridge University Press, 1968).
[3] Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibnu Taimiyah ( London: Islamic
Book Foundation, 1983 ) [4] Sayyid Abul `Ala al-Maududiy, The Islamic Law and
Constitution ( Lahore: Islamic Publication, 1967)
(AhmadSastra,KotaHujan,04/02/24
: 09. 15 WIB)