MENOLAK RENCANA KENAIKAN PPN, KEBIJAKAN TIDAK PRO RAKYAT


 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, penerapan PPN 12 persen telah ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menurut Sri Mulyani, kenaikan tarif PPN ini diperlukan untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBB).  (kompas.com)

 

Dikutip dari Buku Pedoman Lengkap Pajak Pertambahan Nilai (2016), PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN dikenal dengan Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST).

 

Pertambahan nilai (value added) suatu barang atau jasa ini berasal dari akumulasi biaya dan laba selama proses produksi hingga distribusi yang meliputi modal, upah yang dibayarkan, sewa telepon, listrik, serta pengeluaran lainnya. Pada dasarnya, fungsi PPN sama seperti pajak lainnya, yaitu untuk menambah pemasukan negara dan membiayai pengeluaran program-program yang diterapkan pemerintah. (kompas.com)

 

Rencana kenaikan PPN ini pun mendapat kritik dari berbagai pihak lantaran bisa menekan daya beli masyarakat. Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berisiko kepada konsumsi rumah tangga. Pasalnya kenaikan PPN menjadi 12 persen tentu akan membuat harga-harga jual barang dan jasa ikut naik.

 

Sementara itu, Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mewanti-wanti pertumbuhan ekonomi bisa di bawah 5 persen jika PPN dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen di tahun depan. Pasalnya kenaikan PPN akan semakin menekan daya beli hingga konsumsi kelas menengah. (cnnindonesia.com)

 

Eko mengatakan PPN belum naik jadi 12 persen saja, konsumsi rumah tangga sudah menurun. Sebelum pandemi covid-19, konsumsi rumah tangga minimal tumbuh 5 persen secara kuartalan (quarter to quarter/qtq), tetapi pasca covid-19 pertumbuhan konsumsi hanya 4,9 persen. Meski, hanya turun 0,1 persen, Eko mengatakan tren ini harusnya menjadi alarm bagi pemerintah.

 

Kritik terhadap kenaikan PPN mulai tahun depan juga disampaikan pengusaha. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman menyebut sektornya yakni makanan-minuman menjadi salah satu yang bakal paling terpukul. (cnnindonesia.com)

 

Deflasi dan Gelombang PHK

 

Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan beruntun yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat. Deflasi yang beruntun ini terjadi sejak Mei-September 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Mei 2024 terjadi deflasi sebesar 0,03% secara bulanan (mtm). Kemudian pada Juni 2024 semakin dalam sebesar 0,08%. Pada Juli 2024 terus memburuk tembus 0,18%. Pada Agustus 2024, angkanya kembali ke level 0,03%, kembali memburuk pada September 2024 sebesar 0,12%. (detikfinance)

 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan apabila kondisi tersebut tidak segera dimitigasi, dampaknya dapat terjadi resesi ekonomi hingga memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

 

Di satu sisi fenomena penurunan jumlah kelas menengah sejak tahun 2019 mengisyaratkan kerentanan ekonomi masyarakat Indonesia terhadap guncangan dan krisis. Bank Dunia mengklasifikasikan masyarakat ke dalam 5 kelompok kelas berdasarkan tingkat pendapatan: miskin, rentan miskin, menuju kelas menengah, kelas menengah, dan kelas atas.

 

Kelas menengah adalah orang-orang dengan pengeluaran bulanan 3,5 hingga 17 kali lebih besar dari garis kemiskinan. Dengan acuan tersebut, kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran sebesar Rp2,04 juta hingga Rp 9,9 juta per bulan.

 

Namun, dalam beberapa tahun terakhir setidaknya sejak tahun 2019, jumlah kelas menengah di Indonesia terus menurun. Tren penurunan terutama dimulai sejak Pandemi COVID-19–yang dianggap sebagai salah satu faktor utamanya. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa jumlah kelas menengah pada tahun 2024 yakni 47,85 juta orang atau 17,13% dari total populasi Indonesia. Angka tersebut menurun cukup signifikan dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta orang (21,45% populasi). Artinya, dalam lima tahun, jumlah kelas menengah Indonesia berkurang sebanyak 9,48 juta orang.

 

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dalam laporan Indonesia Economic Outlook 2024 for Q3 2024 bahkan memperkirakan jumlah kelas menengah menurun lebih dari 8,5 juta orang sejak tahun 2018. Menurut laporan tersebut, menurunnya jumlah kelas menengah ditandai oleh pergeseran prioritas pengeluaran yang semakin berfokus pada kebutuhan pokok seperti makanan, iuran/pajak, dan perumahan dan meninggalkan kebutuhan akan hiburan dan kebutuhan tersier lainnya.

 

Kapitalisme, Sistem Ekonomi Berbasis Pajak

 

Sistem ekonomi kapitalisme berbasis pajak dan utang merujuk pada suatu model ekonomi di mana prinsip dasar kapitalisme—seperti kepemilikan pribadi, pasar bebas, dan persaingan—digabungkan dengan penggunaan pajak dan utang sebagai instrumen penting dalam mendanai pengeluaran publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam sistem ini, baik pajak maupun utang digunakan untuk mencapai tujuan ekonomi dan pembangunan yang akan membawa risiko bagi negara dan masyarakat.

 

Pajak adalah sumber utama pendapatan negara dalam sistem ekonomi kapitalis. Pemerintah menggunakan pajak untuk membiayai berbagai program dan layanan publik seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pertahanan. Pemerintah perlu pajak untuk menyediakan barang dan jasa yang tidak bisa disediakan secara efisien oleh sektor swasta.

 

Pajak dapat digunakan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dengan mengenakan pajak yang lebih tinggi pada individu atau korporasi kaya dan mendistribusikan ulang sebagian dari pendapatan tersebut ke dalam program-program sosial. Pajak juga bisa berfungsi sebagai alat pengendalian pasar, misalnya dengan mengenakan pajak tinggi pada produk-produk yang dianggap berbahaya atau tidak ramah lingkungan (seperti rokok atau emisi karbon).

 

Namun, dalam sistem kapitalisme berbasis pajak, sering kali terjadi ketimpangan dalam struktur pajak, di mana kelompok kaya atau perusahaan besar dapat memanfaatkan celah hukum atau penghindaran pajak, sementara kelompok berpendapatan rendah justru menjadi kelompok yang paling terpukul oleh pajak regresif. Kenaikan PPN 12 persen misalnya, selain zalim, rencana kebijakan ini juga akan membunuh rakyat pelan-pelan.

 

Meskipun pajak dapat digunakan untuk mengurangi ketimpangan, dalam praktiknya, sistem perpajakan sering kali tidak progresif, dan orang kaya dapat menghindari pajak dengan berbagai cara, sementara mereka yang berpendapatan rendah lebih terdampak.

Mengandalkan utang untuk membiayai proyek-proyek besar dapat menciptakan utang jangka panjang yang sulit dilunasi dan menyebabkan beban bunga yang meningkat. Ini bisa membatasi kemampuan pemerintah untuk melakukan kebijakan fiskal yang fleksibel.

 

Negara-negara dengan utang besar atau yang mengandalkan utang luar negeri bisa menghadapi kesulitan besar ketika kondisi ekonomi global berubah, seperti peningkatan suku bunga atau penurunan permintaan ekspor.

 

Sistem Ekonomi Islam Tanpa Pajak

 

Sistem ekonomi Islam yang tidak bergantung pada pajak memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dibandingkan dengan sistem ekonomi konvensional. Dalam sistem ekonomi Islam, fokus utamanya adalah pada keadilan sosial, pemerataan kekayaan, dan kesejahteraan umat, dengan menggunakan instrumen keuangan yang sesuai dengan ajaran syariat Islam.

 

Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan sumber daya atau kekayaan bisa terbagi menjadi kepemilikan individu, kepemilikan public dan kepemilikan negara. Hal ini tentu sangat berbeda dengan sistem kapitalisme dan komunisme. Setiap individu atau entitas berhak memiliki properti dan aset, tetapi tetap dalam batasan yang telah ditetapkan oleh syariah. Sumber daya alam untuk memenuhi hajat masyarakat, dalam Islam haram dimiliki individu (privatisasi).

 

Agar negara bisa melaksanakan hal-hal yang diwajibkan oleh syara', maka syara' telah memberikan kekuasaan kepada negara untuk memungut harta kekayaan tertentu sebagai pungutan tetap, semisal jizyah dan kharaj. Syara' juga telah menjadikan harta zakat sebagai bagian harta baitul mal. Syara' juga telah memberikan wewenang kepada negara untuk memungut harta yang telah diwajibkan kepada seluruh kaum muslimin, semisal untuk perbaikan jalan, pembangunan rumah sakit, memberi makan orang-orang yang kelaparan dan lain-lain.

 

Begitu pula syara' telah menjadikan kepemilikan umum (colective propherty) sebagai otoritas negara yang harus dimanage oleh negara, dan tak seorangpun yang diberi izin untuk memanagenya, atau memilikinya, ataupun diberi otoritas untuk memanagenya. Sebab, kekuasaan secara umum itu adalah hak pejabat pemerintahan, dimana tidak seorang rakyat pun boleh melaksanakannya, kecuali dengan adanya mandat kekuasaan.

 

Kepemilikan umum (colective propherty), semisal minyak, tambang besi, tembaga dan sebagainya, adalah kekayaan yang harus dieksplorasi dan dikembangkan dalam rangka mewujudkan kemajuan taraf perekonomian rakyat. Sebab, kekayaan tersebut adalah milik umat, sementara negara hanya memanagenya untuk mengembangkan dan mengelolanya.

 

Oleh karena itu, apabila suatu negara telah mengupayakan pemenuhan kekayaan tersebut serta berusaha untuk memikul tugas melayani rakyat, lalu masing-masing individunya bekerja dan berupaya mencari rizki, maka kekayaan yang dipergunakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan primer (basic needs) dengan cara menyeluruh, serta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan skunder atau tersier tersebut niscaya benar-benar akan terpenuhi.

 

Hanya saja, memajukan taraf perekonomian dengan cara mendorong tiap orang agar bekerja mencari kekayaan, dan dengan menjadikan kekayaan-kekayaan tertentu sebagai milik negara, serta mengembangkan kepemilikan umum itu sebenarnya semata-mata hanya untuk memanfaatkan kekayaan tersebut  sebagai alat pemuas kebutuhan, bukan untuk kekayaan itu sendiri, bukan pula untuk suatu kebanggaan, ataupun untuk disalurkan pada kemaksiatan, penyalahgunaan kekayaan, dan kejelekan.

 

Karena itu, Islam telah menjadikan falsafah ekonominya berpijak pada upaya untuk menjalankan aktivitas perekonomian dengan berpegang kepada perintah dan larangan Allah yang didasarkan pada kesadaran adanya hubungan manusia dengan Allah SWT.

 

Dengan kata lain, Islam telah menjadikan ide yang dipergunakan untuk membangun "pengaturan urusan kaum muslimin" dalam suatu masyarakat, dalam kehidupan ini adalah menjadikan aktivitas perekonomian tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh hukum-hukum syara', sebagai suatu aturan agama. tentu saja sistem ekonomi Islam ini hanya bisa diterapkan dalam naungan sistem negara Islam, yakni khilafah Islamiyah.

 

Khilafah telah menjadikan "pengaturan urusan rakyat" atau mereka yang memiliki kewarganegaraan, atau menjadikan aktivitas perekonomian tersebut, terikat dengan hukum-hukum syara' sebagai suatu perundang-undangan. Sehingga mereka diberi kebolehan sesuai dengan apa yang telah diperbolehkan oleh Islam kepadanya.  Dimana, mereka juga terikat dengan ketentuan (aturan) yang mengikat mereka. Sebagaimana firman Allah SWT : "Dan apa saja yang dibawa untuk kalian oleh Rasul, maka ambillah. Dan apa saja yang dilarang untuk kalian, maka tinggalkanlah." (Q.S. Al Hasyr: 7)

 

Jika ekonomi berdasarkan hukum Allah, maka akan melahirkan keberkahan hidup, sebagaimana firmanNya : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A'raf : 96)

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 18/11/24 : 13.53 WIB)

 

 

 










Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.