Oleh : Ahmad Sastra
Suatu siang yang terik di bulan Ramadhan, sekitar
tahun 1984, di sebuah desa yang tenang,
seorang anak bernama Ahmad Sastra yang baru duduk di kelas 2 SD sedang
berlari-lari kecil di halaman rumahnya.
Udara panas yang menyelimuti membuatnya merasa haus
dan lapar, meskipun ia tahu bahwa sebentar lagi, ketika adzan maghrib
berkumandang, ia bisa berbuka puasa bersama keluarganya. Namun, entah kenapa,
rasa lapar itu begitu menyiksa di siang itu.
Di kebun singkong yang terletak tidak jauh dari rumah,
tampak beberapa kerupuk putih yang sedang dijemur di bawah sinar matahari.
Kerupuk-kerupuk itu terhampar rapi di atas tikar pandan, menguning di bawah
terik matahari, dengan aroma yang harum dan menggoda. Ahmad, yang sudah menahan
lapar sepanjang pagi, tak bisa menahan godaan untuk ‘mencuri’ sepotong kerupuk.
Ia berdiri beberapa langkah dari kerupuk itu, matanya
tertuju pada jajaran kerupuk yang tengah mengering. "Cuma satu saja,"
pikirnya, "tak ada yang akan tahu." Perlahan, ia mendekati kerupuk
yang terletak paling dekat. Dengan hati-hati, ia mengambil satu kerupuk yang
sudah mulai mengeras. Rasanya pasti renyah, pikirnya.
Namun, baru saja ia ingin menggigit kerupuk itu,
tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di belakangnya. Ahmad kaget dan
buru-buru menyembunyikan kerupuk itu di balik punggungnya. Ternyata, itu adalah
ibu yang sedang lewat sambil membawa ember berisi air untuk menyiram tanaman.
Ibu menatapnya dengan senyum yang khas.
"Aduh, Ahmad, kenapa kamu di sini? Lagi cari
apa?" tanya ibu dengan lembut.
Ahmad yang sudah mulai merasa bersalah, tak bisa
menjawab. Wajahnya memerah, tapi ia akhirnya mengangguk pelan dan berkata,
"Mau makan kerupuk, Bu, tergoda kerupuk yang dijemur ini, kayaknya enak
banget rasanya, tapi, nggak bisa tunggu
sampai buka puasa nanti sore."
Ibu hanya tertawa kecil, lalu meletakkan embernya.
"Jangan makan kerupuk yang masih dijemur itu. Itu kan masih mentah, nanti
sakit perutmu, lho!" kata ibu sambil mengusap kepala Ahmad.
Tapi, melihat ekspresi Ahmad yang penuh penyesalan,
ibu kemudian berkata dengan suara lembut, "Tunggu sebentar lagi, ya. Sabar
sedikit. Nanti kalau sudah buka puasa, ibu kasih kerupuk yang sudah matang,
masih lebih enak dan nggak bikin sakit perut."
Ahmad hanya mengangguk pelan. Ia tahu, menahan lapar
di siang hari itu memang berat, apalagi di bulan Ramadhan, namun ia merasa
hangat dengan perhatian ibu yang penuh kasih. Kerupuk yang tadi begitu menggoda
itu, seketika terasa tidak begitu penting lagi.
Meskipun ia tak sempat mencicipi kerupuk yang sedang
dijemur itu, kenangan tentang siang itu tetap membekas dalam ingatannya.
Bagaimana ia hampir tak sabar menunggu waktu berbuka, dan bagaimana ibu selalu
hadir dengan sabar dan penuh pengertian, mengajarkan arti menahan diri dalam
berpuasa.
Sejak saat itu, setiap kali melihat kerupuk yang
sedang dijemur di kebun, Ahmad selalu mengingat betapa indahnya saat-saat berbuka
puasa bersama keluarga. Itu adalah kenangan tak terlupakan, yang membuat
Ramadhan terasa lebih spesial setiap tahunnya.
Namanya juga anak kecil, lihat kerupuk mentah saja
tergoda……
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 09 Ramadhan 1446 H – 09 Maret
2025 M : 10.11 WIB)