Oleh : Ahmad Sastra
Di bulan Ramadhan, saat malam begitu sepi dan sunyi,
ada seorang anak bernama Ahmad Sastra yang saat itu masih duduk di kelas 5 SD. Ahmad
dikenal oleh banyak orang di desanya sebagai anak yang rajin beribadah,
terutama selama bulan puasa.
Setiap malam, selepas tarawih di masjid, bersama
teman-teman sebayanya, Ahmad tak langsung pulang. Ia lebih memilih untuk tidur
di mushola yang ada di dekat rumahnya, tempat yang selalu sepi dan tenang. Bahagia
hatinya saat bersama teman-teman sebayanya menikmati malam Ramadhan di mushola.
Mushola itu tak besar, hanya terdiri dari beberapa
baris sajadah dan lantai yang dingin karena tidak ada pemanas. Namun, bagi
Ahmad, mushola itu adalah tempat yang nyaman untuk menenangkan hati dan
beristirahat setelah seharian berpuasa.
Ia selalu merasa dekat dengan Allah di sana, mengingat
betapa berharganya setiap detik di bulan Ramadhan. Bersama teman-temannya,
biasa mereka berdikusi dan ngobrol ngalor ngidul, maklum masih anak-anak. Namun
kadang diselingi juga dengan membaca al Qur’an hingga mereka ketiduran.
Malam itu, seperti biasa, mereka tidur di pojokan
mushola, dibalut dengan selimut tipis yang dibawa dari rumah. Matanya setengah
terpejam, namun hatinya tetap terjaga, menunggu detik-detik waktu sahur yang
semakin mendekat.
Mereka sudah terbiasa, meski tubuhnya lelah, hatinya
tetap penuh semangat. Ia tahu bahwa sahur adalah waktu yang penting, dan meskipun
ia tidur di mushola, mereka tak ingin melewatkan kesempatan untuk membantu
orang lain.
Menjelang sahur, Ahmad dan teman-temannya akan
terbangun tepat waktu. Setiap kali mendengar suara ajakan sahur dari masjid
yang jauh menggema, mereka sudah siap untuk bangun dan segera bergegas keluar
dari mushola.
Dengan langkah pelan namun pasti, ia berjalan
menyusuri gang-gang kecil yang gelap, sambil bersuara keras untuk membangunkan
para tetangga untuk segera bangun dan makan sahur.
Ahmad dan teman-temannya sudah terbiasa melakukan ini
setiap malam di bulan Ramadhan. Ia akan mengetuk pintu rumah
tetangga-tetangganya, berteriak pelan namun penuh semangat, “Sahur, sahur! Ayo
bangun, waktunya sahur!” Tak jarang ia mendapatkan senyum hangat dari tetangga
yang mendengar teriakannya, bahkan ada yang keluar dan mengucapkan terima kasih
karena sudah dibangunkan.
Pagi itu, Ahmad dan temen-temannya seperti biasa,
mengetuk pintu rumah Pak Darma, seorang tetangga yang usianya sudah lanjut.
“Pak Darma, sahur!” serunya dengan suara yang lembut namun penuh semangat. Pak Darma
membuka pintu dengan senyuman, meskipun matanya masih sedikit mengantuk. “Terima
kasih, Ahmad dan temen-temennya. Kalian memang rajin sekali,” kata Pak Darma
sambil membelai kepala Ahmad dan temen-temennya.
Setelah memastikan semua tetangganya sudah terbangun, Ahmad
pulang ke rumah. Saat ia melangkah ke dalam rumah, ia merasa bangga dan
bahagia. Ia duduk di meja makan, menikmati sahur bersama keluarga.
Walaupun kadang ia merasa lelah karena tidur yang tak
terlalu panjang di mushola, namun ada rasa kepuasan dalam dirinya. Membantu
orang lain agar bisa menjalani ibadah puasa dengan lebih baik, menurutnya,
adalah bagian dari keberkahan bulan Ramadhan.
Kenangan itu tetap membekas dalam hatinya, setiap
Ramadhan, meskipun waktu terus berlalu dan kini beranjak dewasa dan telah
memiliki anak. Ahmad tidak hanya belajar untuk menahan lapar dan haus, tetapi
juga belajar untuk berbagi dan peduli terhadap orang lain.
Itulah kenangan yang tak terlupakan, sebuah kebiasaan
yang menjadi bagian dari dirinya, yang selalu mengingatkannya pada betapa
indahnya bulan Ramadhan. Saling berbagi, bukan hanya makanan, namun
membangunkan sahur kepada tentangga juga ternyata menjadikan tetangga bahagia.
(Ahmad Sastra, 09 Ramadhan 1446 H – 09 Maret 2025 M :
10.31 WIB)