oleh : Ahmad Sastra
Di sebuah desa yang tenang, ada seorang anak bernama Ahmad
Sastra, seorang anak kelas 1 SD yang sangat antusias menjalani bulan Ramadhan.
Tahun itu adalah Ramadhan pertamanya yang ia jalani sepenuhnya tanpa batal,
meskipun kadang rasa haus dan lapar menyerang tubuh kecilnya. Hal ini terjadi
sekitar tahun 1981.
Namun, Ahmad tetap semangat dan tak ingin melewatkan
kesempatan untuk berpuasa penuh. Setiap kali berbuka, ia merasakan kebahagiaan
yang luar biasa, dan setiap kali sahur, ia merasa bangga bisa menahan rasa
lapar dan haus hingga waktu berbuka tiba.
Ayah Ahmad, yang dikenal sebagai sosok yang tegas
namun penuh kasih sayang, selalu mengawasi dan memberikan semangat. “Kamu pasti
bisa, Ahmad. Puasa itu bukan hanya soal menahan lapar, tapi juga menahan diri
dari hal-hal yang tidak baik,” kata Ayahnya dengan suara yang lembut setiap
kali Ahmad mulai merasa lelah di tengah hari.
Hari demi hari berlalu, dan akhirnya bulan Ramadhan
hampir tiba di ujungnya. Ahmad merasa bangga karena ia berhasil menjalani puasa
sebulan penuh. Ada rasa haru dan bahagia yang bercampur aduk di hatinya. Hari
itu, menjelang Idul Fitri, Ayahnya memanggilnya ke ruang tamu. Ahmad, yang
sedang bermain dengan adiknya, langsung menghampiri Ayah.
“Ahmad, datang sebentar,” kata Ayah dengan senyum yang
misterius.
Ahmadpun mendekat, penasaran dengan apa yang Ayahnya
katakan. Ketika ia sampai di depan Ayah, ia melihat sebuah kotak besar yang
terbungkus kain di sampingnya. “Ini hadiah untukmu, Ahmad. Karena kamu sudah
berhasil menyelesaikan puasa Ramadhan sebulan penuh,” kata Ayah sambil membuka
kotak itu.
Hati Ahmad berdebar kencang. Apa yang ada di dalam
kotak itu? Ketika kain pembungkusnya terbuka, Ahmad terkejut melihat sebuah
sepeda baru yang berkilau dengan warna biru cerah. Sepeda itu tampak sangat
indah, dengan roda yang besar dan nyaman, serta stang yang dilengkapi dengan
bell yang berbunyi nyaring.
“Sepeda ini adalah hadiah Ayah untukmu. Kamu sudah
berusaha dengan keras selama sebulan penuh menjalani puasa. Ini hadiah untuk
ketekunan dan kesabaranmu,” kata Ayah dengan penuh kebanggaan sambil memeluk
erat Ahmad.
Ahmad terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia tidak
menyangka akan mendapatkan hadiah sebesar ini. Sebuah sepeda baru yang selama
ini ia impikan. Ia langsung balik memeluk Ayahnya erat, “Terima kasih, Ayah! Terima
kasih banyak!” ucap Ahmad dengan suara yang hampir tak terdengar saking
bahagianya.
Ayah mengusap kepala Ahmad dengan lembut. “Hadiah ini
bukan hanya karena kamu berhasil berpuasa, tapi juga karena kamu sudah
menunjukkan tanggung jawab dan kedewasaan. Ini bukan hanya tentang hadiah, tapi
juga tentang belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya.”
Dengan senyum lebar di wajahnya, Ahmad bergegas keluar
rumah untuk mengendarai sepeda barunya. Angin sepoi-sepoi yang menyentuh
wajahnya membuatnya merasa bebas dan bahagia. Sepeda itu bukan hanya hadiah,
tapi juga simbol dari perjuangan dan pencapaiannya di bulan Ramadhan tahun itu,
saat dirinya masih kelas 1 SD.
Sejak saat itu, setiap kali Ahmad mengendarai sepeda
itu di sekitar desa, ia selalu teringat betapa luar biasanya bulan Ramadhan
yang ia jalani. Sepeda itu menjadi kenangan yang tak terlupakan, simbol dari
sebuah keberhasilan yang diraih dengan kesabaran dan semangat.
Dan yang lebih penting, hadiah itu mengajarkan Ahmad
untuk selalu bersyukur atas setiap perjuangan yang ia lakukan, karena selalu
ada kebahagiaan yang menanti di ujung jalan.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 09 Ramadhan 1446 H – 09 Maret 2025 M : 10.48
WIB)