Oleh
: Ahmad Sastra
Madinah Al Munawarah artinya
madinah yang bercahaya atau kota Madinah yang bercahaya. Bercahaya kebalikan
dari kegelapan. Mekkah saat iru masih gelap gulita, karena masih jahiliyah,
menolak penerapan hukum Islam. Sementara Madinah menjadi negara bercahaya,
pasca penerapan hukum Islam secara kaffah oleh Rasulullah sebagai kepada
negara.
Madinah adalah tempat
tujuan Nabi Muhammad untuk melakukan Hijrah dari Mekkah, dan secara berangsur-angsur berubah
menjadi ibu kota Kekaisaran Muslim, dengan pemimpin pertama langusung oleh Nabi
Muhammad, kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali.
Kota ini menjadi pusat
kekuatan Islam selama berabad-abad dalam komunitas Muslim. Madinah adalah
tempat bagi tiga masjid tertua yang pernah dibangun, yaitu Masjid Quba, Masjid Nabawi, dan Masjid Qiblatain ("masjid dua kiblat"). Umat Muslim percaya bahwa penyelesaian dari
serangkaian penurunan surah Al Qur’an diterima Nabi Muhammad di Madinah, yang dikenal sebagai surah Madaniyah yang tampak perbedaannya dengan surah Makkiyyah.
Pada masa sebelum Islam
berkembang, kota Madinah bernama Yatsrib, dikenal sebagai pusat perdagangan.
Kemudian ketika Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah, kota ini diganti namanya menjadi Madinah sebagai awal pusat
perkembangan peradaban Islam sampai beliau wafat dan dimakamkan di sana.
Selanjutnya kota ini menjadi pusat kekhalifahan sebagai penerus Nabi Muhammad. Terdapat tiga khalifah
yang memerintah dari kota ini yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan.
Pada masa Ali bin Abi Thalib pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak. Selanjutnya
ketika kekuasaan beralih kepada bani Umayyah, maka pemerintahan dipindahkan ke Damaskus dan ketika pemerintahan berpindah kepada bani Abassiyah, pemerintahan dipindahkan ke kota Baghdad. Pada masa Nabi Muhammad, penduduk kota Madinah adalah orang
yang beragama Islam dan orang Yahudi yang dilindungi keberadaannya.
Dengan penerapan hukum Islam
yang ada dalam Al Qur’an ada semacam transformasi dari jahiliah menjadi
peradaban maju, mulia dan penuh keberkahan. Jahiliah (bahasa Arab: جاهلية, translit. Jāhilīyyah) adalah konsep dalam agama Islam yang menunjukkan masa kebodohan akibat tidak tahu
mengenai petunjuk Tuhan. Kondisi jahiliah terutama merujuk kepada bangsa Arab
khususnya penduduk Makkah ketika belum mengenal Islam. Zaman jahiliah adalah
zaman kebodohan karena tidak adanya petunjuk Islam yang terkandung di dalam Al
Qur’an. Di dalam Al-Qur'an terdapat pembahasan mengenai tiga jenis jahiliah
yakni jahiliah dalam persoalan ketuhanan, syariat Islam dan akhlak.
Jahiliah berasal dari
istilah jahiliyyah yang merupakan bentuk kata kerja pertama
pada kata jahala. Kata jahala memiliki arti menjadi bodoh, bodoh, bersikap
dengan bodoh atau tidak peduli. Dalam syariat Islam, jahiliah dimaknai
sebagai ketidaktahuan akan petunjuk ilahi atau kondisi ketidaktahuan akan
petunjuk dari Allah SWT.
Kondisi kebodohan merujuk
pada situasi bangsa Arab kuno, yaitu pada masa masyarakat Arabia pra-Islam sebelum diutusnya seorang Rasul yang bernama Muhammad. Pengertian khusus kata jahiliah ialah keadaan seseorang
yang tidak memperoleh bimbingan dari Islam dan Al-Qur'an. Karena itu
hukum yang berlaku pra-islam adalah hukum jahiliah.
Dalam konteks hari ini,
hukum yang bukan berasal dari Al Qur’an adalah hukum jahiliah. Seperti hukum
sekuler kapitalisme demokrasi adalah hukum jahiliah karena tidak berasal dari
Al Qur’an. Adalah tepat jika suatu negara disebut jahiliah modern, saat menjauh
dari hukum al Qur’an dan malah menerapkan selain hukum Allah. Ini penting
ditegaskan agar bangsa ini paham akan pentingnya hijrah konstitusi dan sistem
pemerintahan, jika ingin menjadi negara yang bercahaya, sebagaimana Madinah Al
Munawwarah.
Sebagaimana kita ketahui, sistem apapun
selain sistem Islam adalah sistem jahiliah. Termasuk sistem kehidupan sekuler
yang diberlakukan di negeri ini. Pasalnya, di negeri ini syariah Islam tidak
diterapkan, kecuali hanya sebagian kecil, seperti dalam urusan nikah, talak,
dan rujuk; dalam urusan haji dan zakat; dsb. Sebaliknya, dalam berbagai urusan
lain yang lebih besar (ekonomi, politik, hukum, peradilan, sosial,
pemerintahan, dll) syariah Islam tidak digunakan.
Padahal Allah SWT telah mencela sikap
manusia yang tidak mau memilih hukum-hukum Allah dan malah lebih memilih hukum
jahiliah. Allah SWT berfirman : Apakah sistem hukum jahiliah yang mereka
kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya dibandingkan dengan sistem
hukum Allah bagi kaum yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Berkaitan dengan ayat di atas, setelah
Nabi Muhammad saw. diutus, sifat jahiliah memang tidak disematkan pada suatu
masa secara mutlak dan umum. Namun, sifat jahiliah bisa disematkan pada
realitas apa saja yang bertentangan dengan ajaran Rasul (Islam) (Ibnu Taimiyah,
Iqtidha’ Shirâth al-Mustaqîm, 1/258); baik realitas itu berupa aqidah, sistem
hukum dan perilaku, baik realitas itu individu, masyarakat ataupun negara.
Negara (masyarakat) yang di dalamnya lebih dominan penentangannya terhadap
hukum-hukum Allah, secara legal-formal menolak sistem Islam, lalu menerapkan
aturan-aturan yang bertentangan dengan syariah Islam maka layak disebut dengan
istilah jahiliah.
Karena itu hijrah, dalam pandangan Islam,
tentu berkaitan dengan upaya kaum Muslim, khususnya di negeri ini, untuk segera
meninggalkan sistem hukum jahiliah ini menuju sistem Islam. Hijrah semacam ini
tentu berkaitan erat dengan upaya mewujudkan negara Madinah al Munawwarah pada
zaman Rasulullah.
Sebabnya, hijrah Rasulullah saw. pun,
yakni dari Makkah ke Madinah, bukan hanya bersifat individual, sebagaimana
hijrah pertama dan kedua yakni sebagian Muslim ke Habsyah. Hijrah Rasul saw.
adalah dalam rangka meninggalkan Dârul Kufur menuju Dârul Islam, yakni meninggalkan
sistem jahiliah menuju penegakan sistem Islam.
Hijrah Nabi saw. ke Dârul Islam di Madinah
adalah dalam rangka menerapkan dan menegakkan syariah Islam secara kâffah. Di
Madinah Rasulullah saw. adalah pemimpin Negara Islam. Kekuasaan yang beliau
terima di Madinah dari kaum Anshar bukanlah sekadar kekuasaan semata. Sebabnya,
jika sekadar kekuasaan semata, hal itu bisa beliau dapatkan di Makkah.
Kekuasaan beliau di Madinah tidak lain adalah kekuasaan yang menolong
(shultân[an] nashîr[an]).
Ini sebagaimana turunnya ayat yang
memerintahkan beliau hijrah: Katakanlah, "Tuhanku, masukkanlah aku secara
masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar, dan
berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’
[17]: 80).
Kekuasaan “yang menolong” adalah kekuasaan
yang dengan itu syariah Islam diterapkan secara kâffah. Imam Ibnu Katsir,
seraya mengutip Qatadah (w. 117 H), saat menjelaskan frasa “kekuasaan yang
menolong”, menyatakan: “… untuk membela Kitabullah, hudûd Allah, hal-hal yang
difardukan Allah, dan untuk menegakkan agama Allah”. (Ibnu Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-Adzîm, 5/111).
Hijrah tetaplah relevan hingga Hari
Kiamat. Yang terputus hanyalah hijrah dari Makkah ke Madinah pasca Makkah
ditaklukkan dan menjadi Dârul Islam (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,
3/350).
Dalam situasi sekarang, hijrah bisa kita
lakukan dengan berpindah dari suatu tempat yang kita khawatirkan menggoyahkan
keimanan kita, sementara kita tidak sanggup berupaya mengubahnya, menuju tempat
yang dipenuhi suasana keimanan; meninggalkan pekerjaan yang banyak
kemaksiatannya beralih ke pekerjaan yang halal; meninggalkan keadaan yang bisa
membuat kita melanggar aturan Allah, menuju keadaan yang mempermudah kita
mendekatkan diri kepada-Nya.
Yang lebih penting lagi, sekaligus inilah
esensi dari hijrah Nabi saw, yang perlu diteladani, adalah hijrah meninggalkan
sistem jahiliah saat ini, yakni sistem sekuler, menuju sistem Islam. Karena
sistem Islam ini tidak bisa tegak tanpa kekuasaan, maka semestinya perjuangan
umat bukan sekadar diarahkan untuk menjadikan sosok Muslim yang shalih sebagai
penguasa.
Lebih dari itu mestinya perjuangan umat
Islam diarahkan memilih dan mengangkat penguasa Muslim yang shalih, yang
kekuasaannya benar-benar digunakan untuk menegakkan syariah Islam secara
kâffah. Bukan malah sebaliknya, kekuasaan yang diraih itu digunakan justru
untuk melanggengkan dan makin memperkokoh sistem sekuler yang notabene adalah
sistem jahiliah.
Jika itu yang terjadi, sebagaimana saat
ini, maka seluruh kaum Muslim bertanggung jawab atas keterpilihan penguasa yang
nyata-nyata enggan menerapkan syariah Islam secara kâffah, dan malah
melanggengkan sistem sekuler jahiliah saat ini. Alhasil, mari kita berhijrah
secara total, yakni dengan meninggalkan sistem jahiliah saat ini menuju sistem
Islam dalam naungan Daulah Islamiyah sebagai refleksi Nuzul Qur’an pada bulan
Ramadhan yang mulia ini.
[Ahmad Sastra, Kota Hujan, 17 Ramadhan
1446 H – 17 Maret 2025 M : 09.32 WIB]