[2] Refleksi Nuzulul Qur’an AL QUR’AN DAN TRANSFORMASI INDONESIA BERCAHAYA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Madinah Al Munawarah artinya madinah yang bercahaya atau kota Madinah yang bercahaya. Bercahaya kebalikan dari kegelapan. Mekkah saat iru masih gelap gulita, karena masih jahiliyah, menolak penerapan hukum Islam. Sementara Madinah menjadi negara bercahaya, pasca penerapan hukum Islam secara kaffah oleh Rasulullah sebagai kepada negara.

 

Madinah adalah tempat tujuan Nabi Muhammad untuk melakukan Hijrah dari Mekkah, dan secara berangsur-angsur berubah menjadi ibu kota Kekaisaran Muslim, dengan pemimpin pertama langusung oleh Nabi Muhammad, kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur RasyidinAbu BakarUmar bin KhattabUtsman bin Affan, dan Ali.

 

Kota ini menjadi pusat kekuatan Islam selama berabad-abad dalam komunitas Muslim. Madinah adalah tempat bagi tiga masjid tertua yang pernah dibangun, yaitu Masjid Quba, Masjid Nabawi, dan Masjid Qiblatain ("masjid dua kiblat"). Umat Muslim percaya bahwa penyelesaian dari serangkaian penurunan surah Al Qur’an diterima Nabi Muhammad di Madinah, yang dikenal sebagai surah Madaniyah yang tampak perbedaannya dengan surah Makkiyyah.

 

Pada masa sebelum Islam berkembang, kota Madinah bernama Yatsrib, dikenal sebagai pusat perdagangan. Kemudian ketika Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah, kota ini diganti namanya menjadi Madinah sebagai awal pusat perkembangan peradaban Islam sampai beliau wafat dan dimakamkan di sana. Selanjutnya kota ini menjadi pusat kekhalifahan sebagai penerus Nabi Muhammad. Terdapat tiga khalifah yang memerintah dari kota ini yakni Abu BakarUmar bin Khattab, dan Utsman bin Affan.

 

Pada masa Ali bin Abi Thalib pemerintahan dipindahkan ke Kufah di Irak. Selanjutnya ketika kekuasaan beralih kepada bani Umayyah, maka pemerintahan dipindahkan ke Damaskus dan ketika pemerintahan berpindah kepada bani Abassiyah, pemerintahan dipindahkan ke kota Baghdad. Pada masa Nabi Muhammad, penduduk kota Madinah adalah orang yang beragama Islam dan orang Yahudi yang dilindungi keberadaannya.

 

Dengan penerapan hukum Islam yang ada dalam Al Qur’an ada semacam transformasi dari jahiliah menjadi peradaban maju, mulia dan penuh keberkahan. Jahiliah (bahasa Arabجاهليةtranslit. Jāhilīyyah) adalah konsep dalam agama Islam yang menunjukkan masa kebodohan akibat tidak tahu mengenai petunjuk Tuhan. Kondisi jahiliah terutama merujuk kepada bangsa Arab khususnya penduduk Makkah ketika belum mengenal Islam. Zaman jahiliah adalah zaman kebodohan karena tidak adanya petunjuk Islam yang terkandung di dalam Al Qur’an. Di dalam Al-Qur'an terdapat pembahasan mengenai tiga jenis jahiliah yakni jahiliah dalam persoalan ketuhanan, syariat Islam dan akhlak.

 

Jahiliah berasal dari istilah jahiliyyah yang merupakan bentuk kata kerja pertama pada kata jahala. Kata jahala memiliki arti menjadi bodoh, bodoh, bersikap dengan bodoh atau tidak peduli. Dalam syariat Islam, jahiliah dimaknai sebagai ketidaktahuan akan petunjuk ilahi atau kondisi ketidaktahuan akan petunjuk dari Allah SWT.  

 

Kondisi kebodohan merujuk pada situasi bangsa Arab kuno, yaitu pada masa masyarakat Arabia pra-Islam sebelum diutusnya seorang Rasul yang bernama Muhammad. Pengertian khusus kata jahiliah ialah keadaan seseorang yang tidak memperoleh bimbingan dari Islam dan Al-Qur'an. Karena itu hukum yang berlaku pra-islam adalah hukum jahiliah.

 

Dalam konteks hari ini, hukum yang bukan berasal dari Al Qur’an adalah hukum jahiliah. Seperti hukum sekuler kapitalisme demokrasi adalah hukum jahiliah karena tidak berasal dari Al Qur’an. Adalah tepat jika suatu negara disebut jahiliah modern, saat menjauh dari hukum al Qur’an dan malah menerapkan selain hukum Allah. Ini penting ditegaskan agar bangsa ini paham akan pentingnya hijrah konstitusi dan sistem pemerintahan, jika ingin menjadi negara yang bercahaya, sebagaimana Madinah Al Munawwarah.

 

Sebagaimana kita ketahui, sistem apapun selain sistem Islam adalah sistem jahiliah. Termasuk sistem kehidupan sekuler yang diberlakukan di negeri ini. Pasalnya, di negeri ini syariah Islam tidak diterapkan, kecuali hanya sebagian kecil, seperti dalam urusan nikah, talak, dan rujuk; dalam urusan haji dan zakat; dsb. Sebaliknya, dalam berbagai urusan lain yang lebih besar (ekonomi, politik, hukum, peradilan, sosial, pemerintahan, dll) syariah Islam tidak digunakan.

 

Padahal Allah SWT telah mencela sikap manusia yang tidak mau memilih hukum-hukum Allah dan malah lebih memilih hukum jahiliah. Allah SWT berfirman : Apakah sistem hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya dibandingkan dengan sistem hukum Allah bagi kaum yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).

 

Berkaitan dengan ayat di atas, setelah Nabi Muhammad saw. diutus, sifat jahiliah memang tidak disematkan pada suatu masa secara mutlak dan umum. Namun, sifat jahiliah bisa disematkan pada realitas apa saja yang bertentangan dengan ajaran Rasul (Islam) (Ibnu Taimiyah, Iqtidha’ Shirâth al-Mustaqîm, 1/258); baik realitas itu berupa aqidah, sistem hukum dan perilaku, baik realitas itu individu, masyarakat ataupun negara. Negara (masyarakat) yang di dalamnya lebih dominan penentangannya terhadap hukum-hukum Allah, secara legal-formal menolak sistem Islam, lalu menerapkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syariah Islam maka layak disebut dengan istilah jahiliah.

 

Karena itu hijrah, dalam pandangan Islam, tentu berkaitan dengan upaya kaum Muslim, khususnya di negeri ini, untuk segera meninggalkan sistem hukum jahiliah ini menuju sistem Islam. Hijrah semacam ini tentu berkaitan erat dengan upaya mewujudkan negara Madinah al Munawwarah pada zaman Rasulullah.

 

Sebabnya, hijrah Rasulullah saw. pun, yakni dari Makkah ke Madinah, bukan hanya bersifat individual, sebagaimana hijrah pertama dan kedua yakni sebagian Muslim ke Habsyah. Hijrah Rasul saw. adalah dalam rangka meninggalkan Dârul Kufur menuju Dârul Islam, yakni meninggalkan sistem jahiliah menuju penegakan sistem Islam.

 

Hijrah Nabi saw. ke Dârul Islam di Madinah adalah dalam rangka menerapkan dan menegakkan syariah Islam secara kâffah. Di Madinah Rasulullah saw. adalah pemimpin Negara Islam. Kekuasaan yang beliau terima di Madinah dari kaum Anshar bukanlah sekadar kekuasaan semata. Sebabnya, jika sekadar kekuasaan semata, hal itu bisa beliau dapatkan di Makkah. Kekuasaan beliau di Madinah tidak lain adalah kekuasaan yang menolong (shultân[an] nashîr[an]).

 

Ini sebagaimana turunnya ayat yang memerintahkan beliau hijrah: Katakanlah, "Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).

 

Kekuasaan “yang menolong” adalah kekuasaan yang dengan itu syariah Islam diterapkan secara kâffah. Imam Ibnu Katsir, seraya mengutip Qatadah (w. 117 H), saat menjelaskan frasa “kekuasaan yang menolong”, menyatakan: “… untuk membela Kitabullah, hudûd Allah, hal-hal yang difardukan Allah, dan untuk menegakkan agama Allah”. (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm, 5/111).

 

Hijrah tetaplah relevan hingga Hari Kiamat. Yang terputus hanyalah hijrah dari Makkah ke Madinah pasca Makkah ditaklukkan dan menjadi Dârul Islam (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 3/350).

 

Dalam situasi sekarang, hijrah bisa kita lakukan dengan berpindah dari suatu tempat yang kita khawatirkan menggoyahkan keimanan kita, sementara kita tidak sanggup berupaya mengubahnya, menuju tempat yang dipenuhi suasana keimanan; meninggalkan pekerjaan yang banyak kemaksiatannya beralih ke pekerjaan yang halal; meninggalkan keadaan yang bisa membuat kita melanggar aturan Allah, menuju keadaan yang mempermudah kita mendekatkan diri kepada-Nya.

 

Yang lebih penting lagi, sekaligus inilah esensi dari hijrah Nabi saw, yang perlu diteladani, adalah hijrah meninggalkan sistem jahiliah saat ini, yakni sistem sekuler, menuju sistem Islam. Karena sistem Islam ini tidak bisa tegak tanpa kekuasaan, maka semestinya perjuangan umat bukan sekadar diarahkan untuk menjadikan sosok Muslim yang shalih sebagai penguasa.

 

Lebih dari itu mestinya perjuangan umat Islam diarahkan memilih dan mengangkat penguasa Muslim yang shalih, yang kekuasaannya benar-benar digunakan untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah. Bukan malah sebaliknya, kekuasaan yang diraih itu digunakan justru untuk melanggengkan dan makin memperkokoh sistem sekuler yang notabene adalah sistem jahiliah.

 

Jika itu yang terjadi, sebagaimana saat ini, maka seluruh kaum Muslim bertanggung jawab atas keterpilihan penguasa yang nyata-nyata enggan menerapkan syariah Islam secara kâffah, dan malah melanggengkan sistem sekuler jahiliah saat ini. Alhasil, mari kita berhijrah secara total, yakni dengan meninggalkan sistem jahiliah saat ini menuju sistem Islam dalam naungan Daulah Islamiyah sebagai refleksi Nuzul Qur’an pada bulan Ramadhan yang mulia ini.

 

[Ahmad Sastra, Kota Hujan, 17 Ramadhan 1446 H – 17 Maret 2025 M : 09.32 WIB]

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.