Oleh : Ahmad Sastra
Beredar di banyak channel media sosial, para artis,
pejabat, pengusaha atau pesohor lainnya yang tanpa merasa bersalah sering pamer
kekayaan. Sementara rakyat Indonesia saat ini justru sedang menangis karena
kemiskinan, kesulitan ekonomi dan jeratan masalah kehidupan lainnya. Flexing semacam
ini adalah bentuk kegilaan dan penyakit mental.
Flexing dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
"memamerkan" atau "pamer". Kata ini sering digunakan untuk
menggambarkan seseorang yang menunjukkan atau memamerkan sesuatu yang mereka
miliki, terutama dengan cara yang berlebihan atau sombong, seperti kekayaan,
kekuatan, atau pencapaian.
Fenomena flexing di kalangan pesohor (selebriti)
negeri, terutama yang terjadi di media sosial, telah menjadi sorotan banyak
orang dalam beberapa tahun terakhir. Selebriti sering kali memamerkan kekayaan,
gaya hidup mewah, barang-barang mahal, atau pencapaian pribadi mereka di platform
seperti Instagram, TikTok, atau YouTube.
Banyak selebriti yang sering memamerkan mobil mewah,
rumah besar, pakaian desainer, atau liburan ke tempat eksklusif. Tujuannya bisa
beragam, mulai dari menunjukkan pencapaian pribadi hingga untuk menunjukkan status
sosial mereka.
Sementara sebagian orang menganggap hal ini sebagai
bentuk kebanggaan atas kerja keras yang telah dilakukan, tidak sedikit juga
yang mengkritik fenomena ini. Kritikus menyebut flexing bisa menciptakan
standar hidup yang tidak realistis dan membuat orang lain merasa rendah diri
atau tertekan.
Fenomena flexing ini bisa memengaruhi pengikut di
media sosial, terutama generasi muda. Mereka mungkin merasa terobsesi untuk
mengikuti tren gaya hidup selebriti, tanpa menyadari bahwa banyak dari apa yang
ditampilkan tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan atau proses yang ada di
baliknya.
Banyak selebriti yang memanfaatkan fenomena flexing
ini untuk keperluan endorsement produk atau promosi. Misalnya, mereka
menunjukkan barang atau merek tertentu untuk mempengaruhi pengikut mereka
membeli produk tersebut.
Ada juga yang berpendapat bahwa banyak selebriti yang
menunjukkan sisi kehidupan mereka yang glamor, tetapi tidak menunjukkan sisi
kehidupan mereka yang lebih manusiawi, seperti tantangan dan perjuangan yang
mungkin mereka alami. Ini bisa menciptakan kesan yang tidak realistis tentang
bagaimana seharusnya hidup itu.
Fenomena flexing bisa dilihat dari berbagai
perspektif, termasuk sebagai potensi masalah mental atau kegilaan, tergantung
pada konteks dan intensitas perilakunya. Jika seseorang terobsesi untuk
terus-menerus memamerkan kekayaan, status sosial, atau gaya hidup mewah dengan cara
yang berlebihan, itu bisa menandakan adanya masalah psikologis atau gangguan
mental.
Banyak orang yang terjebak dalam fenomena flexing
karena mereka mencari validasi eksternal. Dalam konteks ini, mereka merasa
bahwa nilai diri mereka ditentukan oleh apa yang mereka miliki dan bagaimana
orang lain melihat mereka. Jika ini menjadi pola yang berulang, hal tersebut
bisa berhubungan dengan masalah kepercayaan diri rendah atau ketergantungan
pada pengakuan orang lain (seperti pada gangguan kepribadian narsistik).
Seseorang dengan gangguan ini cenderung memiliki rasa
percaya diri yang berlebihan dan ingin selalu dipuji. Mereka sering memamerkan
pencapaian mereka untuk mendapatkan perhatian dan pujian dari orang lain. Dalam
hal ini, flexing bisa menjadi manifestasi dari kebutuhan akan pengakuan yang
terus-menerus.
Media sosial memainkan peran besar dalam fenomena
flexing. Seringkali, seseorang merasa tertekan untuk memamerkan sisi terbaik
dari hidup mereka, agar bisa mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh
selebriti atau influencer. Fenomena ini bisa menciptakan perasaan cemas atau depresi
bagi mereka yang merasa bahwa hidup mereka kurang sempurna dibandingkan dengan
yang mereka lihat di media sosial.
Ketika seseorang terus-menerus melihat orang lain
"flexing" di media sosial, mereka bisa merasa cemas atau tertekan,
karena merasa tidak memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain. Hal ini bisa
menambah perasaan tidak cukup atau rendah diri.
Flexing juga bisa menjadi cara bagi seseorang untuk merasa
kontrol atas kehidupannya, terutama jika mereka merasa tidak puas atau tidak
memiliki kontrol dalam aspek lain dari hidup mereka. Memamerkan kekayaan atau
gaya hidup mewah bisa menjadi cara untuk menunjukkan bahwa mereka
"berhasil" dan berada di posisi yang lebih baik daripada orang lain.
Dalam masyarakat yang seringkali mengedepankan
nilai-nilai materi, penampilan, dan kesuksesan finansial, flexing dapat menjadi
cermin dari kegilaan kolektif di mana orang merasa bahwa memiliki lebih banyak
uang atau status sosial lebih tinggi adalah bukti keberhasilan hidup.
Masyarakat yang terlalu menghargai materi dan status dapat menciptakan tekanan
yang besar bagi individu untuk terus memamerkan kekayaan atau pencapaian
mereka.
Meskipun beberapa orang mungkin melakukannya tanpa
niat buruk, kebiasaan terus-menerus flexing bisa mengarah pada kelelahan mental
atau kecemasan jangka panjang. Ketika seseorang merasa bahwa hidup mereka harus
selalu tampak sempurna atau lebih baik dari orang lain, itu bisa menambah beban
mental yang besar. Ini juga bisa menyebabkan perasaan kesepian atau tidak puas,
karena mereka merasa harus menjaga citra tertentu yang tidak realistis.
Beberapa orang yang dibesarkan dalam situasi yang
kurang beruntung mungkin merasa perlu untuk menunjukkan keberhasilan mereka
ketika mereka akhirnya mencapai sesuatu. Flexing bisa menjadi bentuk kompensasi
terhadap perasaan kekurangan atau rendah diri di masa lalu.
Jika seseorang merasa bahwa mereka tidak pernah
dianggap penting atau dihargai sebelumnya, mereka mungkin terobsesi untuk
menunjukkan sebaliknya dengan memamerkan apa yang mereka miliki.
Ada beberapa contoh perilaku flexing yang sering
terlihat, terutama di media sosial atau di kalangan selebriti dan influencer. Memposting foto atau video diri mereka di
samping mobil mewah atau mengemudi mobil sport, sering kali disertai caption
yang menggambarkan betapa luar biasa pencapaian tersebut.
Memamerkan rumah besar dengan desain interior yang
sangat mewah atau liburan di villa mewah, menunjukkan gaya hidup yang sangat
eksklusif. Memamerkan barang-barang bermerk tinggi seperti tas desainer, jam
tangan mahal, sepatu mewah, atau perhiasan yang harganya sangat tinggi.
Mengunggah foto liburan di tempat-tempat eksotis atau
resor bintang lima, dengan caption yang menunjukkan betapa mudahnya mereka
mengakses tempat-tempat tersebut. Foto-foto di restoran mahal atau di lokasi
wisata terkenal, sering kali disertai dengan tagar #Blessed atau #LifeGoals
untuk menekankan kemewahan perjalanan mereka.
Memposting pencapaian besar dalam karier mereka,
seperti penghargaan, kontrak besar, atau keberhasilan besar di industri mereka,
sering kali dengan kata-kata yang menunjukkan bahwa mereka "lebih
sukses" daripada orang lain.
Memamerkan tubuh yang sangat fit atau pencapaian luar
biasa dalam olahraga, sering kali disertai dengan caption yang mengundang
pujian dari orang lain tentang betapa kerasnya mereka berlatih atau seberapa
jauh mereka telah mencapai tujuan pribadi mereka.
Memposting foto atau video bersama selebriti lain atau
orang-orang berpengaruh, dengan tujuan untuk menunjukkan hubungan mereka dengan
orang-orang terkenal. Hal ini sering dilakukan untuk memperlihatkan bahwa
mereka "terhubung" dengan orang-orang elit.
Mengunggah video atau foto pertemuan atau pesta
eksklusif, di mana mereka dikelilingi oleh orang-orang dengan status sosial
tinggi, untuk memberi kesan bahwa mereka adalah bagian dari kelompok elite.
Membagikan foto rekening bank yang menunjukkan saldo
besar atau investasi besar yang telah mereka lakukan, atau mungkin menunjukkan
pembelian besar yang mereka lakukan dengan uang pribadi. Menunjukkan transaksi
keuangan seperti membeli saham, investasi properti, atau memamerkan hasil dari
bisnis mereka yang sangat menguntungkan.
Membuat video atau postingan yang menunjukkan kegiatan
sehari-hari mereka yang penuh kemewahan, seperti makan di restoran bintang
lima, menginap di hotel mewah, atau menghadiri acara-acara yang hanya dapat
diakses oleh kalangan tertentu. Menggunakan filter atau teknik edit foto untuk
membuat tampilan kehidupan mereka tampak lebih sempurna dan glamor.
Memposting tentang meraih gelar atau penghargaan
akademik tinggi, atau menceritakan kesuksesan dalam dunia pendidikan, dengan
tujuan untuk menunjukkan kecerdasan atau kesuksesan mereka. Menunjukkan
keterampilan atau karya seni mereka, misalnya dalam musik, seni, atau fashion,
dengan harapan mendapat pengakuan dan perhatian lebih.
Menunjukkan foto-foto pribadi yang sangat terawat atau
"sempurna" dari kehidupan sehari-hari, seperti rumah yang selalu
terlihat rapi dan indah, atau keluarga yang tampak bahagia dan ideal.
Seringkali, selebriti atau influencer mengunggah
foto-foto mereka yang dilengkapi dengan produk endorsement, menunjukkan bahwa
mereka menggunakan atau memiliki produk tertentu yang dianggap mewah atau
bergengsi. Mereka memamerkan kehidupan yang lebih baik, dengan menunjukkan
barang atau layanan yang mahal.
Dalam Islam, perilaku flexing masuk dalam kategori
kesombongan, terlebih jika dilakukan di tengah kehidupan rakyat yang justru
sedang susah. Segelintir pesohor yang memamerkan kekayaannya akan dikategorikan
sebagai bentuk kesombongan. Dalam Islam, sombong atau ujub (merasa bangga atau
lebih baik dari orang lain) dianggap sebagai sifat yang sangat negatif dan
dilarang.
Sifat ini bertentangan dengan nilai-nilai kerendahan
hati, keikhlasan, dan kesederhanaan yang diajarkan oleh Islam. Dalam Al-Qur'an, Allah jelas melarang
sifat sombong. Salah satunya terdapat dalam surah Luqman (31:18): "Dan
janganlah kamu memalingkan muka dari manusia karena sombong, dan janganlah berjalan
di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak suka orang-orang yang
sombong dan membanggakan diri."
Iblis, ketika diperintahkan oleh Allah untuk bersujud
kepada Nabi Adam, menolak dengan alasan merasa lebih baik karena ia tercipta
dari api, sementara Adam dari tanah. Akibat kesombongannya, Iblis diusir dari
surga. Kisah ini dapat ditemukan dalam Al-Qur'an Surah Al-A'raf (7:12): "Allah
berfirman, 'Apa yang menghalangimu untuk bersujud ketika Aku perintahkan
kepadamu?' Iblis menjawab, 'Saya lebih baik darinya. Engkau menciptakan saya
dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.'"
Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan umat Islam untuk
menghindari sifat sombong dalam banyak hadisnya. Salah satunya adalah hadis
yang diriwayatkan oleh Muslim: "Tidak akan masuk surga orang yang dalam
hatinya terdapat seberat zarrah (sebiji atom) dari kesombongan." (HR.
Muslim)
Dalam Islam, kesombongan dapat menghalangi seseorang
untuk menerima kebenaran dan berkah dari Allah. Orang yang sombong sering kali
menolak nasihat dan merasa lebih tahu atau lebih baik dari orang lain. Allah
mengingatkan dalam Al-Qur'an Surah Al-A'raf (7:146): "Aku akan berpaling
dari tanda-tanda-Ku bagi orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi tanpa
alasan yang benar."
Sebaliknya, Islam mengajarkan pentingnya kerendahan
hati atau tawadhu'. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidak ada seorang pun
yang merendahkan diri karena Allah, kecuali Allah akan meninggikannya."
(HR. Muslim)
Kekayaan atau status sosial sering kali menjadi sumber
kesombongan. Namun, Islam mengingatkan bahwa semua yang dimiliki adalah
pemberian Allah. Surah Al-Hadid (57:20) mengingatkan tentang kehidupan dunia
yang bersifat sementara dan tidak membawa kebahagiaan abadi: "Ketahuilah,
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan
dan bermegah-megah antar kamu, serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan
anak-anak."
Flexing untuk kesombongan dalam Islam merupakan sifat
yang sangat dibenci karena berhubungan langsung dengan ketidakrendahan hati
terhadap Allah dan sesama. Islam mengajarkan agar kita selalu bersyukur,
menghargai orang lain, dan tidak merasa lebih baik dari orang lain, karena
semua yang kita miliki adalah pemberian dari Allah. Sebaliknya, kerendahan hati
adalah sifat yang sangat dihargai dalam Islam, dan merupakan kunci menuju
kedamaian hati serta kebahagiaan dunia dan akhirat.
Selanjutnya, dalam Surah Al-Isra (17:16), Allah juga
memberikan peringatan bahwa suatu bangsa atau masyarakat yang condong kepada
keserakahan dan ketidakadilan bisa dihancurkan: "Dan apabila Kami hendak
membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup
mewah di dalamnya, maka mereka melakukan kerusakan di dalamnya, dan akibatnya
sudah pasti berlaku terhadapnya perkataan (azab Kami), kemudian Kami hancurkan
negeri itu sehancur-hancurnya."
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 18 Ramadhan 1446 H : 18
Maret 2025 M : 10.18