Oleh : Ahmad Sastra
Jakarta, Kompas.com - Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco
Ahmad menegaskan draf Revisi Undang-Undang (RUU) TNI yang beredar di media
sosial berbeda dari draf yang dibahas di Komisi I DPR RI. "Kami cermati
bahwa di publik, di media sosial itu beredar draft-draft yang berbeda dengan
yang dibahas di Komisi I DPR RI," kata Dasco di Kompleks Parlemen,
Jakarta, Senin (17/3/2025).
Dasco menjelaskan Komisi I DPR RI hanya membahas
revisi terhadap tiga pasal, yakni Pasal 3 ayat (2), Pasal 53, dan Pasal 47. "Ada
tiga pasal. Tiga pasal yang kemudian masuk dalam revisi Undang-Undang Tentara
Nasional Republik Indonesia," ungkap dia.
Dasco menjelaskan, Pasal 3 ayat (2) RUU TNI
menjelaskan kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi yang
berkaitan dengan aspek perencanaan strategi TNI itu berada di dalam koordinasi
Kementerian Pertahanan.
Kemudian, Pasal 53 tentang usia pensiun. Salah satunya
mengatur adanya kenaikan batas usia pensiun antara 55 tahun sampai dengan 62
tahun. "Kemudian pasal ketiga, yaitu Pasal 47, yaitu prajurit dapat
menduduki jabatan pada kementerian atau lembaga. Jadi prajurit aktif dapat
menduduki jabatan pada kementerian lembaga," ungkap dia.
Selain itu, Dasco juga menjelaskan soal rapat revisi
UU TNI di Hotel Fairmont di Jakarta. Kata dia, rapat itu seharusnya
diselenggarakan selama empat hari. Akan tetapi, demi efisiensi anggaran, rapat
RUU TNI itu dipersingkat menjadi dua hari. "Kemarin saya lihat rencananya
4 hari, disingkat menjadi 2 hari dalam rangka efisiensi," ujar Dasco.
Dasco menjelaskan, rapat RUU TNI ini memang memerlukan
waktu yang cukup. Sebab, ada sejumlah kata-kata atau pokok-pokok dalam naskah
akademik yang perlu dibahas. "Dan itu diperlukan karena mengundang
institusi lain. Dan walaupun cuma 3 pasal, tetapi pembahasannya itu memerlukan
waktu," jelasnya.
"Karena dari sisi naskah akademik, dan lain-lain,
itu perlu juga kemudiannya merumuskan kata-kata atau pokok-pokok yang tepat
dalam pembahasannya, sehingga kemudian diperlukan konsinyering," imbuh
Dasco.
Adapun ketiga pasal yang dimaksud yakni Pasal 3
terkait kebijakan dan strategi pertahanan, Pasal 53 terkait batas usia pensiun
prajurit TNI, dan Pasal 47 terkait pengaturan peran prajurit TNI di
kementerian/lembaga lain.
Pasal kontroversial dalam Revisi
UU TNI adalah Pasal 47 karena prajurit aktif dapat menduduki posisi di
badan eksekutif. Pada revisi UU TNI pasal 47 ayat 2 disebutkan, bahwa prajurit
aktif dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga lain yang membutuhkan
tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.
Menurut Pasal 47 ayat (2) UU TNI, anggota
TNI aktif hanya boleh menjabat di 10 kementerian dan lembaga sipil tanpa harus
mengundurkan diri atau pensiun. Kementerian/lembaga tersebut, antara lain:
Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara Pertahanan Negara Sekretaris
Militer Presiden Intelijen Negara Sandi Negara Lembaga Ketahanan Nasional Dewan
Pertahanan Nasional Search and Rescue (SAR) Nasional Narkotika Nasional
Mahkamah Agung (MA).
Namun, dalam rapat revisi UU TNI,
pemerintah dan DPR sepakat untuk menambah enam kementerian/lembaga yang bisa
dijabat oleh perwira TNI aktif, yaitu: Kementerian Kelautan dan Perikanan Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) Badan Keamanan Laut Kejaksaan Agung Badan Nasional Pengelola Perbatasan
(BNPP). (Kompas.com)
Diberitakan Kompas.com, Minggu,
anggota Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanuddin mengungkapkan, dalam RUU TNI tugas
prajurit akan bertambah untuk melakukan operasi non-perang. Dia menerangkan,
awalnya TNI memiliki 14 tugas operasi militer selain perang (OMSP), tetapi kini
ditambah menjadi 17.
Adapun 14 tugas tersebut, antara lain:
Mengatasi gerakan separatis bersenjata, Mengatasi pemberontakan bersenjata, Mengatasi aksi terorisme, Mengamankan wilayah perbatasan, Mengamankan obyek vital nasional yang bersifat
strategis, Melaksanakan tugas perdamaian
dunia sesuai kebijakan politik luar negeri, Mengamankan Presiden dan Wakil Presiden
beserta keluarganya, Memberdayakan
wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai sistem
pertahanan semesta, Membantu tugas
pemerintahan di daerah.
Berikutnya adalah membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat, Membantu mengamankan tamu negara setingkat
kepala negara dan perwakilan pemerintah asing di Indonesia, Membantu menanggulangi akibat bencana alam,
pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan Membantu pencarian dan pertolongan
dalam kecelakaan (search and rescue), Membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran
dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Belum disebutkan secara rinci apa saja
penambahan OMSP terbaru, tetapi Hasanuddin mengatakan, di antaranya adalah
mengatasi masalah narkoba dan terait dengan operasi siber. (Kompas.com)
Pengesahan RUU ini bertujuan
sekurangnya untuk dua hal; (1). Menciptakan kondisi politik stabil agar
pembangunan/aktivitas ekonomi berjalan mulus. Namun kondisi ini berpotensi kuat
ciptakan rezim otoritarian karena jabatan-jabatan sipil justru dipegang militer
aktif. (2). Pengesahan RUU ini juga memuluskan peluang bisnis para jenderal,
yang berpotensi melemahkan pertahanan negara, karena berbagai sebab seperti
dikuasai oligarki, rawan pemanfaatan jabatan dan sebagainya.
Tentu saja aka nada implikasi politik ketika TNI
(Tentara Nasional Indonesia) diperbolehkan untuk menjabat posisi sipil bisa
cukup signifikan, baik dalam konteks stabilitas politik, demokrasi, maupun
hubungan sipil-militer di Indonesia. Dalam Pasal 3 UU TNI yang masih
berlaku tertulis, TNI berkedudukan di bawah presiden dalam pengerahan dan
penggunaan kekuatan militer. Kemudian, TNI juga berkedudukan di bawah
koordinasi Departemen Pertahanan dalam kebijakan dan strategi pertahaan serta
dukungan administrasi. Namun, pemerintah hendak mengubah kedudukan TNI berada
di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan.
Jika anggota TNI diperbolehkan menjabat jabatan sipil,
ini bisa memperkuat pengaruh militer dalam struktur pemerintahan. Posisi sipil
yang dipegang oleh TNI, seperti di kementerian atau lembaga-lembaga negara
lainnya, bisa mempengaruhi kebijakan negara. Ini bisa berdampak pada
pengambilan keputusan yang lebih berpihak pada kepentingan militer, bahkan di
luar urusan pertahanan.
Indonesia telah berusaha untuk memperkuat sistem
demokrasi sejak reformasi 1998, dengan memisahkan peran militer dan sipil. TNI
yang menjabat jabatan sipil bisa mengarah pada penurunan kualitas demokrasi,
karena keberadaan militer yang terlalu dominan dapat mengurangi independensi
lembaga-lembaga sipil, serta menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan.
Penerimaan TNI dalam jabatan sipil dapat memperburuk
citra militerisasi, yang mana mengarah pada dominasi militer dalam kebijakan
negara. Ini bisa mengurangi ruang bagi partisipasi masyarakat sipil dalam
pengambilan keputusan dan bisa mengarah pada pengabaian terhadap
prinsip-prinsip kebebasan sipil dan hak asasi manusia.
Di satu sisi, keterlibatan TNI dalam pemerintahan bisa
menciptakan stabilitas, terutama dalam situasi yang dianggap rawan atau penuh
ketegangan politik. Pengalaman dan disiplin militer dapat membantu mengelola
situasi yang memerlukan ketegasan. Namun, di sisi lain, ini juga bisa menambah
ketegangan jika sebagian kelompok merasa bahwa militer terlalu banyak campur
tangan dalam urusan sipil, yang dapat memicu protes atau konflik politik.
Hubungan sipil-militer yang sehat adalah salah satu
pilar demokrasi yang stabil. Keterlibatan militer dalam jabatan sipil bisa
melemahkan hubungan tersebut dan membuat batas antara kontrol sipil dan kontrol
militer menjadi kabur. Ini bisa merusak independensi lembaga-lembaga negara dan
meningkatkan ketergantungan terhadap militer.
Ketika TNI menjabat posisi sipil, terutama di sektor
ekonomi atau sumber daya alam, ada kemungkinan bahwa keputusan-keputusan akan
lebih didorong oleh kepentingan keamanan dan stabilitas militer daripada
efisiensi dan kesejahteraan masyarakat. Ini bisa membawa pada kebijakan yang
kurang transparan dan kurang memperhatikan hak-hak sipil.
Keterlibatan TNI dalam pemerintahan sipil bisa berpotensi
meningkatkan perhatian pada pelanggaran HAM yang pernah terjadi selama era Orde
Baru, yang saat itu TNI memegang peran dominan dalam politik. Beberapa pihak
mungkin melihat ini sebagai regresi terhadap kemajuan HAM yang telah dicapai
sejak reformasi 1998.
Pembenaran atas TNI menjabat jabatan sipil mungkin
akan menciptakan polarisasi antara mereka yang mendukung stabilitas dan mereka
yang menilai ini sebagai ancaman terhadap demokrasi. Ini bisa memperburuk
ketegangan sosial, memperuncing perbedaan antara pihak pro-militer dan
anti-militer.
Secara keseluruhan, implikasi politik dari kebijakan
ini bisa bersifat positif atau negatif tergantung pada bagaimana
implementasinya dilakukan dan sejauh mana keberadaan TNI dalam jabatan sipil
dapat dipertanggungjawabkan dalam kerangka pemerintahan yang sehat dan
transparan.
Dalam Islam, tentara atau prajurit memiliki peran
penting baik dalam konteks sejarah maupun dalam penerapan ajaran agama. Islam
memandang penting perlunya mempertahankan kehormatan, keamanan, dan kedaulatan
umat Muslim melalui jalan yang sesuai dengan ajaran agama.
Tentara dalam Islam berperan sebagai penjaga keamanan
umat Islam dan negara. Mereka bertugas untuk melindungi umat Islam dari ancaman
luar dan dalam yang dapat merusak perdamaian dan ketertiban.
Hal ini tercermin dalam banyak ayat Al-Qur’an dan
hadis yang menekankan pentingnya menjaga keamanan dan keutuhan negara. Contohnya
adalah dalam Perang Badar dan Perang Uhud, di mana tentara Islam berperang
untuk membela diri dan melindungi komunitas Muslim yang baru terbentuk di
Madinah.
Dalam sejarah Islam, tentara juga memiliki peran untuk
membela agama Islam dari ancaman kekuatan yang menindas. Dalam konteks ini,
perang atau pertempuran dalam Islam sering kali dilakukan untuk membela
kebebasan beragama dan menegakkan prinsip keadilan.
Perang dalam Islam, yang dikenal sebagai Jihad, tidak
dimaksudkan untuk menyerang atau memperluas wilayah secara sewenang-wenang,
tetapi untuk mempertahankan diri, melawan penindasan, dan menegakkan hak-hak
dasar umat manusia.
Islam menetapkan etika yang jelas mengenai perang.
Tentara Islam diharapkan untuk berperang dengan adil dan menghindari tindakan
kejam terhadap orang-orang yang tidak terlibat dalam pertempuran, seperti
wanita, anak-anak, orang tua, dan pendeta. Ini tercantum dalam banyak hadis dan
ajaran Nabi Muhammad SAW.
Perang yang adil (Adil) dalam Islam harus dilaksanakan
dengan tujuan yang sah dan dibatasi pada hal-hal yang diperlukan untuk mencapai
tujuan tersebut, tanpa merusak lebih dari yang perlu.
Islam sangat menghargai perjuangan dan pengorbanan
tentara yang berjuang di jalan Allah, dengan imbalan yang besar, baik di dunia
maupun di akhirat. Tentara yang berperang untuk membela Islam dianggap sebagai
orang yang berjihad, dan mereka diyakini akan mendapat pahala yang besar dari
Allah. Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah menjanjikan pahala yang luar biasa
bagi para pejuang di jalan-Nya, termasuk surga sebagai tempat yang abadi.
Tentara dalam Islam tidak hanya dilatih untuk menjadi
prajurit, tetapi juga untuk memiliki moral dan etika yang tinggi. Ajaran Islam
menekankan pentingnya kedisiplinan, keberanian, dan keteguhan iman dalam
menghadapi kesulitan. Para tentara diharapkan untuk menjadi teladan dalam
kesetiaan, ketaatan kepada Allah, serta menjunjung tinggi nilai-nilai Islam,
seperti kejujuran, rasa tanggung jawab, dan sikap tolong-menolong.
Selain berperan dalam mempertahankan diri, tentara
dalam Islam juga dapat berperan dalam menjaga perdamaian dan kerukunan
antarbangsa. Islam mendorong umatnya untuk melakukan perjanjian damai dan
menghindari perang jika ada kemungkinan penyelesaian damai.
Ini tercermin dalam kebijakan Nabi Muhammad SAW yang
pernah menandatangani perjanjian damai dengan kaum Quraisy (Perjanjian
Hudaibiyah) untuk menghindari konflik yang lebih besar, meskipun pada saat itu
umat Islam dalam posisi yang lebih lemah.
Dalam konteks sejarah, tentara sering kali memiliki
peran penting dalam pemerintahan, terutama dalam mempertahankan stabilitas
politik dan menjaga keadilan. Namun, Islam juga mengingatkan bahwa kekuasaan
harus dijalankan oleh pemimpin yang adil dan bertanggung jawab. Tentara tidak
boleh bertindak sewenang-wenang atau merusak keadilan dalam pemerintahan.
Tentara memiliki kewajiban untuk membela negara yang
di bawah pemerintahan Islam. Dalam pandangan Islam, negara yang adil dan
melindungi umatnya harus dipertahankan, dan tentara memiliki peran untuk
menjaga negara tersebut tetap aman dan stabil.
Dalam Islam, ada pedoman yang jelas mengenai perlakuan
terhadap tawanan perang. Tentara Islam diperintahkan untuk memperlakukan tawanan
dengan baik, memberikan makanan dan perlindungan, dan jika memungkinkan,
menawarkan kebebasan dengan cara yang adil.
Peran tentara dalam Islam sangat luas, mencakup
perlindungan terhadap agama, kehormatan, dan negara, serta menegakkan keadilan
dan kedamaian. Islam memberikan pedoman etika yang ketat tentang bagaimana
tentara harus berperang dan bertindak, dengan penekanan pada kesucian tujuan,
penghormatan terhadap kehidupan, dan pemeliharaan perdamaian.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 17 Ramadhan 1446 H – 17 Maret
2025 M : 21.00 WIB)