Oleh : Ahmad Sastra
Fenomena Penyimpangan Seksual
Kebebasan seksual makin
marak di negeri ini, baik berupa penyimpangan seksual, maupun kekesaran
seksual. Secara sederhana, seks bebas adalah aktivitas seksual yang dilakukan
diluar pernikahan dan tanpa komitmen yang jelas. Banyak yang menganggapnya
sebagai hak pribadi. Tapi ketika sebuah pilihan menyentuh kesehatan,
psikologis, dan bahkan sosial orang lain, itu bukan lagi sekadar urusan pribadi.
Meski Indonesia dikenal sebagai bangsa religious, namun faktanya kebebasan
seksual makin menggila, ada apa ?.
Medan dihebohkan dengan peristiwa mayat
bayi yang dikirim lewat ojek online (ojol) di Kota Medan, Sumatera Utara
(Sumut), ternyata hasil hubungan sedarah atau inses. Dua pengirim mayat itu
kini ditangkap. "Sudah (ditangkap), diduga seperti itu (inses), abang-adik
itu, ini kami masih pendalaman dulu," kata Kanit PPA Satreskrim
Polrestabes Medan Iptu Dearma Sinaga saat dikonfirmasi, dilansir detikSumut,
Jumat (9/5/2025). Dearma memerinci
kedua pelaku adalah NH dan R. Keduanya diamankan hari ini. Setelah diamankan,
keduanya dibawa ke Polrestabes Medan.
Berdasarkan penelitian Isthiqonita yang
dimuat Infid tentang Kasus Inses di Indonesia terlihat bahwa kasus inses telah
lama terjadi di negeri ini. Seorang anak perempuan menjadi korban perkosaan
yang dilakukan oleh ayah kandungnya (inses) K (49) di Pati, Jawa Tengah. Korban
disetubuhi tersangka berkali-kali di hotel dan di rumah sejak Maret 2023 (saat
korban berusia 17 tahun) sampai dengan Juni 2024. Korban kemudian bercerita ke
salah satu pamannya, paman korban lalu melaporkan kejadian tersebut.
Korban tidak langsung melaporkan apa yang
dialaminya karena pelaku kerap mengancam akan membunuh korban atau menceraikan
ibu korban. Pelaku juga membawa korban untuk suntik KB sebanyak enam kali
setiap tiga bulan dengan mengelabui petugas kesehatan saat menyuntikkan KB.
Kepada petugas kesehatan, pelaku berbohong dengan mengatakan korban baru
menikah, dan suaminya di luar kota.
Kekerasan inses juga pernah terjadi
dilakukan oleh lebih dari satu pelaku. Pada Januari 2024, Polrestabes Surabaya
di Jawa Timur menetapkan empat orang anggota keluarga, yang terdiri dari ayah
kandung, kakak kandung, dan dua paman sebagai tersangka atas pencabulan
(termasuk pemerkosaan) pada korban yang kala itu berusia 13 tahun. Korban telah
mengalami kekerasan seksual selama 4 tahun terakhir, atau sejak berusia 9 tahun.
Namun, kasus itu baru terungkap setelah pihak keluarga eksternalnya (bibi
korban) melapor kepada polisi pada 5 Januari 2024.
Inses didefinisikan sebagai hubungan
seksual antara orang-orang yang memiliki hubungan darah atau hubungan
bersaudara dekat yang dianggap melanggar norma adat, hukum, dan agama. Definisi
tersebut mencakup tiga ruang lingkup; (a) parental incest, yaitu hubungan
seksual antara orang tua dan anak, misalkan ayah dengan anak perempuan, ibu
dengan anak laki-laki.
(b) sibling incest, yaitu hubungan antara
saudara kandung, dan; (c) family incest, yaitu hubungan seksual yang dilakukan
oleh kerabat dekat, yang orang-orang tersebut mempunyai kekuasaan atas anak dan
masih mempunyai hubungan sedarah. Hubungan tersebut baik garis keturunan lurus
ke bawah, ke atas maupun ke samping, misalnya paman, bibi, kakek, nenek,
keponakan, sepupu, saudara kakek-nenek.
Inses merupakan kekerasan terhadap
perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berat akibat dari relasi kuasa
yang tidak sehat. Korban kerap mengalami ketidakberdayaan karena harus
berhadapan dengan pelaku dari anggota keluarga sendiri. Orang tua, terutama
ayah, kerap diimajinasikan sebagai orang yang bertanggung jawab untuk
melindungi keluarga. Namun pada faktanya, banyak ayah yang menjadi pelaku
pemerkosaan pada anak perempuannya.
Catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) menunjukkan sebanyak 3.000 kasus kekerasan terjadi pada anak selama
periode 2023. Dari 3.000 kasus tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak
paling dominan terjadi. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2022, angka inses
mencapai 433 kasus dalam setahun dan dari data tersebut yang paling banyak
melakukan inses adalah ayah kandung.
Hubungan inses (incest) adalah hubungan
seksual atau romantis antara anggota keluarga yang memiliki hubungan darah
dekat, seperti antara orang tua dan anak, saudara kandung, atau paman/bibi
dengan keponakan. Hubungan ini sangat dilarang secara hukum, moral, sosial, dan
agama di hampir semua budaya karena dampak psikologis, sosial, dan genetik yang
serius. Inces bisa terjadi karena saling suka, namun bisa juga karena
pemaksaan. Keduanya dilarang dalam agama, khususnya Islam.
Termasuk hubungan seksual terlarang adalah
LGBT yang di Indonesia juga cukup banyak terjadi. Amerika Serikat menjadi
negara yang dengan terang-terangan mengenalkan validitas LGBT ke seluruh
penjuru dunia dengan berlandaskan pada penegakan hak asasi manusia (HAM) (Hulu
dan Suyastri, 2019).
Kasus LGBT terus meningkat tiap tahunnya
di Indonesia. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil survei yang dilakukan
oleh Kementrian kesehatan pada 2009-2013 di 13 kota di Indonesia, tercatat
bahwa laki-laki yang berhubungan dengan sesama jenis meningkat drastis
(Pranata, 2015). Beberapa lembaga survei independen dari dalam dan luar negeri
menyatakan bahwa 3% penduduk Indonesia adalah LGBT, artinya 7,5 juta dari 250
juta penduduk mengalami penyimpangan orientasi seksual atau disebut dengan
LGBT. Berdasarkan hasil survei SMRC yang dilakukan pada Maret 2016, September
dan Desember 2017 dengan responden sebanyak 1.220 orang didapatkan hasil bahwa
lebih dari sebagian penduduk Indonesia menganggap LGBT adalah suatu ancaman dan
dikategorikan sebagai bencana sosial yang dapat merusak moral remaja.
(Kholisotin & Azzakiyah, 2021).
Kembali ke kasus inces. Hubungan seks
terlarang inces ini bisa terjadi, diantaranya karena faktor lingkungan dan
sosial. Kurangnya pengawasan orang tua atau orang dewasa lainnya bisa
menyebabkan anak-anak atau remaja yang dibiarkan tanpa pengawasan dapat menjadi
lebih rentan terhadap eksploitasi.
Lingkungan keluarga yang disfungsional
juga bisa menjadi penyebab inces ini. Keluarga dengan konflik berkepanjangan,
kekerasan dalam rumah tangga, alkoholisme, atau ketidakhadiran emosional orang
tua sering menjadi tempat subur bagi inses. Kemiskinan dan keterbatasan tempat
tinggal juga sering menjadi sebab terjadinya penympangan seksual. Keterbatasan
ruang dan privasi dalam rumah juga bisa menjadi pemicu terjadinya hubungan yang
tidak pantas.
Faktor lain adalah adanya trauma atau
pengulangan pola kekerasan. Pelaku inses sering kali merupakan korban pelecehan
masa kecil. Mereka bisa saja mengulangi pola yang mereka alami sebelumnya. Dalam
beberapa kasus, jika kekerasan seksual dianggap biasa atau tidak diproses
secara hukum dan sosial, korban atau pelaku bisa mengulang siklus tersebut.
Kurangnya edukasi seksual juga bisa
menjadi penyebab penyimpangan seksual di masyarakat. Anak-anak atau remaja yang
tidak mendapatkan pendidikan seksual yang memadai mungkin tidak memahami bahwa
hubungan inses adalah salah secara hukum dan moral. Ketidaktahuan tentang
konsen (persetujuan), terutama dalam hubungan di mana salah satu pihak lebih
tua atau dominan, yang muda mungkin tidak menyadari bahwa mereka punya hak
untuk menolak.
Beberapa pelaku inses mungkin memiliki
gangguan kepribadian, psikopatologi, atau ketidakmampuan untuk memahami norma
sosial dan etika. Hubungan inses seringkali bukan tentang cinta, tapi lebih
pada kontrol, dominasi, dan kekuasaan atas korban, mirip dengan banyak kasus
kekerasan seksual lainnya.
Terlabih dalam sistem sekulerisme yang
memberikan kebebasan individu untuk tidak membuka aurat menjadikan lingkungan
sosial penuh sesak dengan rangsangan seksual. Berbagai bentuk hiburan yang
tidak edukatif juga menjadi pemicu luar biasa dalam masyarakat. Sosial media
yang tidak dikendalikan oleh pemerintah juga memberikan kontribusi besar bagi
penyimpangan dan kekerasan seksual di masyarakat.
Islam Melindungi Perempuan
Dalam kondisi seperti ini maka betapa
kecilnya perlindungan kepada perempuan, terlebih jika negara juga tidak hadir. Hanya
Islamlah ideologi yang melindungi kaum perempuan. Islamlah satu-satunya
ideologi yang memberikan kesetaraan pria dan wanita dalam keimanan dan
ketakwaan serta dalam timbangan hukum.
Allah SWT berfirman: Siapa saja yang
mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, sementara dia seorang
Mukmin, sungguh akan Kami beri dia kehidupan yang baik. Mereka pun akan Kami
beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan
(TQS an-Nahl [16]: 97).
Islam juga menjadikan iman dan takwa
sebagai dasar relasi pria dan wanita. Islam menjauhkan kaum Muslim dari
perilaku permisif, hedonis dan hanya mencari kepuasan biologis. Islam
mengajarkan bahwa pria dan wanita harus tolong-menolong dalam keimanan dan
ketakwaan.
Islam memberikan tindak preventif dan
kuratif untuk melindungi kaum perempuan. Hukum preventif Islam yang melindungi
perempuan di antaranya: Pertama, mewajibkan pria dan wanita menutup aurat dalam
kehidupan umum serta saling menjaga pandangan (QS an-Nur [24]: 30-31).
Pandangan pada aurat lawan jenis adalah haram dan bisa memicu gejolak syahwat
pada manusia.
Nabi saw. bersabda: Memandang wanita
adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Siapa saja yang
meninggalkan tindakan demikian karena takut kepada Allah, maka Allah akan
memberi dia balasan iman yang terasa manis dalam kalbunya (HR al-Hakim dalam
Al-Mustadrak).
Islam pun menetapkan bahwa pakaian wajib
kaum Muslimah saat keluar rumah adalah kerudung (khimâr) yang terulur hingga
menutupi dada (QS an-Nur [24]: 31) dan jilbab (gamis), yakni baju panjang yang
lebar dan tidak menampakkan lekukan tubuh mereka (QS al-Ahzab [33]: 59).
Kedua, Islam mengharamkan khalwat (kondisi
berduaan pria dan wanita yang bukan mahram). Khalwat sering menjadi peluang
bagi terjadinya perzinaan dan kekerasan seksual. Dalam pengobatan, misalnya,
seorang Muslimah wajib didampingi mahram-nya. Tidak boleh hanya berdua dengan
dokter pria. Nabi saw. bersabda: Ingatlah, tidaklah seorang laki-laki itu
berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan (HR
Ahmad, at-Tirmidzi dan al-Hakim).
Selain khalwat, Islam juga mengharamkan
ikhtilât (kondisi campur-baur pria dan wanita) kecuali untuk kepentingan
muamalah, pengobatan dan pendidikan. Haram pria dan wanita bercampur-baur
seperti di tempat pesta, tempat hiburan, dsb.
Ketiga, Islam mengharamkan tindakan
eksploitasi terhadap perempuan seperti kontes kecantikan, ajang foto model,
dsb. Baik secara sukarela apalagi dengan ancaman. Begitu juga haram
mempekerjakan perempuan dengan cara mengeksploitasi tubuh dan penampilan mereka
seperti dalam sistem kapitalisme.
Misalnya sebagai model iklan, pelayan
toko, frontline, sales, dsb. Kaum perempuan diperbolehkan bekerja di luar rumah
berdasarkan keterampilan mereka. Namun, mereka harus menutup aurat mereka
secara sempurna dengan memakai kerudung dan jilbab syar’i serta tidak
ber-tabarruj (berhias yang mengeksploitasi kecantikan mereka).
Selain tindak preventif, Islam juga
menyiapkan sanksi keras bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan.
Syariah Islam menjatuhkan sanksi bagi pihak yang melakukan eksploitasi terhadap
perempuan, termasuk pihak yang memproduksi konten-konten pornografi. Para
pelaku ini dijatuhkan sanksi ta’zîr yang jenis dan bobot sanksinya diserahkan
pada qâdhi (hakim). Sanksinya bisa berupa hukuman penjara, hukuman cambuk,
bahkan hukuman mati jika dinilai sudah keterlaluan oleh pengadilan.
Sanksi ta’zîr juga disiapkan untuk para
pelaku pelecehan seksual seperti cat calling, menyentuh/meraba perempuan,
mengintip, dsb. Qâdhi bisa memvonis hukuman penjara atau hukuman cambuk atas
pelakunya, bergantung pada tingkat kejahatan tersebut menurut ijtihad qâdhi.
Adapun bagi para pelaku pemerkosaan ada
sanksi yang jauh lebih berat. Jika pelakunya adalah lelaki yang belum menikah
(ghayr muhshan) maka sanksinya adalah hukuman cambuk 100 kali dan diasingkan
selama 1 tahun di tempat terpencil. Jika pelakunya kategori muhshan (sudah
pernah menikah), maka sanksi atas dirinya adalah hukum rajam hingga mati.
Demikian sebagaimana Nabi saw. pernah
menjatuhkan sanksi rajam atas pezina yang telah menikah. Sanksi ini bisa
ditambah lagi jika pelaku melakukan tindak penculikan dan penganiayaan terhadap
korban. Qâdhi bisa menjatuhkan sanksi untuk semua tindak kejahatan tersebut.
Adapun korban wajib diberi perlindungan
oleh negara. Korban wajib pula diberi perawatan fisik maupun mentalnya hingga
pulih. Bangsa ini harus sadar sesadar-sadarnya, bahwa bahwa kerusakan yang menimpa masyarakat saat
ini, khususnya kaum perempuan, adalah akibat penerapan ideologi sekulerisme, kapitalisme
dan liberalisme di negeri ini. Kebebasan perilaku dibiarkan meruyak dan kaum
perempuan terus dieksploitasi. Sementara penyampangan seksual diberikan ruang
dan dianggap sebagai hak asasi manusia. Edan !.
Terkait LGBT, Islam memandang L68T sebagai
kriminal dan harus dihukum dengan sanksi tegas. L68T disebut kriminal, karena
hukumnya haram dalam Islam. Kriminal (al jariimah) dalam Islam adalah perbuatan
melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. (Abdurrahman Al Maliki,
Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 15). Haramnya lesbianisme terdapat dalam kitab-kitab
fiqih disebut dengan istilah as-sihaaq atau al- musahaqah. Tak ada khilafiyah
di kalangan fuqaha bahwa lesbianisme hukumnya haram. Dalil keharamannya antara
lain sabda Rasulullah SAW : Lesbianisme adalah [bagaikan] zina di antara
wanita" (as-sihaq zina an-nisaa` bainahunna). (HR Thabrani, dalam
al-Mu’jam al-Kabir, 22/63).
Tidak ada jalan keluar dan perlindungan
terbaik untuk kaum perempuan kecuali dengan menerapkan sistem kehidupan Islam.
Inilah sistem terbaik. Sistem ini datang dari Allah SWT yang merupakan
satu-satunya sistem yang dapat melindungi umat manusia, khususnya kaum
perempuan. Hukum-hukum yang mulia sebagaimana dipaparkan di atas hanya bisa
diterapkan di dalam institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyah.
Apakah ada aturan lain terbaik selain Islam?.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 10/05/25 :
08.42 WIB)