Oleh : Ahmad Sastra
Budaya mundur dari jabatan (resign) di
Jepang jika seseorang terbukti bersalah—atau bahkan hanya karena terlibat dalam
skandal atau menunjukkan ketidakefektifan dalam menjalankan tugas adalah bagian
penting dari norma sosial dan etika profesional di negara tersebut.
Di Jepang, berlaku nilai yang disebut
dengan istilah 責任
atau sekinin yang artinya tanggungjawab moral. Inilah prinsip yang menjadikan
seorang pejabat mundur secara terhormat jika telah melakukan kesalahan atau
ketidakcakapan.
Di Jepang, tanggung jawab tidak hanya
bersifat hukum, tapi juga moral dan sosial. Seorang pemimpin dianggap harus
memberi contoh dan menjaga kehormatan institusi. Jika terjadi kesalahan, bahkan
jika ia tidak langsung bersalah, ia bisa memilih mundur sebagai bentuk tanggung
jawab.
Prinsip kedua di Jepang adalah menjaga
kehormatan (名誉
/ meiyo) yang menjadikan pejabat memilih mundur dari jabatan. Kehormatan sangat dijunjung tinggi dalam
budaya Jepang. Mundur dari jabatan dianggap sebagai cara menjaga harga diri dan
martabat pribadi serta lembaga.
Berikutnya adalah budaya malu (恥 / haji)
yang menjadikan pejabat Jepang mundur. Rasa malu akibat kegagalan atau
keterlibatan dalam skandal sangat besar dalam masyarakat Jepang. Mundur menjadi
cara untuk mengurangi malu tersebut dan meredakan tekanan publik.
Di Jepang, pengunduran diri juga berfungsi
sebagai simbol permintaan maaf kepada publik, serta preseden moral bagi bawahan
dan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab adalah prinsip yang
dijunjung tinggi.
Beberapa contoh nyata mundurnya pejabat di
Jepang: (1) Menteri Transportasi Jepang mundur setelah kecelakaan kereta,
meskipun bukan kesalahannya langsung. Perusahaan besar seperti Toyota atau
Olympus, dimana CEO mereka pernah mundur akibat skandal atau kegagalan
manajemen.
Budaya ini kontras dengan banyak negara
lain, di mana pejabat kadang tetap bertahan meski terlibat dalam skandal
serius. Banyak pemimpin enggan mundur karena gengsi, rasa tak ingin kalah, dan
ketakutan kehilangan kekuasaan. Kekuasaan bisa menjadi candu, maka meninggalkannya
terasa seperti kegagalan pribadi.
Selain Jepang, ada beberapa negara lain
yang juga memiliki budaya mundur dari jabatan sebagai bentuk tanggung jawab
moral, politik, atau sosial, meskipun tingkat penerapannya berbeda-beda. Pertama,
Korea Selatan. Budaya tanggung jawab cukup kuat, mirip dengan Jepang.
Pejabat publik, termasuk presiden dan
menteri, sering mengundurkan diri setelah skandal atau kegagalan kebijakan. Setelah
tragedi ferry Sewol tahun 2014, Perdana Menteri Chung Hong-won mengundurkan
diri karena dinilai gagal menangani bencana dengan baik.
Kedua, Jerman. Pejabat tinggi di Jerman
sering mengundurkan diri jika terlibat dalam kontroversi atau skandal, bahkan
yang sifatnya akademik. Menteri Pertahanan Karl-Theodor zu Guttenberg mundur
karena kasus plagiarisme disertasi doktoralnya.
Ketiga, Inggris (UK). Budaya politik di
Inggris menjunjung akuntabilitas. Menteri dan anggota parlemen bisa
mengundurkan diri karena pelanggaran etika, skandal politik, atau kegagalan
kebijakan. David Cameron mundur dari jabatan perdana menteri setelah hasil
referendum Brexit tidak sesuai harapannya.
Keempat, Selandia Baru & Skandinavia
(Norwegia, Swedia, Denmark). Negara-negara ini punya sistem pemerintahan yang
sangat transparan dan akuntabel. Pejabat publik sering mundur atas kesalahan
pribadi atau profesional, karena integritas publik sangat dijaga.
Kelima, Singapura. Meskipun jarang terjadi
karena sistem pemerintahan yang sangat disiplin, etika jabatan di Singapura
sangat tinggi. Pejabat dapat mengundurkan diri atau diberhentikan jika terlibat
dalam kesalahan serius.
Sebaliknya, di beberapa negara lain,
budaya mundur bisa sangat lemah, bahkan saat terjadi pelanggaran berat, karena
faktor seperti korupsi sistemik, lemahnya penegakan hukum, atau rendahnya
tekanan publik.
Dalam sistem pemerintahan Islam klasik,
khalifah adalah pemimpin tertinggi umat Islam yang bertanggung jawab atas
urusan agama dan dunia. Meski jabatan khalifah sangat dihormati, dalam sejarah
dan teori politik Islam, seorang khalifah bisa diberhentikan (dipecat) jika
tidak memenuhi syarat-syarat kepemimpinan yang telah ditentukan oleh syariat.
Ada beberapa faktor utama yang bisa
menyebabkan pemberhentian seorang khalifah menurut pandangan para ulama dan
tradisi fiqh (hukum Islam). Pertama, kehilangan
syarat kepemimpinan (Al-Ahliyah). Khalifah harus memiliki sejumlah syarat,
seperti: muslim, laki-laki, berakal, baligh, adil, kemampuan memimpin. Jika
salah satu syarat ini hilang, misalnya, ia menjadi gila, murtad (keluar dari
Islam), atau kehilangan keadilan karena dosa besar terus-menerus, maka ia dapat
diberhentikan.
Kedua, kezaliman atau kebijakan yang
menyimpang dari syariat. Jika khalifah menjadi zalim, korup, atau memerintah
dengan cara yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah, maka para ulama
memperbolehkan, bahkan mewajibkan, pemberhentiannya. Imam Al-Mawardi (ulama
politik Islam klasik) menyatakan bahwa khalifah harus diberhentikan jika
menyimpang dari prinsip keadilan atau tidak lagi mampu menjalankan tugasnya
secara syar’I secara totalitas.
Ketiga, kehilangan kemampuan (Al-‘Ajz). Jika
khalifah secara fisik atau mental tidak mampu lagi menjalankan tugasnya, misalnya
karena sakit berat, kehilangan akal, atau tua renta hingga tak bisa mengambil
keputusan penting, ia bisa diganti.
Keempat, pengkhianatan terhadap umat atau
negara. Jika seorang khalifah berkhianat, bekerja sama dengan musuh, atau
membahayakan umat Islam, maka pemberhentian menjadi suatu keharusan untuk
melindungi kemaslahatan umum.
Kelima, Kematian. Tentu saja, khalifah
otomatis berhenti dari jabatan setelah wafat, dan ini akan memicu proses
pemilihan khalifah baru oleh ahlul halli wal ‘aqd (majlis orang-orang ahli dan
berwenang dalam umat).
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 10/05/25 :
05.26 WIB)