Oleh : Ahmad Sastra
Perfect legacy atau warisan yang sempurna
dari seorang pemimpin kepada generasi penerus bukan hanya berupa materi atau
prestasi, tetapi lebih kepada nilai-nilai, prinsip, dan fondasi yang kokoh
untuk diteruskan. Pemimpin itu sosok yang mewariskan kebajikan bagi
rakyatnya, bukan malah meninggalkan
sejarah kelam yang akan dikenang rakyatnya sebagai keburukan.
Seorang pemimpin yang jujur, adil, dan
berpegang pada prinsip moral tinggi akan meninggalkan teladan yang kuat.
Generasi penerus akan meniru bagaimana keputusan diambil dengan hati nurani,
bukan hanya kepentingan sesaat. Pemimpin besar itu bukan lahir dari pragmatisme
transaksional jangka pendek. Pemimpin yang baik itu bukan pemburu kemewahan,
ketenaran, apalagi sekedar untuk membesarkan perutnya.
Pemimpin hebat tidak hanya menyelesaikan
masalah saat ini, tapi juga menyiapkan masa depan. Ia membangun sistem, budaya
organisasi, atau kebijakan berkelanjutan yang bisa dimanfaatkan oleh
penerusnya. Pemimpin yang pragmatis justru akan merusak bangsanya dalam panjang.
Legacy kepemimpinan terbaik datang dari
pemimpin yang memprioritaskan pelayanan kepada rakyat, bawahan, atau timnya.
Sikap rendah hati, mendengarkan, dan memberdayakan adalah warisan tak ternilai.
Pemimpin itu mendengar suara rakyatnya, bukan banyak omong. Apalagi omong
kosong.
Seorang pemimpin sejati akan memastikan
bahwa generasi berikutnya lebih siap dan cakap darinya. Ia akan fokus pada
transfer ilmu, pelatihan, mentoring, dan membuka ruang bagi kepemimpinan muda. Pemimpin
bukan orang yang rakus dan serakah yang justru mematikan generasi penerusnya
demi ambisi keserakahannya.
Warisan paling berdampak adalah kondisi
sosial, ekonomi, atau politik yang stabil. Pemimpin yang mencegah konflik,
menjaga harmoni, dan memperkuat institusi akan dikenang sepanjang masa. Cara
pemimpin menghadapi masa sulit (krisis ekonomi, pandemi, konflik) akan menjadi
bahan belajar utama bagi generasi penerus: apakah mereka bisa tenang, adil, dan
tegas di tengah tekanan.
Pemimpin yang baik lahir dari sistem
pendidikan yang baik. Kampus yang baik adalah kampus yang melahirkan pemimpin
yang baik. Warisan sempurna dari institusi pendidikan kepada generasi muda
bukan hanya ijazah atau prestasi akademik, melainkan pondasi karakter,
kecakapan hidup, dan nilai-nilai luhur yang membentuk masa depan mereka dan
masyarakat.
Pendidikan yang sukses bukan hanya
mencerdaskan, tapi juga membentuk pribadi yang jujur, bertanggung jawab, disiplin,
dan peduli terhadap sesama. Ini adalah warisan moral yang tahan waktu. Institusi
terbaik meninggalkan semangat "never stop learning" generasi muda
tidak hanya diajari untuk lulus ujian, tapi untuk terus bertanya, meneliti, dan
berkembang seumur hidup.
Warisan nyata adalah ketika siswa dibekali
dengan kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi, kreativitas, serta
literasi digital dan kewirausahaan, bukan hanya sekedar hafalan. Lembaga
pendidikan seharusnya tidak mencetak pengikut, tapi pemimpin. Generasi muda
perlu dilatih untuk berpikir mandiri, berani berbeda pendapat secara
konstruktif, dan bertanggung jawab atas pilihan mereka.
Legacy penting adalah kesadaran bahwa ilmu
bukan untuk diri sendiri, tapi untuk kemajuan masyarakat. Pendidikan ideal
menanamkan nilai kontribusi, empati, dan keadilan sosial.
Jika pemimpin dan institusi pendidikan
(kampus) berbohong, dampaknya sangat merusak dan bisa berlangsung lama, baik
bagi individu maupun masyarakat luas. Kebohongan langsung merusak kredibilitas.
Mahasiswa, dosen, orang tua, dan masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada
kampus dan pemimpinnya. Tanpa kepercayaan, kepemimpinan tidak akan efektif.
Ketika kampus atau pemimpin berbohong,
mereka memberi contoh buruk. Mahasiswa bisa belajar bahwa manipulasi, pencitraan
palsu, atau kepalsuan adalah hal yang "normal" dan
"diterima" dalam hidup. Kampus yang ketahuan berbohong—baik soal
akreditasi, data, plagiat, atau kasus internal—akan kehilangan reputasi di mata
publik, calon mahasiswa, dan mitra kerja. Ini bisa berdampak pada jumlah
pendaftar, pendanaan, bahkan akreditasi.
Kepemimpinan yang berbohong cenderung
menyembunyikan hal-hal lain juga. Ini menciptakan budaya kampus yang penuh
sensor, ketakutan, dan tekanan, bukan ruang akademik yang bebas dan jujur. Kampus
harus jadi pusat pencarian kebenaran. Bila kebohongan menjadi bagian dari
sistem, riset bisa dimanipulasi, data dipalsukan, dan integritas akademik
runtuh.
Jika kampus memalsukan data akreditasi
atau menjanjikan hal yang tidak benar (seperti kerja langsung setelah lulus),
mahasiswa bisa kehilangan arah, uang, dan kepercayaan diri. Masa depan mereka
bisa terganggu. Kebohongan dalam dunia pendidikan bukan hanya kesalahan moral,
tapi pengkhianatan terhadap misi utama pendidikan itu sendiri: membentuk
manusia yang jujur, cerdas, dan beradab.
Dalam pandangan Islam adalah hadits yang
menyatakan : Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Setidaknya ada empat sifat pemimpin dalam
Islam, pertama shiddiq (الصِّدْق) artinya jujur atau benar. Nabi Muhammad
SAW selalu berkata dan bertindak dengan kejujuran. Tidak pernah berbohong,
bahkan sebelum menjadi rasul.
Kedua, amanah (الأَمَانَة)
artinya dapat dipercaya. Beliau selalu memegang janji dan menjaga titipan,
sehingga dijuluki "Al-Amin" (yang terpercaya) oleh masyarakat Makkah.
Ketiga, tabligh (التَّبْلِيغ) artinya menyampaikan. Nabi menyampaikan
seluruh wahyu dan ajaran Allah tanpa menyembunyikan apa pun, walaupun
mengandung risiko penolakan dan bahaya. Keempat, fathonah (الفَطَانَة)
artinya cerdas atau bijaksana. Nabi dikenal sangat cerdas dalam berdakwah,
menyelesaikan masalah, dan memimpin umat.
Pemimpin wajib bersikap adil kepada semua
rakyat tanpa memandang status, suku, atau agama. QS An-Nisa: 58: “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan
apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya
dengan adil.” Adil merujuk kepada hukum-hukum Allah Yang Maha Adil.
Pemimpin bertanggung jawab menjaga
keselamatan jiwa, harta, dan kehormatan rakyatnya dari segala bentuk ancaman.
Rasulullah SAW bersabda: "Imam (pemimpin) adalah laksana perisai, di mana
orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Pemimpin dalam Islam berkewajiban untuk memenuhi
kebutuhan dasar rakyat, seperti makanan, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
Umar bin Khattab pernah berkata: "Jika seekor keledai mati karena
kelaparan di jalanan Irak, aku takut akan dimintai pertanggungjawaban di
hadapan Allah."
Pemimpin dalam Islam wajib menjadi teladan.
Pemimpin harus menunjukkan contoh perilaku Islami: jujur, adil, sabar, dan taat
kepada Allah. Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam kepemimpinan,
sebagaimana disebut dalam QS Al-Ahzab: 21: “Sungguh, telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu...”
Pemimpin juga harus mendengar dan melayani
aspirasi rakyat. Dalam Islam, kepemimpinan bukan untuk disembah atau ditakuti,
melainkan untuk melayani. Nabi SAW sangat terbuka terhadap masukan dari para
sahabatnya dan tidak segan mendengarkan pendapat rakyat.
Pemimpin dalam Islam juga wajib menjaga
agama dan mendorong ketaatan kepada Allah. Pemimpin bertugas menegakkan syariat
dan nilai-nilai Islam dalam masyarakat dengan cara yang bijaksana dan bertahap.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 08/05/25 :
20.27 WIB)