Oleh
: Ahmad Sastra
Tentang Wacana Tradisi dan Modernitas
Sistem pendidikan, “it
is the breeding ground of the disease”; di
sekolah dan universitas, generasi muda Islam diasingkan dari agama,
warisan dan gaya hidupnya. (Al Faruqi : 5).
Navigasi antara tradisi dan masa depan
dalam pendidikan Islam adalah tantangan sekaligus peluang untuk menjaga
relevansi dan keberlanjutan warisan keilmuan Islam di era modern. Pendidikan
Islam memiliki akar kuat dalam tradisi keilmuan klasik yang telah terbentuk
selama berabad-abad, namun juga harus merespons perkembangan zaman, teknologi,
dan kebutuhan masyarakat kontemporer.
Setidaknya ada tiga narasi utama dalam hal
navigasi tradisi dan masa depan pendidikan Islam ini. Pertama, transformasi. Proyek pemikiran Islam
kontemporer, yaitu pembacaan (analisis, diagnosis) secara radikal (dari
akarnya) terhadap bangunan epistemologi keilmuan dan bangunan nalar tradisi,
budaya dan peradaban, dengan mengambil yang otentik dan struktur terdalam ,
sehingga bisa ditransformasikan ke masa kini.
Kedua, paradigma. Karakteristik pemikiran Islam
kontemporer, terkait sikap terhadap tradisi (turâts) di satu sisi dan sikap
terhadap modernitas (hadâtsah) di sisi yang lain. Ketiga, metodologis. Model pembacaan kontemporer dengan menunjukkan perangkat-perangkat
metodologis kerja ilmiah.
Setiap orang kelihatannya sedang
berbicara tentang pembaharuan, kritik, dan alternatif, lalu berpendapat bahwa
sesuatu mesti dilakukan untuk mendobrak situasi yang ada sekarang.
Masing-masing mencoba untuk memberikan analisis dan interpretasi epistemologis atas krisis yang terjadi, dalam hal ini para tokoh pendidikan kontemporer
Abdullah al-‘Arwi melakukan
kritik terhadap Akal Arab dan membongkar basis ideologinya. Dia mengkritisi
pola pikir yang dikembangkan tokoh pembaharu Muslim, Muhammad ‘Abduh. Meski
tokoh ini telah berusaha untuk merestorasi dan merekonstruksi akal dalam usaha
pembaharuannya, namun akal tersebut masih berpijak pada akal teologis abad
pertengahan
Hasan Hanafi, Tayib Tizini,
Mahmud Amin, Abdullah Laroui mengkritik struktur masyarakat Arab dan pola pikirnya . Intinya para pemikir ini
merasa perlu untuk menilai kembali tradisi keilmuan Islam yang telah kita
warisi dari generasai Muslim abad pertegahan sebagai usaha untuk merespon
tantangan zaman dan menjawab persoalan yang sedang terjadi.
Ada yang mengembangkan aspek
metodologi, sementara yang lain mengembangan aspek epistemologi. Umumnya, pada
aspek metodologi berkembang dua trend pemikiran, yaitu ada yang menjadikan usul
fiqh sebagai lahan pembaharuan, sementara yang lain memfokuskan diri pada
pembaharuan metodologi tafsir.
Meskipun berangkat dari sudut
pandang yang berbeda, pada prinsipnya mereka mempunyai pandangan yang sama
yaitu metodologi usul fiqh dan tafsir al-Qur’an klasik sudah tidak sanggup
menjawab tantangan zaman. Metode qiyas, dan tafsir yang dikatakan berputar-putar
sekitar teks tanpa melihat setting sosial, kultur dan politik yang sedang
berkembang hanya akan menjadikan ajaran Islam tersebut kaku dan sebagai
akibatnya akan gagal merespon kebutuhan umat.
Setidaknya ada empat mazhab pemikiran Islam
kontemporer. Pertama, menawarkan wacana transformatif,
yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya,
karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh :
berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud. Kedua, menawarkan wacana reformatif, yang menginginkan sikap
akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini dihidupinya. Tokoh :
Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri.
Ketiga, idealis-totalistik,
yang menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran
salaf dengan slogan kembali kepada al-Quran dan hadis. Tokoh : Muhammad
Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb. Kempat, menawarkan Islam ideologis sebagai solusi komprehensif atas krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh
hegemoni ideologi kufur. Tokoh : Hassan
al Banna dan Taqiuddin an Nabhani , Sayyid Quthb.
Ada juga tiga sayap pemikiran. Pertama, sayap ekletis (al qirâ’ah al-intiqiyah) : mencoba menghubungkan
antara orisinalitas dan modernitas dalam membangun teori tradisi. Prinsip yang
dipakai adalah membuang unsur-unsur yang negatif dalam tradisi dan mengambil
sisi positif tradisi untuk memecahkan persoalan kekinian. Tokoh : Fahmi Jad’an dan Zaky Naqueb Mahmud.
Kedua, sayap revolusioner (al qira’ah al atsauriyah) : revolusi
dan liberasi pemikiran keagamaan yang telah berlangsung berabad-abad lamanya
dan merekonstruksi pemikiran klasik dengan memasukkan nilai-nilai humanistik
dalam kajian keagamaan. Tokoh : Hassan Hanafi.
Ketiga, sayap dekonstruktif (al-qirâ’ah
al-tafkikiyah) : bongkar pasang tradisi secara komprehensif, sehingga
menimbulkan kontroversial. Bahkan untuk mendekonstruksi wacana agama, mereka
menggunakan pemikiran-pemikiran modern dan metodologinya dari kalangan
post-modernis, post-strukturalis, hermeneutika, dan analisis semantik atau
semiotika. Tokohnya : M. Abed Al-Jabiri, M. Arkoun, Abu Zayd, Aliya Harb, M.
Shahrur.
Dinamika pemikiran Islam
menunjukkan trend yang sama sekali baru. Perkembangan ini ditandai dengan
lahirnya karya-karya akademis dan intelektual sebagai pembacaan ulang terhadap
warisan budaya dan intelektual Islam. Problem utama
pemikiran Islam Kontemporer umumnya terkait sikap terhadap tradisi (turâts) di
satu sisi dan sikap terhadap modernitas (h}adâtsah) di sisi yang lain.
Pemikiran tradisional menyikapi
modernitas dengan apriori demi konservasi sedangkan pemikiran modern menyikapi
tradisi sebagai sesuatu yang mesti dihilangkan demi kemajuan. Pemikiran Islam Kontemporer terlibat pembacaan kritis
terhadap tradisi dan modernitas sebelum akhirnya mempertemukan keduanya, dalam
kerangka menjawab tantangan kontemporer.
Pemikiran Islam kontemporer
melihat bahwa tradisi adalah prestasi sejarah, sementara modernitas adalah
realitas sejarah, maka tidak bisa menekan tradisi apalagi menafikannya hanya
demi pembaharuan; rasionalisasi atau modernisasi sebagaimana perspektif
modernis selama ini.
Bisakah menolak realitas yang
lahir dari rahim modernitas, terutama perkembangan sains dan teknologi. Karena
sekalipun banyak mengandung kelemahan, karenanya juga dikritik, tetap banyak
memberikan penjelasan atas problem kehidupan, keilmuan, mungkin juga
keberagamaan. Apakah tradisi (Islam)
harus dilihat dengan kacamata modernitas ataukah modernitas harus
dilihat dengan kacamata tradisi atau bisakah keduanya dipadukan ?.
Tradisi tidak hanya dibaca secara harfiah tetapi sampai pada
basis pembentuknya untuk menemukan makna potensial sehingga bisa ditransformasikan
di zaman kini. Modernitas dibaca secara kritis,
dengan kritik, dengan mengambil jarak, juga untuk membongkar basis filosofis
dan ideologisnya, mampu membedakan antara nilai dan sains (hadharah
dan madaniyah).
Pendidikan Islam memiliki warisan
intelektual yang kaya, seperti: kitab-kitab turats (klasik) dari ulama
terdahulu, metode halaqah dan sorogan dalam pembelajaran. Serta pesantren dan
madrasah sebagai institusi pendidikan tradisional. Melestarikan tradisi bukan
berarti menolak perubahan, melainkan menjaga nilai-nilai inti seperti akhlak,
adab, sanad keilmuan, dan spiritualitas.
Kurikulum pendidikan Islam perlu mengalami
reformulasi agar mampu menjawab tantangan zaman. Hal ini bisa dengan beberapa
langkah strategik (1) Integrasi antara ilmu agama dan sains modern. (2) Penekanan
pada pendidikan karakter, etika digital, dan literasi teknologi. (3) Penggunaan
media pembelajaran digital tanpa kehilangan esensi ruh pendidikan Islam.
Pendidikan Islam perlu memanfaatkan
platform online, e-learning, dan AI untuk memperluas jangkauan dakwah dan
pembelajaran. Contoh: aplikasi tafsir digital, pengajian daring, dan
kelas-kelas virtual kitab kuning.
Guru dan ulama adalah penjaga tradisi yang
perlu diberdayakan sebagai agen perubahan. Diperlukan pelatihan agar mereka
mampu mengadaptasi metode dan media baru tanpa meninggalkan jati diri keilmuan.
Pendidikan Islam perlu menjalin kerjasama antar-negara, antar-lembaga, dan
komunitas muslim global untuk pertukaran gagasan dan sumber daya.
Navigasi antara tradisi dan masa depan
bukan berarti memilih salah satu, tetapi menjembatani keduanya. Pendidikan
Islam yang ideal adalah yang berakar kuat pada tradisi dan terbuka terhadap
inovasi, agar mampu membentuk generasi Muslim yang beriman, berilmu, dan
relevan dalam konteks zaman.
Membaca Sejarah Peradaban Emas Islam
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS Al ‘Alaq : 1-5).
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Mujadilah : 11)
Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran (QS Az Zumar : 9).
Kekayaan karya tulis (budaya literasi) adalah salah
satu karakter majunya peradaban Islam
masa lalu oleh para ilmuwan muslim. Para Khalifah Islam membangun banyak
perpustakaan, pada abad ke 10 di Andalusia terdapat 20 Perpustakaan umum. Salah satunya bernama
Cordova yang mengoleksi 400 ribu judul buku. Perpustakaan umum Tripoli di Syam
yang dibakar oleh pasukan salib Eropa mengoleksi 3 juta judul buku, termasuk 50
ribu eksemplar al Qur’an dan tafsirnya.
Di Andalusi pernah terdapat perpustakaan Al Hakim yang
menyimpan buku-bukunya di 40 ruangan dan setiap ruangan terdapat koleksi 18
ribu buku. (720 ribu judul buku). Masa kekhalifahan ‘Abbasiyah tersebar luas
perpustakaan seperti di Baghdad, Ram Hurmuz, Rayy (Raghes), Mery (daerah Khurasan),
Bukhara dan Ghazni. Dalam catatan Chatolique Encyclopedia, perpusatakaan Gereja
Canterbury abad 14 hanya memiliki koleksi buku 1800 judul.
Rata-rata tingkat kemampuan literasi dunia Islam di
abad pertengahan lebih tinggi dari pada byzantium dan eropa. Karya tulis
ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini. (Jonathan Bloom dan Sheila
Blair, Islam – A Thousand Years of Faith And Power, Yale University Press,
London, 2002,p.105)
Van Bruinessen menyatakan bahwa seorang sufi bernama
Hamzan Fansuri dianggap sebagai pelopor literasi Islam Melayu Muslim, juga pembawa
gagasan Ibnu Arabi ke dalam wacana Islam pribumi terkait (Carool Kersten,
Mengislamkan Indonesia, Sejarah Peradaban
Islam di Nusantara, 2018, hal.47)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir
diceritakan bahwa ketika turun ayat tentang Ulil Albab (QS Ali Imran : 190 - 191) yang artinya," sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda kebesaran Allah bagi
orang-orang yang berkal yaitu
orang-orang yang mengingat Allah sambi berdiri, duduk dan dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata,' ya
Tuhan, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha suci Engkau,
lindungilah kami dari azab neraka", maka Rasulullah menangis hingga
air matanya membasahi janggut dan menetes ke bumi. Lantas sahabat Bilal
bertanya, wahai Rasulullah kenapa Engkau menangis, bukankah Engkau adalah orang
yang telah diampuni dosanya oleh Allah dari dosa-dosa terdahulu hingga yang
akan datang". Rasulullah menjawab," Wahai Bilal, bukankah aku
belum menjadi hamba yang bersyukur
?. aku menangis karena baru saja
mendapatkan wahyu tentang Ulil Albab,
maka celakalah bagi orang-orang yang membaca ayat ini lalu tidak
bertafakur dan merenungkannya".
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
05/05/25 : 20.28 WIB)