Oleh : Ahmad Sastra
Hukum Vasektomi
Para ulama telah bersepakat bahwa vasektomi dan
tubektomi bila bukan karena alasan medis yang mengancam jiwa adalah haram.
Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1979 telah mengeluarkan fatwa keharaman
vasektomi. (i) pemandulan dilarang oleh agama; (ii) vasektomi/tubektomi adalah
salah satu bentuk pemandulan; dan (iii) di Indonesia belum dapat dibuktikan
bahwa vasectomi/tubektomi dapat disambung kembali.
Ulama lain dari mancanegara juga berpendapat sama.
Profesor Dr Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Fiqih Islam wa ’Adilatuhu juga
menjelaskan keharaman tersebut. Ia mengatakan: ”Para ulama telah menyatakan
bahwa penggunaan metode yang sepenuhnya menghentikan kemampuan reproduksi
adalah haram, karena dianggap seperti tindakan mengubur anak perempuan
hidup-hidup (wa’d).
Namun, hal ini diperbolehkan jika ada kebutuhan
mendesak, seperti mencegah penularan penyakit berbahaya secara genetik kepada
anak-anak dan cucu-cucu. Dalam situasi seperti ini, mencegah kerugian lebih
diutamakan daripada mencari manfaat, dan tindakan yang paling ringan dari dua
kerugian dapat dilakukan. Tidak ada larangan untuk membuat wanita yang terkena
penyakit tersebut menjadi mandul.” (Fiqih Islam wa ’Adilatuhu, 3/558)
Sementara itu ulama asal Saudi, Abdul Aziz bin Baz
ketika ditanya; apa hukumnya bila suami istri bersepakat untuk tidak lagi
memiliki anak? Beliau menjawab: ”Tidak diperbolehkan bagi keduanya (suami dan
istri) selama wanita masih mampu untuk memiliki anak. Hal ini karena syariat
menghendaki manusia untuk peduli terhadap anak-anak dan memperbanyak umat.
Rasulullah ﷺ
bersabda: “Menikahlah dengan wanita yang penyayang dan subur, karena aku akan
berbangga dengan jumlah kalian yang banyak di hadapan umat-umat lain pada hari
kiamat.” (HR. Ahmad). Dalam riwayat lain: “di hadapan para nabi pada hari
kiamat.”
Selain itu, memperbanyak umat juga berarti
memperbanyak orang-orang yang beribadah kepada Allah dari kalangan kaum
Muslimin. Hal ini juga bertujuan untuk memperkuat umat Islam sehingga mereka
menjadi lebih kuat dalam menghadapi musuh-musuhnya. Oleh karena itu, seorang
pria tidak diperbolehkan untuk meninggalkan keturunan hanya karena takut
terhadap beban finansial atau kesulitan nafkah, atau hanya demi menikmati
hubungan dengan istrinya tanpa memikirkan keturunan. Wanita pun tidak
diperkenankan untuk melakukan hal yang sama.” (dari situs binbaz.org.sa laman: حكم اتفاق الزوجين على إيقاف الإنجاب)
Penyebab Kemiskinan Struktural
Kemiskinan struktural merujuk pada kondisi kemiskinan
yang dihasilkan oleh ketidaksetaraan dalam struktur sosial, ekonomi, dan
politik suatu negara. Ini bukanlah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor
individu atau peristiwa sementara, melainkan karena sistem dan kebijakan yang
ada yang secara terus-menerus menjaga ketidaksetaraan dan membatasi peluang
bagi sebagian besar masyarakat untuk berkembang.
Menurut Selo Soemardjan (1980), kemiskinan struktural
adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur
sosial masyarakt itu sehingga mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber
pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka.
Bank Dunia atau World Bank masih mengkategorikan
mayoritas masyarakat Indonesia sebagai penduduk miskin, dengan porsi sebesar
60,3% dari jumlah penduduk pada 2024 sebesar 285,1 juta jiwa.
Persentase penduduk miskin yang setara 171,91 juta
jiwa itu didasari dari acuan garis kemiskinan untuk kategori negara dengan
pendapatan menengah ke atas (upper middle income country) sebesar US$ 6,85 per
kapita per hari atau setara pengeluaran Rp 115.080 per orang per hari (kurs Rp
16.800/US$).
Bank Dunia juga memberikan ukuran tingkat kemiskinan
Indonesia bila mendasari acuan garis kemiskinan dalam bentuk Purchasing Power
Parity (PPP) kategori international poverty rate yang sebesar US$ 2,15 per
kapita per hari, dan lower middle income poverty rate US$ 3,65 per kapita per
hari.
Jika mengacu pada international poverty rate yang
sebesar US$ 2,15 per kapita per hari, maka persentase penduduk miskin di
Indonesia pada 2024 menjadi hanya 1,3% atau setara 3,7 juta orang saja.
Sedangkan dengan ukuran garis kemiskinan untuk kategori lower middle income
poverty rate sebesar US$ 3,65 per kapita per hari sebesar 44,47 juta orang atau
setara 15,6%.
Penting dicatat, Bank Dunia mengkategorikan Indonesia
sebagai negara berpendapatan menengah ke atas pada 2023, setelah mencapai gross
national income atau GNI (pendapatan nasional bruto sebesar US$ 4.580 per
kapita.
Dengan demikian, ukuran garis kemiskinan yang pantas
digunakan untuk Indonesia mengacu pada pengeluaran US$ 6,85 per kapita per hari
atau setara pengeluaran Rp 115.080 per orang per hari, sehingga jumlah penduduk
miskinnya setara 60,3% dari total penduduk.
Dibanding negara tetangga, jumlah kemiskinan di
Indonesia pada 2024 itu peringkat kedua setelah Laos yang sebesar 68,5%.
Sedangkan di Malaysia lebih tinggi karena negara itu hanya 1,3% tingkat
kemiskinannya, Thailand pun hanya 7,1%, Vietnam 18,2% dan Filipina 50,6%.
Sementara menurut BPS yang dirilis pada 15 Januari
2025 , Persentase penduduk miskin pada September 2024 sebesar 8,57 persen,
menurun 0,46 persen poin terhadap Maret 2024 dan menurun 0,79 persen poin
terhadap Maret 2023.
Jumlah penduduk miskin pada September 2024 sebesar
24,06 juta orang, menurun 1,16 juta orang terhadap Maret 2024 dan menurun 1,84
juta orang terhadap Maret 2023.
Persentase penduduk miskin perkotaan pada September
2024 sebesar 6,66 persen, menurun dibandingkan Maret 2024 yang sebesar 7,09
persen. Sementara itu, persentase penduduk miskin perdesaan pada September 2024
sebesar 11,34 persen, menurun dibandingkan Maret 2024 yang sebesar 11,79 persen.
Dibanding Maret 2024, jumlah penduduk miskin September
2024 perkotaan menurun sebanyak 0,59 juta orang (dari 11,64 juta orang pada
Maret 2024 menjadi 11,05 juta orang pada September 2024). Sementara itu, pada
periode yang sama, jumlah penduduk miskin perdesaan menurun sebanyak 0,57 juta
orang (dari 13,58 juta orang pada Maret 2024 menjadi 13,01 juta orang pada
September 2024).
Garis Kemiskinan pada September 2024 tercatat sebesar
Rp595.242,00/kapita/ bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar
Rp443.433,00 (74,50 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar
Rp151.809,00 (25,50 persen).
Pada September 2024, rata-rata rumah tangga miskin di
Indonesia memiliki 4,71 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya
Garis Kemiskinan per rumah tangga secara rata-rata adalah sebesar
Rp2.803.590,00/rumah tangga miskin/bulan.
Kemiskinan struktural secara teoritis bisa disebabkan
oleh berbagai faktor. Pertama, minimnya akses pendidikan. Pendidikan
adalah faktor utama dalam meningkatkan kesejahteraan dan mobilitas sosial.
Ketika akses terhadap pendidikan berkualitas terbatas, terutama untuk kelompok
miskin, ini menghalangi mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau
mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk berkompetisi dalam pasar
kerja. Ketidaksetaraan pendidikan memperburuk kemiskinan, karena generasi
berikutnya juga menghadapi tantangan yang sama.
Kedua, struktur ekonomi yang tidak merata.
Banyak negara memiliki ekonomi yang terstruktur untuk menguntungkan segelintir
kelompok atau individu, sementara mayoritas rakyat tetap miskin. Sektor-sektor
ekonomi tertentu (seperti pertambangan atau industri besar) mungkin berkembang
pesat, tetapi tidak menciptakan cukup banyak lapangan kerja bagi masyarakat.
Selain itu, kesenjangan antara kaya dan miskin bisa semakin lebar, yang
memperburuk kemiskinan struktural.
Ketiga, sistem perpajakan yang tidak adil.
Kebijakan perpajakan yang tidak adil, di mana kelompok kaya membayar pajak
lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok miskin, dapat memperburuk
ketimpangan ekonomi. Sistem perpajakan yang regresif (lebih membebani orang
miskin) dan ketidakmampuan negara untuk mendistribusikan sumber daya dengan
adil akan menciptakan ketidaksetaraan yang memperburuk kemiskinan struktural.
Keempat, kebijakan pemerintah yang tidak
pro-rakyat miskin. Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat
miskin—seperti pengurangan anggaran untuk layanan kesehatan, pendidikan, dan
bantuan sosial dapat memperburuk kemiskinan struktural. Tanpa adanya kebijakan
yang memadai untuk mendukung kelompok miskin, mereka terus terjebak dalam
lingkaran kemiskinan. Sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem berbasis
oligarki yang tidak berpihak kepada orang miskin, bahkan bisa semakin
memiskikan orang miskin.
Kelima, diskriminasi sosial dan rasisme.
Diskriminasi berbasis ras, gender, agama, atau kelas sosial dapat memperburuk
ketidaksetaraan ekonomi. Kelompok-kelompok yang didiskriminasi cenderung
memiliki akses terbatas ke peluang ekonomi dan sosial, termasuk pekerjaan yang
baik, pendidikan, dan akses ke layanan kesehatan. Hal ini menghalangi mereka
untuk keluar dari kemiskinan.
Keenam, keterbatasan akses terhadap sumber
daya alam. Di beberapa negara, kemiskinan struktural juga disebabkan oleh
ketidakmampuan sebagian besar penduduk untuk mengakses atau memanfaatkan sumber
daya alam yang ada, seperti lahan pertanian, air, atau sumber daya alam
lainnya.
Sistem yang tidak adil dalam distribusi
sumber daya ini mengakibatkan ketidaksetaraan dalam penciptaan kekayaan dan
kesempatan ekonomi. Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan di Indonesia
juga terbukti telah menambah masyarakat miskin.
Ketujuh, korupsi dan pengelolaan sumber
daya yang buruk. Korupsi yang meluas di pemerintahan dan sektor swasta sering kali
menghalangi pembangunan yang adil. Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin sering kali disalahgunakan atau
dialihkan ke pihak-pihak yang lebih berkuasa, sementara rakyat miskin tetap
terperangkap dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Indonesia adalah salah
satu negara terkorup di dunia yang jelas-jelas telah menyebabkan kemiskinan
terstruktur.
Kedelapan, tingkat pengangguran yang
tinggi. Pengangguran struktural sering kali terjadi di negara-negara yang tidak
mampu menciptakan cukup lapangan kerja untuk seluruh penduduknya. Kurangnya
pekerjaan yang layak mengarah pada tingginya angka pengangguran, yang membuat
banyak orang tetap hidup dalam kemiskinan.
Kesembilan, krisis ekonomi dan
ketidakstabilan makroekonomi. Krisis ekonomi yang terjadi secara sistematik
atau jangka panjang, seperti resesi, inflasi tinggi, atau defisit anggaran
negara, dapat memperburuk kemiskinan struktural. Ketidakstabilan ekonomi
membuat akses terhadap pekerjaan, pendapatan, dan layanan dasar menjadi semakin
sulit, terutama bagi kelompok masyarakat yang lebih rentan.
Kesepuluh, pengaruh sejarah colonial. Di
beberapa negara, warisan kolonial masih berpengaruh pada struktur sosial dan
ekonomi yang ada. Pembagian sumber daya yang tidak merata dan penindasan yang
terjadi selama periode kolonial sering kali meninggalkan dampak jangka panjang
yang memperburuk kemiskinan struktural di negara-negara bekas jajahan.
Kesebelas, perubahan iklim dan krisis
lingkungan. Dalam beberapa kasus, kerusakan lingkungan atau perubahan iklim
dapat memperburuk kemiskinan struktural. Masyarakat yang bergantung pada sektor
pertanian atau perikanan, misalnya, sangat terpengaruh oleh bencana alam,
perubahan pola cuaca, atau kerusakan ekosistem yang mengurangi hasil pertanian
atau pendapatan mereka.
Kemiskinan struktural yang terjadi di
berbagai negara, termasuk Indonesia adalah hasil dari ketidaksetaraan yang
dalam dan sistemik dalam struktur sosial dan ekonomi suatu negara. Penyebabnya
bersifat kompleks dan saling terkait, mencakup kebijakan pemerintah,
ketidaksetaraan pendidikan dan kesempatan kerja, serta faktor-faktor sosial
seperti diskriminasi dan pengelolaan sumber daya yang buruk. Bukan karena
banyaknya anak dalam sebuah keluarga. Ada kompleksitas dan bersifat sistemik
yang menjadi penyebab kemiskinan struktural di negeri ini.
Fasisme Eugenic
Ada banyak solusi yang dilakukan berbagai
negara untuk mengurangi kemiskinan. Salah satunya adalah kebijakan salah yang
namanya fasisme eugenic. Karena itu kebijakan yang berbau fasisme eugenic
sebagaimana pernah terjadi di Jerman tidaklah tepat sebagai solusi mengentaskan
kemiskinan struktural bangsa ini. Fasisme eugenic adalah ideologi dan kebijakan
yang menggabungkan prinsip-prinsip fasisme dengan teori eugenika.
Fasisme adalah ideologi politik yang
menekankan kekuasaan otoriter, nasionalisme ekstrem, dan kontrol ketat oleh
negara atas masyarakat. Dalam sistem fasis, individu atau kelompok sering kali
dipaksa untuk mengutamakan kepentingan negara atau ras tertentu, dengan mengesampingkan
hak individu dan kebebasan.
Eugenika adalah teori yang berusaha
memperbaiki kualitas genetik manusia dengan cara memilih individu yang dianggap
"superior" dan mengeliminasi atau membatasi individu yang dianggap
"inferior". Praktik ini meliputi kebijakan seperti sterilisasi paksa,
pengendalian kelahiran, dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu berdasarkan
ras, status sosial, atau kondisi fisik dan mental.
Pada masa pemerintahan Nazi di Jerman (di
bawah Adolf Hitler), kebijakan fasis dan eugenika digabungkan untuk mewujudkan
ideologi "ras superior" yang diinginkan oleh rezim tersebut. Dalam
konteks fasisme Nazi, prinsip eugenika digunakan untuk "memurnikan"
ras Arya (ras yang dianggap superior) dengan cara membunuh atau menghilangkan
kelompok-kelompok yang dianggap "tidak murni" atau "lebih
rendah" seperti orang Yahudi, Romani (Gipsi), orang cacat, dan kelompok
minoritas lainnya. Ini tercermin dalam Holokaus, di mana jutaan orang dibunuh.
Rezim Nazi juga melaksanakan kebijakan
sterilisasi terhadap individu yang dianggap "cacat" atau "buruk
genetiknya", dengan tujuan untuk mencegah mereka memiliki keturunan dan
"menurunkan" kualitas ras manusia. Dalam masyarakat fasis, eugenika
juga digunakan untuk mendidik masyarakat agar hanya "ras superior"
yang dapat berkembang, sementara mereka yang dianggap "inferior"
diberi perlakuan diskriminatif atau dipaksa untuk menghilang.
Praktik-praktik ini menyebabkan
penderitaan yang luar biasa bagi jutaan orang, dan warisan kebijakan fasis
eugenik ini tetap menjadi salah satu periode yang paling gelap dalam sejarah
manusia, karena kebijakan-kebijakan tersebut menciptakan diskriminasi,
kekerasan, dan genosida.
Dalam konteks sejarah, eugenika berasal
dari gagasan Francis Galton pada akhir abad ke-19, yang ingin
"meningkatkan" kualitas genetik manusia. Sebelum digunakan secara
ekstrem oleh fasis, eugenika sempat populer di negara-negara Barat, termasuk AS
dan Inggris, dalam bentuk sterilisasi paksa dan kontrol imigrasi.
Italia Fasis (1922–1943) memiliki tujuan demografis
saat menerapkan eugenika. Mussolini menerapkan kebijakan pronatalis (mendorong
kelahiran), karena menganggap populasi besar sebagai kekuatan nasional.
Kebijakan eugenika yang diterapkan adalah :
(1) Pemberian insentif kepada keluarga besar. (2) Larangan aborsi dan
penggunaan kontrasepsi. (3) Pajak tambahan bagi bujangan (tassa sul celibato).
Sejarah penerapan eugenika di Italia tidak
seagresif Jerman, tetapi ada upaya "memurnikan" bangsa Italia dan
pandangan rasis terhadap etnis non-Italia, terutama di koloni.
Sementara oleh Jerman Nazi (1933–1945)
menerapkan ideologi rasis dan eugenic dengan inti dari kebijakan populasi Nazi
adalah "rasialisme ilmiah", yang bertujuan menciptakan ras Arya
"murni".
Langkah-langkah yang diambil: (1) Hukum
Sterilisasi Paksa (1933) dengan mewajibkan sterilisasi terhadap orang-orang
dengan gangguan mental, cacat, epilepsi, dan penyakit genetik lainnya. (2) Program
Eutanasia (Aktion T4) yakni dengan membunuh orang dewasa dan anak-anak cacat
fisik dan mental.
(3) Larangan Pernikahan Campuran melalui
hukum nuremberg (1935), melarang pernikahan antara "Arya" dan Yahudi,
Roma, serta non-Arya lainnya. (4) Pembunuhan massal (Holocaust) sebagai salah
satu kebijakan paling ekstrem dari eugenika Nazi — pemusnahan jutaan orang
Yahudi, Roma, Slavia, dan kelompok lain yang dianggap "inferior".
Kebijakan ini menyebabkan kematian jutaan
orang dan menjadi simbol kebrutalan ideologi ekstrem kanan. Setelah Perang
Dunia II, eugenika secara luas ditolak secara moral dan ilmiah. Banyak
kebijakan populasi kini berfokus pada hak asasi manusia dan kesetaraan.
Pembunuhan bayi laki-laki oleh Firaun,
sebagaimana dikisahkan dalam kitab suci (Al-Qur'an, Alkitab), tidak dapat
secara teknis disebut sebagai eugenik, namun lebih tepat sebagai genosida.
Firaun memerintahkan pembunuhan bayi
laki-laki Bani Israil karena takut kehilangan kekuasaan, berdasarkan ramalan
bahwa akan lahir seorang laki-laki dari Bani Israil yang akan menggulingkannya
(dalam konteks Musa a.s.). Motivasi fir’aun adalah politik dan kontrol sosial, bukan untuk
"memurnikan" gen atau memperbaiki ras/bangsa secara biologis (genetik).
Eugenika berkembang di abad ke-19/20,
dengan dasar bahwa genetik manusia bisa dikendalikan atau diperbaiki melalui
intervensi sosial atau medis (seperti sterilisasi, larangan pernikahan, dan
pembunuhan massal dalam konteks Nazi). Firaun tidak melakukan seleksi
berdasarkan kualitas biologis atau genetik tertentu, melainkan berdasarkan
identitas etnis dan jenis kelamin untuk menekan potensi perlawanan.
Tindakan Firaun bisa lebih tepat disebut
sebagai bentuk awal dari genosida atau infanticida terarah, karena menyasar
kelompok etnis tertentu (Bani Israil) dan berdasarkan jenis kelamin. Ini lebih
sejalan dengan kebijakan-kebijakan represif yang bertujuan melenyapkan potensi
ancaman dari kelompok minoritas, bukan eugenika dalam makna
ilmiah-pseudoscientific modern.
Logical Fallacy
Menilik pemikiran
bahwa kehadiran anak menambah kemiskinan, atau orang miskin akan tambah
sengsara kalau tambah anak. Maka sekurang-kurangnya ada tiga kesalahan logika
mendasar pemikiran semacam itu. Pertama, kemiskinan
tidak ada kaitannya dengan banyak atau sedikitnya anak, atau tidak punya anak
sama sekali. Buktinya tidak sedikit keluarga miskin atau orang miskin dengan
kondisi sedikit anak, atau tidak punya anak sama sekali. Sebaliknya, tidak
sedikit pula orang kaya punya banyak anak.
Bila
ditarik pada populasi penduduk, apakah penduduk yang populasinya lebih banyak
berarti miskin, sedangkan penduduk dengan populasi rendah berarti lebih makmur?
Faktanya tidak begitu. China dan India adalah negara dengan jumlah penduduk di
atas Indonesia tapi GDP mereka jauh di atas RI.
Dengan
jumlah penduduk di tahun 2025 di atas 1,4 miliar, Republik Rakyat China
memiliki GDP sebesar US$18.80 triliun. Itu setara dengan Rp314,580 triliun.
Sedangkan jumlah penduduk Indonesia di tahun 2025 berjumlah baru 282,48 juta
jiwa. Tapi GDP RI ’hanyalah’ $1,403 miliar setara dengan Rp23,482 triliun.
Jadi make
no sense kalau dikatakan anak penyebab kemiskinan, atau kalau
ingin punya banyak duit adalah jangan banyak anak.
Kedua, tema ledakan jumlah penduduk akan berdampak pada kemiskinan
dan kelaparan adalah premis usang. Tahun 1798, ekonom asal Inggris Robert
Malthus sudah membuat ramalan gagal tersebut dalam essay-nya; Principle
of Population.
Ia
menyebut pertumbuhan populasi penduduk akan selalu mengikuti deret ukur atau exponential
progression. Sedangkan pertumbuhan sumberdaya pangan dan produksi
yang tersedia bergerak secara pelan mengikuti deret hitung atau linear
progression. Akibatnya, ramal Malthus, manusia akan mengalami
kondisi kekurangan sumberdaya pangan.
Malthus
babak belur dikritik banyak ilmuwan lain. Ia dianggap tidak memperhatikan
kemajuan teknologi dalam pertanian dan industri pangan. Dimana manusia bisa
melipatgandakan produksi pangan sehingga hasilnya berlimpah.
Ketiga, siapa yang menjamin orang miskin akan seterusnya miskin? Tidak
pernah ada yang tahu. Sebagai muslim, kita diperintahkan bekerja keras dengan
dilandasi keyakinan rizki setiap mahluk sudah dijamin Allah Swt. Banyak orang
yang kaya jatuh miskin, dan tidak sedikit orang yang miskin lalu menjadi kaya.
Sebagai mukmin, malu mengatakan kalau anak penyebab kemiskinan.
Solusi Islam Mengatasi Kemiskinan
Islam memiliki pendekatan yang
komprehensif dalam mengentaskan kemiskinan struktural, tidak hanya dengan
solusi individual, tetapi juga sistem sosial dan ekonomi yang menekankan
keadilan, pemerataan, dan tanggung jawab kolektif.
Zakat adalah kewajiban bagi setiap Muslim
yang mampu dan merupakan salah satu rukun Islam. Zakat berfungsi sebagai.
Pertama, Instrumen keadilan sosial. Kekayaan tidak menumpuk pada segelintir
orang saja. Kedua, sumber dana untuk orang miskin. Zakat diberikan kepada 8
golongan penerima, termasuk fakir, miskin, dan orang yang terlilit utang (QS
At-Taubah: 60). Ketiga, mengatasi kemiskinan secara struktural. Karena dana
zakat dikelola oleh negara (baitul maal) untuk distribusi ke kelompok yang
membutuhkan, termasuk pelatihan kerja atau modal usaha.
Sistem ekonomi Islam jelas ada larangan
riba dan eksploitasi sumber daya alam ala kapitalisme. Islam melarang riba (bunga) karena dapat
menciptakan ketimpangan dan penindasan ekonomi. Sistem riba membuat yang kaya
semakin kaya, sementara yang miskin terjerat utang. Islam mendorong transaksi
bisnis yang adil, seperti mudharabah (bagi hasil) dan musyarakah (kemitraan),
agar orang miskin juga bisa ikut serta dalam kegiatan ekonomi tanpa ditindas.
Eksploitasi sumber daya alam (privatisasi) gaya kapitalisme diharamkan dalam
Islam.
Kepemilikan umum dan akses sumber daya
alam adalah salah satu karakter dalam hukum Islam. Sumber daya alam adalah
milik umum yang wajib dikelola negara untuk Kesejahteraan rakyat. Haram
diprivatisasi apalagi dikuasai oleh asing penjajah. Dalam Islam, sumber daya
alam yang vital (seperti air, energi, dan tambang) harus dikelola oleh negara
untuk kemaslahatan umat, bukan dikuasai oleh individu atau korporasi.
Sistem kepemilikan umum atas sumber daya
alam dalam Islam ini akan mencegah privatisasi oleh asing atau swasta yang
membuat rakyat tidak mendapat akses. Keuntungan dari sumber daya alam digunakan
untuk kepentingan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan
sosial.
Islam melarang kekayaan hanya berputar di
kalangan orang-orang kaya saja, karena hal itu menimbulkan ketimpangan sosial,
penindasan ekonomi, dan memperbesar jurang antara si kaya dan si miskin. Allah
berfirman : "Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang
kaya saja di antara kamu." (QS Al-Hasyr: 7)
Mengapa Islam melarang kekayaan hanya
berputar pada orang kaya, karena bisa merusak keadilan sosial. Islam menekankan 'adl (keadilan). Jika
kekayaan hanya dimiliki dan dinikmati oleh golongan kaya, itu akan
menghilangkan prinsip keadilan sosial dan memperparah kemiskinan struktural.
Dalam sistem kapitalis, uang cenderung
mengalir kepada yang sudah kaya (misalnya melalui bunga bank, pasar modal,
korporasi besar). Islam menolak model ini, karena membuat yang miskin semakin
sulit keluar dari kemiskinan. Islam mengatur agar harta bisa dinikmati semua
lapisan masyarakat, termasuk melalui zakat, infak, sedekah, wakaf, dan
distribusi sumber daya.
Islam juga memiliki cara untuk mencegah
kemiskinan sistemik yakni dengan mekanisme wakaf sebagai sumber dana sosial
berkelanjutan. Aset wakaf seperti tanah, bangunan, atau usaha digunakan untuk
pendidikan, layanan kesehatan, dan kesejahteraan umum. Wakaf produktif bisa
dijadikan modal usaha bagi rakyat miskin agar mandiri.
Islam menempatkan negara sebagai pihak
yang bertanggung jawab langsung atas kesejahteraan rakyat. Negara dalam pandangan Islam harus menjamin
kebutuhan pokok: pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Negara
Islam (khilafah) wajib menciptakan lapangan kerja dan peluang ekonomi bagi
warganya (bukan membiarkan pasar bebas yang merugikan).
Islam juga menekankan pada pendidikan dan
Pemberdayaan rakyat. Islam sangat menekankan pentingnya ilmu. Pendidikan gratis
dan berkualitas harus dijamin negara agar rakyat bisa keluar dari lingkaran
kemiskinan. Pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas dan koperasi Islami juga
bisa menjadi solusi, menghindari ketergantungan pada sistem kapitalistik.
Islam memiliki sistem sosial-ekonomi yang
terintegrasi untuk menghapus kemiskinan struktural. Dengan prinsip keadilan,
zakat, pelarangan riba, distribusi sumber daya yang adil, dan peran aktif
negara, Islam tidak hanya menyantuni orang miskin, tetapi juga mencabut akar
struktural kemiskinan.
Jika diterapkan secara kaffah dalam
institusi khilafah, solusi Islam ini mampu menciptakan masyarakat yang sejahtera,
adil, dan bermartabat dan akan terhindar dari kemiskinan struktural yang
disebabkan oleh sistem kapitalisme saat ini.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 05/05/25 : 19.07
WIB)