ALTAR NASIONALISME DAN IRONI PARA PENYEMBAHNYA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Artikel ini membahas dinamika antara nasionalisme dan agama dalam konteks pembentukan identitas kolektif dan arah kebijakan negara. Dengan mengambil pendekatan historis dan sosiologis, artikel ini mengkaji berbagai kasus di mana nasionalisme tampil lebih dominan daripada agama dalam membentuk narasi kebangsaan.

 

Kasus-kasus seperti Turki pasca-Ottoman, Revolusi Prancis, dan Indonesia pasca-kemerdekaan menunjukkan bahwa nasionalisme dapat menggeser posisi agama dari pusat kehidupan publik menuju ranah privat. Diskusi ini penting untuk memahami hubungan dialektis antara dua kekuatan ideologis besar dalam sejarah modern.

 

Agama dan nasionalisme merupakan dua kekuatan utama dalam pembentukan identitas kolektif masyarakat. Keduanya menawarkan narasi kebersamaan, loyalitas, dan bahkan pengorbanan. Namun, dalam sejarah modern, sering kali terjadi ketegangan antara keduanya, terutama ketika negara berusaha membentuk identitas nasional yang bersifat sekuler atau plural. Dalam banyak kasus, nasionalisme justru mengalahkan agama sebagai fondasi utama dalam membangun negara-bangsa.

 

Setelah runtuhnya kekuasaan berbasis agama seperti Kekhalifahan Utsmani, nasionalisme muncul sebagai kekuatan ideologis yang mengklaim kesetiaan rakyat berdasarkan ikatan kebangsaan, bukan iman. Tokoh-tokoh seperti Mustafa Kemal Atatürk di Turki secara eksplisit menggantikan hukum Islam dengan hukum sekuler dan menggagas identitas nasional Turki yang modern, rasional, dan terlepas dari doktrin religius. Hal ini menunjukkan transformasi radikal dari masyarakat berbasis agama ke masyarakat berbasis negara.

 

Dalam Revolusi Prancis, nasionalisme radikal secara terang-terangan menentang peran agama dalam kehidupan publik. Gereja Katolik tidak hanya dipisahkan dari negara, tetapi juga dicap sebagai ancaman bagi kebebasan dan rasionalitas. Demikian pula, dalam Uni Soviet, ideologi komunisme sebagai bentuk ekstrem dari nasionalisme proletariat menghapus institusi keagamaan dari ruang publik.

 

Dalam kedua kasus, nasionalisme bukan hanya menggantikan agama, tetapi juga mengonstruksi ulang nilai dan simbol-simbol religius menjadi simbol nasional. Di Indonesia, nasionalisme mengalahkan aspirasi sebagian kelompok agama yang menginginkan negara berbasis syariah.

 

Kemenangan nasionalisme atas agama bukan tanpa konsekuensi. Di satu sisi, hal ini menciptakan stabilitas dan kohesi sosial di masyarakat multikultural. Namun di sisi lain, marginalisasi agama dari ranah publik dapat menimbulkan alienasi dan resistensi. Nasionalisme yang mengalahkan agama bukan sekadar kemenangan ideologi, tetapi juga hasil dari kompromi, konflik, dan pertimbangan geopolitik.

 

Nasionalisme sering dipuja sebagai kekuatan pemersatu dan simbol cinta tanah air. Namun, dalam praktiknya, ia kerap menjelma menjadi altar ideologis tempat rakyat dipanggil untuk tunduk, bahkan ketika kepentingan negara berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas universal.

 

Nasionalisme, dalam banyak konteks, telah berubah menjadi "agama sipil", dan bagaimana para penyembahnya, rakyat, politisi, bahkan intelektual, terjebak dalam ironi: mengabdi pada konstruksi imajiner yang justru sering merusak kemanusiaan itu sendiri.

 

Benedict Anderson menyebut bangsa sebagai komunitas terbayang (imagined community). Dalam pengertian ini, nasionalisme bukanlah warisan alamiah, melainkan produk konstruksi sosial dan sejarah. Namun ironisnya, nasionalisme justru diimani dan dipeluk oleh sebagian besar warga negara dengan keyakinan religius. Bendera, lagu kebangsaan, hari kemerdekaan, hingga pahlawan nasional menjadi simbol-simbol sacral, alat ritus bagi "umat nasionalis" dalam menjalankan ibadah kewarganegaraan.

 

Konsep altar dalam tradisi keagamaan merujuk pada tempat suci untuk pengorbanan dan penghormatan. Dalam konteks nasionalisme, negara menjadi altar tempat rakyat diminta mempersembahkan loyalitas, ketaatan, bahkan nyawa. Pengorbanan untuk negara dipandang mulia tanpa syarat. Ironinya, altar ini sering digunakan oleh elit politik untuk memperkuat kekuasaan, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Nasionalisme menjadi topeng ideologis untuk menjustifikasi represi, militerisme, atau diskriminasi atas nama "kepentingan nasional".

 

Para penyembah altar nasionalisme bisa dibagi dalam beberapa kategori: pertama, Rakyat yang Tertindas. Mereka mencintai negara yang tak mencintai mereka kembali. Mereka diminta berkorban untuk tanah air, tetapi tak pernah benar-benar merasakan keadilan sosial, pendidikan layak, atau akses kesehatan.

 

Kedua, Elit Populis. Mereka memanfaatkan simbol-simbol nasional untuk mendulang suara dan menekan lawan politik, sembari menumpuk keuntungan pribadi. Ketiga, Intelektual Oportunis. Mereka menyisipkan jargon-jargon kebangsaan dalam karya ilmiah dan opini publik, padahal tidak sedikit yang membisukan kritik demi aman dari represi atau menjaga privilese. Nasionalisme jenis ini bukanlah cinta tanah air yang sehat, melainkan kultus politik yang tidak rasional, anti-kritik, dan membahayakan agama seseorang, khusunya seorang muslim.

 

Maka, altar nasionalisme harus dibongkar dari kesakralannya. Dan para penyembahnya perlu bertanya: apa yang sesungguhnya sedang kita sembah? Negara? Bangsa? Ataukah hanya bayangan kekuasaan yang dibungkus bendera ?.

 

Seorang muslim mestinya yakin seratus persen dengan agama, tak boleh ada ruang nasionalisme dalam jiwanya.  Islam adalah pandangan hidup menyeluruh, yang mencakup tidak hanya aspek spiritual, tetapi juga politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Bagi Islam, tujuan hidup bukanlah nasionalisme, melainkan membangun peradaban manusia yang selaras dengan nilai ilahi.

 

Nasionalisme dalam pengertian modern, yang mendasarkan identitas pada kesukuan, budaya, atau batas negara, dianggap berbeda secara fundamental dengan Islam yang menempatkan tauhid dan syariah sebagai pusat norma. Islam tidak mesti meniru demokrasi Barat secara eksklusif, bukan pula otoritarianisme, tetapi Islam sebagai institusi moral dan hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan.

 

Banyak yang keliru saat mengklaim bahwa Piagam Madinah merupakan bentuk nasionalisme ala modern. Padahal, Piagam itu lebih merupakan kontrak sosial yang didasarkan oleh paradigma Islam.  Menggunakan Piagam Madinah untuk membenarkan nasionalisme modern adalah interpretasi yang menyesatkan, karena pendekatan pluralitas Madinah berbeda dengan nasionalisme yang mempersatukan berdasarkan konsep bangsaan eksplisit.

 

Islam bukan bertentangan dengan ketertiban sosial atau pemerintahan. Namun, negara tidak boleh menjadi hak prerogatif etnis atau agama tertentu. Sebaliknya, Islam mengajarkan sistem kenegaraan yang adil dan inklusif, yang menghormati hak manusia tanpa diskriminasi, yakni suatu pemerintahan yang dijalankan atas dasar keadilan dan musyawarah (seperti khilāfah atau wakālah rakyat)

 

Ketika nasionalisme menjadi ideologi absolut, ia meminggirkan nilai keagamaan sehingga lahirlah sekularisme. Hal ini jelas bertentangan dengan Islam yang menyatukan kehidupan lahir dan batin. Jika identitas berdasarkan negara menjadi paling utama, maka nilai ketuhanan dan spiritualitas bisa kehilangan pijakan moralnya dan rakyatlah yang menjadi korban dari ideologi yang menggantikan iman dengan identitas nasionalisme belaka.  

 

Daftar Pustaka (Contoh)

Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Verso.

Smith, A. D. (2003). Nationalism and Modernism. Routledge.Hefner, R. W. (2000). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton University Press.

Kedourie, E. (1993). Nationalism. Blackwell.

Hobsbawm, E. J. (1992). Nations and Nationalism Since 1780. Cambridge University Press.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1089/25/07/25 : 20.54 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.