Oleh : Ahmad Sastra
Kita hidup di zaman yang oleh banyak pemikir disebut
sebagai era post-truth—sebuah masa di mana kebenaran objektif kehilangan
kekuatan dalam membentuk opini publik, tergantikan oleh serbuan emosi, opini
pribadi, dan kepercayaan kolektif yang tidak selalu berdasarkan fakta. Dalam
ruang publik yang semakin bising oleh informasi tak terverifikasi, retorika
sinisme tumbuh subur. Retorika semacam ini bukan lagi sekadar gaya bicara,
tetapi menjadi strategi komunikasi: tajam, sarkastik, dan cenderung destruktif.
Post-truth dan retorika sinisme berjalan beriringan.
Keduanya menjadi penanda pudarnya rasionalitas publik dan matinya ruang debat
yang sehat. Tulisan ini akan membahas bagaimana post-truth mendorong munculnya
retorika sinisme, serta dampaknya terhadap budaya komunikasi dan demokrasi.
Post-truth: Ketika Fakta Tak Lagi Penting
Istilah post-truth mulai populer pada
pertengahan 2010-an, terutama setelah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden
Amerika Serikat dan munculnya fenomena Brexit. Oxford Dictionaries
bahkan menjadikan post-truth sebagai “Word of the Year” pada 2016, yang
didefinisikan sebagai: "Relating to or denoting circumstances in which
objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to
emotion and personal belief."
Artinya, kebenaran bukan lagi soal data atau bukti,
melainkan soal siapa yang paling meyakinkan, siapa yang paling memancing emosi.
Dalam iklim ini, hoaks dan disinformasi menjadi alat politik, sementara opini
yang keras dan provokatif lebih viral daripada klarifikasi yang tenang.
Dalam dunia post-truth, sinisme menjelma menjadi
senjata retorik. Retorika sinisme ditandai oleh: (1) Nada meremehkan kebenaran.
Kalimat seperti "Ah, semua media itu bohong!" atau "Politikus?
Semua sama saja!" mencerminkan skeptisisme yang tidak lagi kritis, tapi
nihilistik. (2) Sarkasme dan ironi tanpa solusi. Sindiran yang tajam sering
disampaikan bukan untuk membangun diskusi, tetapi untuk membakar emosi atau
membungkam lawan debat. (3) Generalitas yang menggampangkan. Contoh:
"Demokrasi cuma kedok elite," atau "Agama cuma alat
kekuasaan." Ucapan-ucapan ini terdengar 'tajam' tapi mengandung
simplifikasi berlebihan dan merusak kompleksitas isu.
Menurut Peter Sloterdijk (1988), sinisme modern adalah
bentuk "pencerahan palsu"—tahu bahwa ada yang salah, tapi memilih
tidak berbuat apa-apa, dan malah menikmati posisi sebagai pengamat sinis yang
merasa unggul.
Retorika sinisme mudah diterima karena memberi kepuasan
emosional. Ia tidak menuntut pembuktian atau argumen panjang, cukup dengan
sindiran tajam yang menyindir perasaan bersama. Di media sosial, retorika
semacam ini cepat menyebar karena sifatnya yang singkat, lucu, dan membakar
emosi.
Namun, daya rusaknya tinggi: ia mematikan dialog,
menciptakan kecurigaan terus-menerus, dan melahirkan apatisme publik. Dalam
jangka panjang, masyarakat jadi malas berpikir, dan hanya terjebak dalam
polarisasi dan saling ejek.
Dampak terhadap Budaya dan Demokrasi : Pertama, Tergerusnya
Rasionalitas Publik
Ketika fakta tak lagi menjadi fondasi diskusi, maka semua bisa jadi “benar”
menurut versinya masing-masing. Diskusi berubah jadi perang narasi, bukan
pertukaran argumen. Kedua, Polarisasi Sosial dan Politik. Sinisme mendorong
kita untuk terus curiga pada siapa pun yang berbeda pendapat. Lawan politik
bukan sekadar berbeda pandangan, tapi dianggap musuh yang pantas diolok-olok.
Ketiga, Matinya Etika Komunikasi. Retorika sinisme
mengikis adab berpikir dan berbicara. Dalam Islam, perintah untuk berkata baik
atau diam (QS. Al-Baqarah: 83, QS. Al-Isra: 53) justru dilanggar demi sensasi
dan viralitas.
Untuk melawan post-truth dan sinisme, dibutuhkan suara
yang cerdas tapi jernih; tajam tapi membangun. Artinya, kritik tetap penting,
tetapi harus berbasis data, dibingkai dengan adab, dan diarahkan untuk
perbaikan. Kecerdasan tanpa kejernihan hanya melahirkan manipulasi; ketajaman
tanpa etika hanya menambah luka sosial.
“Retorika tidak boleh menjadi alat untuk membunuh
lawan bicara, melainkan jalan untuk saling memahami.” – Habermas (1981). Kita
perlu membangun ruang publik yang sehat: yang menghargai kebenaran, membuka
ruang dialog, dan menghindari jebakan sinisme destruktif.
Post-truth dan retorika sinisme merupakan dua wajah
dari krisis komunikasi modern. Di tengah banjir informasi dan fragmentasi
sosial, sinisme menjadi ekspresi dari ketidakpercayaan yang berlebihan. Namun,
solusi bukanlah menjadi lebih sinis, melainkan mengembalikan kepercayaan pada
nilai dialog, kebenaran, dan etika komunikasi.
Pemikiran Islam tidak lahir dari ruang hampa. Ia
dibentuk oleh interaksi antara teks (nash), akal, dan realitas sosial. Dalam
sejarahnya, pemikiran Islam menunjukkan karakteristik yang khas: rasional tapi
tunduk pada wahyu, tajam dalam analisis namun tetap menjaga etika dan adab.
Dalam konteks peradaban, pemikiran Islam memainkan
peran sentral sebagai jembatan antara teks wahyu dan dinamika kehidupan.
Tradisi berpikir Islam telah melahirkan banyak pemikir besar yang tidak hanya
menguasai ilmu agama, tetapi juga logika, filsafat, ilmu alam, dan sosial. Ciri
khas pemikiran Islam bukan hanya terletak pada kecerdasannya, melainkan juga
kejernihannya: mampu memahami realitas tanpa kehilangan integritas spiritual.
Seperti dikatakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas
(1993), tujuan utama ilmu dalam Islam adalah “menanamkan keadilan dan
menyingkirkan kebingungan dalam jiwa manusia.” Pemikiran Islam yang jernih
dan tajam berarti bukan sekadar argumentatif, tetapi juga berorientasi pada
maslahat dan pencerahan umat.
Karakteristik Pemikiran Islam, pertama, Cerdas, Rasionalitas
dalam Bingkai Wahyu. Islam tidak anti-rasional. Al-Qur’an sendiri berkali-kali
mengajak manusia untuk berpikir: afala ta'qilun, afala tatafakkarun
(mengapa kamu tidak berpikir?). Para pemikir seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan
Al-Ghazali adalah contoh bagaimana akal digunakan untuk menafsirkan realitas
dan wahyu secara seimbang.
Menurut Fazlur Rahman (1982), pemikiran Islam klasik
memperlihatkan keterbukaan terhadap rasionalitas Yunani tanpa melepaskan
fondasi wahyu. Pemikiran yang cerdas adalah pemikiran yang mampu menjawab
tantangan zaman tanpa kehilangan akar transendentalnya.
Kedua, Jernih, Tidak Kabur oleh Fanatisme atau Hawa
Nafsu. Kejernihan berpikir dalam Islam menuntut kebersihan hati dan niat. Imam
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan pentingnya tazkiyah
al-nafs (penyucian jiwa) sebagai prasyarat berpikir yang jernih. Pemikiran
yang jernih tidak dimotivasi oleh kebencian, kepentingan politik sesaat, atau
egosentrisme intelektual. Seorang pemikir Muslim harus memisahkan antara hujjah
(argumen) dan hawa (nafsu). Inilah yang membedakan kritik ilmiah dari sekadar
celaan emosional.
Ketiga, Tajam, Kritis, Analitis, dan Mendasar. Pemikiran
Islam mengembangkan tradisi kritik internal yang kuat. Dalam ilmu ushul fiqh,
falsafah, dan kalam, para ulama saling mengkritik dan menguji argumen satu sama
lain. Namun, ketajaman ini tidak pernah lepas dari adab. Ibnu Taimiyah,
meskipun keras dalam kritiknya, tetap menyusun argumen dengan dasar teks dan
logika. Al-Razi dalam tafsirnya menunjukkan ketajaman metodologi hermeneutika
yang membedakan antara makna zahir dan batin secara sistematis.
Keempat, Membangun: Solutif dan Berorientasi Maslahat.
Karakter utama pemikiran Islam bukanlah menghancurkan, tapi membangun. Kritik
terhadap praktik keagamaan atau kebijakan publik dalam Islam harus memiliki
arah pembenahan. Inilah yang disebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar
secara intelektual.
Pemikir modern seperti Nurcholish Madjid dan Muhammad
Abduh, meskipun kerap menyuarakan pembaruan (tajdid), tidak pernah meninggalkan
prinsip-prinsip Islam. Mereka menunjukkan bahwa kritik yang membangun adalah
bagian dari cinta terhadap umat dan agama.
Di era digital yang cenderung berkarakter post-truth
dan retorika sisnisme, pemikiran Islam menghadapi dua tantangan besar, yakni banjir
informasi dan polarisasi identitas. Banyak perdebatan keislaman yang kehilangan
kualitas karena tidak lagi berakar pada tradisi ilmiah. Retorika emosional,
tuduhan sesat-menyesatkan, dan kehilangan adab intelektual menjadi gejala umum.
Maka, perlu revitalisasi karakter pemikiran Islam yang
orisinil: rasional, bernurani, dan membangun. Seperti yang dikemukakan oleh
Al-Jabiri (2000), umat Islam harus “mengaktifkan nalar kritis yang berakar pada
tradisi kita sendiri, bukan mengimpor mentah-mentah dari Barat atau membeku
dalam romantisme masa lalu.”
Karakter pemikiran Islam sejati adalah suara yang
cerdas namun jernih, tajam namun membangun. Ia berangkat dari nash, dibaca
dengan akal, dan diarahkan untuk kemaslahatan. Pemikiran ini tidak hanya
menjadi warisan ulama masa lalu, tetapi juga tuntutan bagi intelektual Muslim
masa kini dalam menghadapi tantangan zaman. Dengan pemikiran yang etis dan bernurani,
Islam dapat terus menjadi kekuatan peradaban yang mencerahkan, bukan memecah
belah.
Daftar Pustaka
Al-Attas, S.M.N. (1993). Islam and Secularism.
Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Ghazali. (2005). Ihya Ulumuddin. Beirut:
Darul Fikr.
Al-Jabiri, M. A. (2000). Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi.
Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyyah.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in
Everyday Life. New York: Anchor Books.
Habermas, J. (1981). The Theory of Communicative
Action. Boston: Beacon Press.
Madjid, N. (1992). Islam, Kemodernan dan
Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
McIntyre, L. (2018). Post-Truth. Cambridge: MIT
Press.
Nasr, S.H. (2006). The Heart of Islam: Enduring Values
for Humanity. New York: HarperOne.
Oxford Dictionaries. (2016). Word of the Year:
Post-truth.
Shihab, M.Q. (2006). Membumikan Al-Qur’an.
Bandung: Mizan.
Sloterdijk, P. (1988). Critique of Cynical Reason.
Minneapolis: University of Minnesota Press.
Sunstein, C. (2007). Republic.com 2.0.
Princeton: Princeton University Press.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1087/25/07/25 : 06.02 WIB)