MENAKAR DAMPAK NEGOISASI TARIF IMPOR ANTARA INDONESIA DAN AMERIKA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Tempo.co. Tarif Impor 19 Persen ke Indonesia, benar kata Trump : Make America Great Again. Dulu, Sukarno berteriak “Go to hell with your aid!”, sementara Prabowo hari ini seperti mendukung “Make America great again” dalam negosiasi tarif impor. Dalam negosiasi lewat sambungan telepon selama 17 menit, Donald Trump menyetujui pengenaan tarif impor barang Indonesia 19 persen. Meski tarif itu turun dari 32 persen, barang Amerika bebas masuk ke Indonesia tanpa tarif dan syarat. Ada klausul ekspor data pribadi warga Indonesia ke Amerika.

 

Indonesia kalah telak dalam negosiasi dagang dengan Amerika Serikat. Prabowo Tak berkutik di depan Donald Trump. Presiden Prabowo bertekuk lutut dalam negosiasi kesepakatan dagang dengan Presiden Trump. Barang Indonesia akan kena tambahan tarif 19 persen jika masuk Amerika. Sebaliknya, barang Amerika bebas masuk ke sini dengan segala keringanan nontarif.

 

Para pengamat ekonomi menyebut kesepakatan itu sebagai kekalahan Indonesia 0-19. Investasi dan barang Amerika bebas persyaratan tingkat komponen dalam negeri dan syarat-syarat sertifikasi yang diwajibkan aturan Indonesia. Bahkan salah satu poin kesepakatan adalah ekspor data pribadi warga Indonesia ke Amerika. Sementara Sukarno lantang berteriak “enyah kau dengan bantuanmu”, Prabowo seolah-olah mendukung slogan Donald Trump  selama kampanye pemilihan Presiden Amerika, yakni “make America great again”. 

 

Kompas.mom merilis berita bahwa gedung putih menyampaikan bahwa sejumlah pengusaha dan asosiasi industri menganggap perjanjian dagang dengan Indonesia sebagai sebuah kemenangan. Menurut Gedung Putih, perjanjian perdagangan timbal balik antara AS dan Indonesia merupakan langkah maju yang krusial dalam upaya tanpa henti Presiden Donald Trump menerapkan kebijakan perdagangan yang mengutamakan Negeri Paman Sam.

 

“Kesepakatan ini menghilangkan sekitar 99 persen hambatan tarif untuk seluruh ekspor industri, pangan, dan pertanian AS, membuka akses pasar baru, dan meruntuhkan hambatan non-tarif sekaligus menjadi kemenangan terbaru bagi para pekerja, petani, dan produsen Amerika,” tulis Gedung Putih dikutip dari laman resminya, Kamis (24/7/2025).

 

Selain 19-0 sebagai bentuk kemenangan Amerika dan kekalahan telak Indonesia, transfer data pribadi rakyat Indonesia juga sebagai kekalahan telak negeri pancasila ini. Gedung Putih menyebut pemerintah Indonesia akan menyerahkan pengelolaan data pribadi masyarakat Indonesia kepada Amerika Serikat. Hal ini dilakukan sebagai pengakuan Indonesia terhadap Amerika Serikat sebagai negara atau yuridiksi yang menyediakan perlindungan data pribadi yang memadai. (tirto.id).

 

"Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi dari wilayahnya ke Amerika Serikat melalui pengakuan Amerika Serikat sebagai negara atau yurisdiksi yang menyediakan perlindungan data yang memadai," tulis Gedung Putih dalam Lembar Fakta bertajuk Amerika Serikat dan Indonesia Mencapai Kesepakatan Perdagangan Bersejarah, dikutip Rabu (23/7/2025).

 

Gedung Putih mengungkapkan, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah mengupayakan reformasi untuk meningkatkan pengelolaan perlindungan data pribadi selama tahun-tahun belakangan. Hal inilah yang kemudian membuat Washington dinilai mampu mengelola data pribadi masyarakat Indonesia.

 

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, transfer data pribadi warga Indonesia untuk dikelola oleh Amerika Serikat akan dilakukan secara bertanggung jawab.

 

"Itu kan sudah semua. Transfer data pribadi yang bertanggung jawab dengan negara yang bertanggung jawab. Itu sudah disepakati kedua belah pihak, semua disepakati. (Soal peraturan ketenagakerjaan), itu juga tidak ada perubahan. Hanya minta comply dengan regulasi dan itu sudah kita lakukan,".

 

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, menepis tudingan bahwa pemerintah Indonesia menyerahkan pengelolaan data warga negara kepada Amerika Serikat (AS). Klarifikasi ini disampaikan menyusul munculnya kekhawatiran publik atas salah satu poin dalam kesepakatan tarif impor RI–AS yang diteken Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Donald Trump pada 15 Juli lalu.

 

“Tujuan transfer data ini bersifat komersial, bukan untuk dikelola oleh pihak asing,” ujar Hasan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (23/7). Hasan menjelaskan bahwa yang terjadi sebenarnya adalah pertukaran data terbatas, bukan penyerahan pengelolaan. Proses ini dilakukan atas dasar UU No. 7 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), dan hanya dengan negara yang diakui memiliki sistem perlindungan data yang setara.

 

Pernyataan ini datang di tengah kritik dari para pengamat keamanan data yang menilai kesepakatan tersebut rawan melemahkan kedaulatan digital RI dan bisa berdampak pada industri data lokal. Pemerintah pun berjanji akan menjaga kendali atas data warga, sekaligus meningkatkan standar keamanan digital dalam kerja sama internasional.

 

Presiden Prabowo Subianto juga angkat bicara mengenai isu transfer data pribadi warga Indonesia yang masuk dalam kesepakatan perdagangan dengan Amerika Serikat. Ia menegaskan bahwa negosiasi mengenai hal ini masih berlangsung dan belum mencapai kata sepakat, sambil menunggu penyusunan teknis yang melibatkan Kemenkominfo dan Menko Perekonomian.

 

Sebelumnya, Gedung Putih mengumumkan bahwa kerangka kesepakatan akan mengakui AS sebagai yurisdiksi yang memiliki perlindungan data memadai, memungkinkan aliran data pribadi sesuai peraturan Indonesia . Menko Perekonomian dan Menkominfo disebut akan menyusun regulasi teknis untuk memastikan hanya data komersial—bukan personal sensitif—yang dapat ditransfer, guna menjamin perlindungan hak warga negara.

 

Sejak April 2025, kebijakan tarif Trump terhadap Indonesia berkembang dari tekanan sepihak menjadi negosiasi berbasis kesepakatan dagang bilateral yang timpang. Meskipun Indonesia berhasil menurunkan tarif dari 32% ke 19%, hal itu dibayar mahal melalui pembelian besar-besaran produk AS.

 

Dimulai dari Pengumuman Kebijakan Tarif & Retaliasi Trump pada April 2025. Deklarasi tarif baru 32% terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia AS menuding Indonesia mendapat “keuntungan tidak adil” dari hubungan dagang bilateral, terutama karena surplus perdagangan dan keikutsertaan dalam BRICS.

 

Dilanjutkan negosiasi awal Indonesia-AS Mei 2025. Trump menyampaikan bahwa Indonesia harus membuka akses pasar dan membeli produk AS jika ingin tarif diturunkan. Menawarkan komitmen pembelian produk strategis AS untuk menjaga preferensi ekspor Indonesia.

 

Berlanjut lagi paket konsesi ekonomi pertengahan Juni 2025. Pemerintah Indonesia akhirnya menyetujui paket pembelian strategis dari AS, mencakup: 50 unit Boeing senilai ±USD 10 miliar. Impor LNG & energi terbarukan dari perusahaan AS sebesar USD 15 miliar untuk proyek transisi energi. Dalam imbal baliknya, Trump menurunkan tarif dari 32% menjadi 19%, bukan mencabut sepenuhnya.

 

Berlanjut lagi pada langkah evaluasi risiko dan keputusan penuruan tarif Juli 2025. Tarif belum dihapus total, dan sifat kesepakatan bersifat sementara serta berbasis deal-making, bukan dalam skema preferensi dagang jangka panjang. Trump memutuskan menurunkan tarif dari 32% menjadi 19% dengan beberapa syarat.

Apa dampak Kebijakan Tarif di US 19% dan tarif di Indonesia 0% terhadap pertumbuhan ekonomi ?. Terjadi kontraksi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan penurunan PDB sebesar - 0,113%. Angka ini adalah penurunan terdalam dibanding negara lain, menandakan Indonesia paling dirugikan dalam skema tarif yang timpang ini.

 

AS justru mendapat keuntungan, karena (1) Produk-produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS akibat tarif; produk AS tetap masuk ke pasar Indonesia tanpa hambatan tarif; dan neraca dagang AS terhadap Indonesia membaik, mendukung pertumbuhan PDB AS meski tipis. Artinya US perekonomian diuntungkan dari sisi perdagangan dan produksi domestik.

 

Sementara dampak kebijakan tarif di us 19% dan tarif di Indonesia 0% terhadap investasi juga akan signifikan. Indonesia mengalami penurunan paling tajam dalam indikator investasi, yaitu sebesar -0,0%. Penurunan ini mencerminkan melemahnya insentif investasi akibat terganggunya prospek ekspor dan meningkatnya ketidakpastian pasar global.

 

Negara-negara lain seperti Asia Selatan (selain India), India, dan Amerika Utara (selain AS) justru mengalami kenaikan kecil dalam aktivitas investasi, menunjukkan adanya efek pengalihan investasi (investment diversion) dari Indonesia ke negara-negara pesaing yang lebih terlindungi dari kebijakan tarif. Perlu strategi nasional untuk menjaga daya tarik investasi melalui stabilisasi iklim usaha, diversifikasi pasar ekspor, dan perbaikan efisiensi logistik dan kebijakan insentif sektor tradable.

 

Bagaimana dengan daya beli rumah tangga Indonesia ?. Daya beli rumah tangga Indonesia turun tajam sebesar -0,091%, terdalam dibanding negara lain, akibat kebijakan tarif 19% dari AS terhadap ekspor Indonesia. Penurunan ini mencerminkan melemahnya pendapatan dan naiknya harga konsumsi, yang menekan konsumsi riil. Beberapa negara lain justru diuntungkan oleh efek pengalihan perdagangan. Artinya kebijakan tarif saat ini secara langsung merugikan kesejahteraan rumah tangga Indonesia dan perlu direspons dengan kebijakan kompensasi yang tepat sasaran.

 

Pengeluaran pemerintah Indonesia mengalami penurunan sebesar -0,122%, jauh lebih dalam dibandingkan negara atau kawasan. Penurunan ini mengindikasikan bahwa tekanan ekonomi akibat kebijakan tarif 19% dari AS terhadap ekspor Indonesia turut melemahkan kapasitas fiskal pemerintah, baik karena berkurangnya penerimaan negara maupun karena kontraksi ekonomi yang lebih luas.

 

Sebaliknya, negara-negara pesaing seperti kawasan Asia Selatan dan Amerika Utara justru mencatatkan peningkatan belanja pemerintah, mencerminkan efek redistribusi keuntungan ekonomi. Dampak negatif terhadap belanja pemerintah Indonesia ini berpotensi mempersempit ruang fiskal untuk melakukan stimulus atau kompensasi, sehingga perlu diantisipasi dengan penguatan APBN yang lebih resilien dan reformasi kebijakan fiskal yang mendukung stabilitas dan ketahanan ekonomi domestik.

 

Penurunan ekspor mencerminkan kehilangan daya saing produk Indonesia di pasar AS, terutama pada sektor manufaktur ringan (elektronik, furniture, alat RT), tekstil, dan CPO. Sementara penurunan impor menunjukkan dampak spillover makroekonomi, seperti melemahnya permintaan domestik, penurunan pendapatan, dan kontraksi konsumsi serta investasi, yang menekan kebutuhan terhadap barang impor.

 

Sebaliknya, beberapa negara seperti Asia Selatan (selain India), Amerika Serikat, dan sebagian kawasan lain justru menunjukkan peningkatan ekspor dan/atau impor, mengindikasikan adanya pergeseran rute perdagangan atau pengalihan sumber dan tujuan ekspor-impor (trade diversion) dari Indonesia ke negara pesaing. Kebijakan tarif diskriminatif tidak hanya merugikan secara bilateral, tetapi turut menggeser arus dagang global yang memperlemah posisi Indonesia dalam rantai nilai internasional.

 

Kebijakan tarif AS menyebabkan tabungan Indonesia turun - 0,026%, mencerminkan melemahnya pendapatan nasional akibat penurunan ekspor, investasi, dan konsumsi. Sebaliknya, negara pesaing seperti India dan Asia Selatan justru mencatat kenaikan tabungan karena efek pengalihan aktivitas ekonomi. Penurunan tabungan ini mengindikasikan risiko pembiayaan investasi jangka menengah dan memperkuat kebutuhan akan kebijakan penguatan tabungan domestik dan insentif investasi produktif.

 

Sektor jasa keuangan relatif tidak terdampak langsung oleh kebijakan tarif AS dalam jangka pendek, tetapi perlu diwaspadai risiko menular (spillover) dari sektor-sektor yang mengalami tekanan ekspor, seperti tekstil dan manufaktur berat. Untuk menjaga ketahanan sistemik, penting bagi pemerintah dan otoritas keuangan untuk memastikan stabilitas kredit dan mengarahkan likuiditas ke sektor-sektor produktif yang masih prospektif.

 

Penurunan harga konsumsi di seluruh sektor menunjukkan tekanan permintaan dan kelebihan pasokan sebagai dampak kebijakan tarif AS terhadap Indonesia. Turunnya harga-harga semua komoditas merefleksikan gejala deflasi sektoral yang mengindikasikan pelemahan ekonomi domestik dan daya beli, dan berpotensi menurunkan profitabilitas, investasi, dan penyerapan tenaga kerja secara luas.

 

Kebijakan tarif Trump menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap satu pasar ekspor besar menjadi sumber kerentanan sistemik bagi ekonomi Indonesia. Kebijakan tarif AS berdampak tidak menguntungkan bagi perekonomian Indonesia, baik dari sisi makroekonomi, perdagangan LN, tenaga kerja, sektor riil, maupun struktur harga/inflasi. Hampir seluruh indikator utama mengalami stabilitas terkontraksi.

 

Kebijakan tarif AS menciptakan shock eksternal negatif yang harus ditanggapi secara sistematis. Tanpa mitigasi yang kuat, Indonesia berisiko mengalami penurunan produktivitas, investasi, dan kesejahteraan rumah tangga secara simultan, dan tekanan fiskal dan pasar tenaga kerja. Respons jangka pendek harus fokus pada stabilisasi ekonomi rumah tangga dan sektor terdampak, sementara kebijakan jangka panjang diarahkan untuk membangun ketahanan struktural, diversifikasi mitra dagang, dan penguatan nilai tambah nasional.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1090/28/07/25 : 06.00 WIB)

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.