Oleh : Ahmad Sastra
Imperialisme Epistemologi
Kaum
pembangkang Allah tidak akan pernah
rela dan berhenti untuk berusaha memadamkan cahaya Islam, dimanapun dan sampai
kapanpun. Mereka tidak menginginkan kebangkitan Islam yang semakin dekat ini. Berbagai cara terus dilancarkan dari dulu
hingga kini. Jika merujuk pada sejarah, perjuangan Rasulullah selalu
dihalang-halangi oleh kaum kafir dan dikhianati oleh kaum munafik. Dari fitnah
hingga penyiksaan dan pembunuhan terus mereka lakukan.
Dalam sejarah
kebangkitan sebuah negara selalu diawali oleh kemajuan pemikiran bangsa
tersebut. Sebuah pemikiran Islam akan mengantarkan sebuah bangsa pada
kebangkitan Islam. Begitu pula pemikiran komunisme atau kapitalisme.
Masing-masing ideologi akan saling berbenturan dan bertolak belakang.
Karenanya benturan
ideologi adalah sebuah keniscayaan. Barat kafir kini tengah melancarkan
penjajahan pemikiran kepada umat Islam atau negeri-negeri muslim dengan
menggunakan para anteknya. Imperialisme epistemologis (ghozwul fikr) (QS.
Al Baqarah : 120 dan 217) ini setidaknya
memiliki empat karakteristik : Harakah At Tasykik, Harakah At Tasywih, Harakah At Tadzwib dan Hakarah At Taghrib.
Harakah At Tasykik yakni
menumbuhkan keraguan (skeptis) pada umat Islam akan kebenaran Islam. Diantara
keraguan yang mereka lancarkan adalah gugatan tentang otentitas Al Qur’an,
Islam sebagai Mohammadanisme, keraguan atas kerasulan Muhammad. Dampak dari at
tasykik adalah tumbuhnya sikap netralitas dan relativitas terhadap ajaran
Islam. Jika masih ada seorang muslim yang secara fanatik memahami Islam maka
mereka kemudian dicap sebagai fundamentalis, radikalis, islamist dan teroris.
Harakah At Tasywih,
yaitu menghilangkan rasa kebanggaan terhadap ajaran Islam dengan cara
memberikan stigma buruk terhadap Islam. Mereka dengan gencar mencitrakan Islam
secara keji melalui media-media. Islam dipresentasikan sebagai agama yang
antagonistik terhadap ide-ide kebebasan, HAM, demokrasi, pluralisme dan
nilai-nilai Barat lainnya. Dampak dari tasywih ini adalah menggejalanya
inferiority complex (rendah diri) pada diri umat Islam, islamopobhia,
pemujaan kepada Barat.
Harakah At Tadzwib,
yakni gerakan pelarutan (akulturasi) peradaban dan pemikiran. Dampaknya adalah terjebaknya umat Islam dalam
pemikiran pluralisme agama. Pluralisme jelas bertentangan dengan Islam. Sebab
pluralisme menurut WC Smith bermakna transendent unity of religion (wihdat al
adyan), dan global teologi menurut John Hick.
Hakarah At Taghrib
yakni gerakan westernisasi. Sebuah upaya penggiringan opini dan paradigma bahwa
sumber kemajuan adalah Barat. Maka jika ingin maju, harus mengikuti Barat. Padahal ideologi Barat tak ubahnya sebagai candu
dan racun yang akan membunuh pelan-pelan ghirah Islam.
Beberapa
langkah praktis untuk memadamkan cahaya Islam yang dilakukan olah para musuh
Islam adalah : Name Calling Device
(stigmatisasi Islam),
Gelittering
Generalaties Device ( perlambangan indah agar disenangi kaum muslim), Transfer Device (mempertalikan istilah dengan hal yang digemari orang
banyak], Testimonial Device (merujuk perkataan
orang-orang terkenal supaya dipercaya), Plainfolks Device
(berjuang atas nama membela rakyat), Card Stacking Device ( memutar balik fakta) dan Band Wagon Device (menggunakan musik dan slogan) (
Dorothy Mulgrave, dikutip Toha Jahja Omar, Ilmu Dakwah, 1967 : 3).
Taraf Berpikir Umat
Disinilah
pentingnya umat Islam terutama para dai terus meningkatkan taraf berfikir yang
mendalam dan cemerlang agar mampu membaca segala upaya musuh-musuh Islam
neomodernisme dan postmodernisme yang mencoba menggunakan bahasa-bahasa indah,
namun mengandung racun yang mematikan. Mereka akan terus memadamkan cahaya
Allah, namun Allah akan terus menyalakan cahayaNya.
Pemikiran
yang mendalam dan cemerlang akan melahirkan kesadaran ideologis yang kokoh yang
tak mungkin bisa ditembuh oleh tipu daya musuh-musuh Islam, meskipun dengan
bahasa-bahasa yang indah sekalipun. Kesadaran ideologi tak akan mampu tergoda
oleh ayat-ayat setan, apalagi hanya sekedar orientasi pragmatisme belaka. Allah
melarang dengan keras orang yang menjual agama dengan harga dunia yang hanya
secuil. Wahai kaum muslimin, cerdaslah dan sadarlah.
Tantangan
besar para dai hari ini adalah tantangan yang juga dihadapi oleh Rasulullah
zaman dulu, yakni hegemoni pemikiran menyimpang yang telah menjadikan
masyarakat kini sebagai masyarakat jahiliyah modern. Bedanya, jika dahulu
jahiliyah hanya dialami oleh kaum kafir, namun hari ini banyak kaum muslimin
yang telah terjerumus kepada budaya Barat jahiliyah.
Pemikiran
seperti demokrasi, sekulerisme, kapitalisme, liberalisme, feminisme, terorisme,
komunisme, nasionalisme, dan multikulturalisme adalah sebagian pemikiran Barat
yang kini tengah menghegemoni dunia Islam. Isme-isme jahiliyah modern ini
hanyalah reinkarnasi pemikiran jahiliyah zaman dahulu, hanya ganti nama,
sementara substansinya tetap sama.
Sikap
seseorang terhadap realitas inderawi maupun metafisik sangat bergantung kepada
pola fikirnya. Meski realitasnya sama, namun karena perbedaan pola fikir, maka
akan menghasilkan sikap yang berbeda. Sebagai contoh sikap kaum muslimin
terhadap ideologi demokrasi.
Ada
kaum muslimin yang percaya 100 persen terhadap kebenaran demokrasi, ada kaum
muslimin yang menjadikan demokrasi sebagai instrumen, ada juga kaum muslimin
yang melihat demokrasi sebagai ideologi batil yang secara diametral
bertentangan dengan Islam. Faktanya sama, tapi sikapnya berbeda. Sederhananya,
berfikir adalah menghukumi fakta.
Kaum
muslimin yang menerima sepenuhnya kebenaran demokrasi biasanya karena sejak
awal mereka bersentuhan dengan pemikiran Barat
dan tidak bersentuhan dengan epistemologi Islam sama sekali. Kaum
muslimin yang berfikir demikian biasanya hanya mengakses informasi tentang
demokrasi dari satu arah, terutama dari Barat.
Bahkan
mereka percaya bahwa demokrasi adalah sistem terbaik, sebaliknya mereka
mendengarkan bahwa Islam adalah sistem diktator yang ekstrim dan ketinggalan
zaman. Dari kondisi inilah, kaum muslimin tipe pertama ini meyakini sepenuhnya demokrasi dan justru
menolak sistem Islam untuk diterapkan dalam negara.
Sementara
tipologi kedua yakni kaum muslimin yang menganggap demokrasi hanyalah instrumen
didasarkan oleh ketidaktahuan hakekat demokrasi. Demokrasi dalam pandangan
muslim tipe dua ini hanya sebatas mekanisme politik seperti pemilu misalnya.
Dengan anggapan ini, mereka menganjurkan kaum muslimin untuk ikut andil dalam
parlemen dan memperjuangkan Islam di dalamnya.
Ada
yang tidak mereka sadari, bahwa di negara-negara demokratis justru menolak
Islam dan kaum muslimin. Lihat kondisi kaum muslimin di negara-negara
demokratis, bukan hanya islamnya ditolak, namun lebih dari itu, kaum muslimin
dituduh sebagai teroris sehingga layak diusir dan dibunuh. Padahal demokrasi
mengajarkan HAM, faktanya omong kosong. Tipe kedua ini tidak memahami demokrasi
dalam kontek hakekatnya.
Tipologi
ketiga melihat demokrasi sebagai fakta. Fakta demokrasi adalah sebuah ideologi
politik transnasional yang lahir dari kultur Barat yang secara definitif sangat multi-interpretatif, baik teoritis
maupun implementatif. Tak bisa
dipungkiri bahwa setiap penguasa negara berhak mengklaim negaranya sebagai
negara demokratis, meskipun nilai politik kekuasaannya yang diadopsi amat jauh
dari prinsip dasar demokrasi. Karena sifatnya yang multi-interpretatif itu,
lahirlah berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi
rakyat, demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi
pancasila, demokrasi parlementer, dan bentuk subyektifitas demokrasi lainnya.
Dalam konteks ini, Dawam tidak menjelaskan demokrasi tipologi yang mana yang
hendak disematkan dalam kata Islam.
Sebenarnya
perdebatan intelektual hubungan Islam dan demokrasi apakah kompatible atau
kontradiktif sudah terjadi sejak lama, terutama saat kaum intelektual muslim
bersentuhan dengan intelektualisme Barat. Meski demikian, belum ada hasil yang
benar-benar disepakati oleh kaum muslimin, sebab fakta di lapangan justru
negera-negara demokratis banyak yang menolak Islam itu sendiri. Bukti paling
anyar adalah ungkapan-ungkapan sarkasme Donald Trump dalam dalam setiap
kampanyenya yang melarang komunitas muslim untuk tinggal di Amerika.
Padahal
Amerika dikenal sebagai kampium demokrasi. Bahkan saat kaum muslimin dengan
partai Islamnya mengikuti perhelatan demokrasi dan memenangkan pemilu justru
dianggap tidak sah dan dianulir seperti yang terjadi di Mesir dan Aljazair di
masa lalu. Bahkan lebih dari itu, Dawan telah memaparkan fakta-fakta historis
penolakan sekulerisme demokrasi terhadap eksistensi Islam itu sendiri. Ini
sebenarnya membuktikan bahwa demokrasi sekuler adalah ideologi kontra agama.
Sumber
pemikiran demokrasi adalah filsafat sekulerisme. Sekulerisme sendiri adalah
paham yang mendistorsi peran etika Tuhan dalam ranah publik. Karena itu dalam
paradigma sekulerisme, agama di posisikan di ruang private. Adapun di ruang
publik yang berlaku adalah konsensus elite otoritas kekuasaan untuk
mengaturnya.
Meski
tak dipungkiri, demokrasi seringkali hanya sebagai kuda tunggangan kaum
kapitalis untuk menghegemoni ekonomi suatu negara. Itulah kenapa dalam negara
demokrasi, kemiskinan rakyat tak kunjung dapat diselesaikan. Wajah demokrasi
lebih sering nampak sebagai alat imperialisme atas negara-negara ketiga
dibanding formula politik bagi kesejahteraan rakyat.
Tipologi Pemikiran
Islam
Sementara
Islam tidak memiliki sifat sekuleristik. Sebab Islam adalah sebuah ideologi,
disamping ideologi kapitalisme sekuler dan komunisme atheis, yang secara
komprehensif mengatur masyarakat di seluruh aspek kehidupan, baik ranah publik
maupun ranah private. Dibawah prinsip-prinsip tauhid, Islam memiliki formulasi
yang paradigmatik integratif dalam ranah politik, ekonomi, pendidikan, budaya,
dan sosial. Seluruh aspek publik selalu dilandasi oleh etika dan hukum Islam.
Sementara demokrasi sekuler melandasinya dengan akal bebas yang sangat relatif.
Karena itu demokrasi yang secara genetik membawa gen sekulerisme jika dipadukan
dengan Islam akan nampak semacam sinkretisme epistemologis jika tidak hendak
dikatakan sebagai pemaksaan intelektual.
Memberikan
interpretasi dikhotomis antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat yang
tertera dalam surat Asy Syura : 38 dengan memisahkan antara urusan ibadah
individual dengan sosial adalah interpretasi sekuleristik yang bertentangan
dengan sifat Islam itu sendiri. Sebab jika benar interpretasi ini, kenapa ada
konsep ekonomi Islam, pendidikan Islam, politik Islam dan pemerintahan Islam.
Syuro
sendiri dalam Islam adalah model pengambilan keputusan masalah-masalah mubah
dan bersifat teknis, tidak pada wilayah hukum.
Sementara masalah-masalah yang telah jelas hukumnya, tak perlu di
musyawarahkan lagi. Mendikhotomi hal ini adalah bentuk distorsi dari
kesempurnaan Islam. Padahal QS Al Maidah : 3 telah dengan jelas kesempurnaan
Islam bagi landasan hukum seluruh aspek peradaban manusia.
Sebenarnya
implementasi demokrasi di berbagai negara lebih banyak merugikan Islam. Hal
ini menunjukkan indikasi yang jelas
bahwa sebenarnya demokrasi adalah ideologi politik sekuler yang tidak
kompatibel dengan Islam. Islam adalah ideologi khas yang berdasarkan wahyu
Allah dan memberikan rahmat bagi alam semesta. Otoritarisme penguasa muslim
tidaklah bijak jika dianggap representasi dari Islam itu sendiri.
Harus
dibedakan antara Islam dan muslim. Muslim yang melakukan kesalahan bukan
berarti Islam yang salah, justru muslim itu telah melanggar etika Islam. Sebab
jika Islam adalah otoriter yang destruktif tentu bertentangan dengan firman
Allah sendiri yang menegaskan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin (QS al Anbiyaa : 107).
Dibawah
panji Islam, Rasulullah dengan sangat indah menghadirkan kondisi paling ideal
dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara. Implementasi hukum dan etika
Islam telah memberikan keberkahan bagi siapa saja yang mau tunduk tanpa
mengenal perbedaan ras, suku, agama, dan warna kulit. Hukum-hukum Islam telah
memberikan keadilan dan kesejahteraan yang belum pernah dicapai oleh ideologi
lain sepanjang sejarah. Tentu saja Rasulullah mendasarkan seluruh gerakan
politiknya pada paradigma wahyu.
Rasulullah
adalah seorang oposisi sejati yang berdiri di luar sistem jahiliyah dengan
terus mengobarkan dakwah Islam hingga banyak kaum kafir yang masuk Islam.
Rasulullah menyadari sepenuhnya bahwa sistem jahiliyah bukanlah alat untuk
mencapai kemenangan Islam. Rasulullah tidak melakukan kompromi dengan hukum
jahiliyah saat menegakkan Islam. rasulullah juga tidak menggunakan kekerasan
dalam menegakkan Islam.
Metode
yang digunakan untuk mengembalikan
peradaban Islam ada tiga. Pertama,
dengan jalan kekerasan tanpa kompromi. Tentu jalan ini tidak dibenarkan oleh
Islam itu sendiri. Islam adalah agama damai, bukan agama teror. Ada sebagian
kecil kelompok gerakan yang menggunakan metode ini telah gagal, bahkan metode
ini telah melahirkan islam phobia yang sangat merugikan kaum muslimin di
seluruh dunia. Akibatnya umat Islam di berbagai negara menjadi sasaran
diskriminasi yang tidak manusiawi.
Kedua
dengan metode demokrasi kompromistis. Metode ini dilakukan oleh partai-partai
Islam yang mengikuti arus demokrasi dengan mengikuti pemilu. Harapannya dapat
menempatkan wakilnya sebagai anggota dewan dalam memperjuangkan aspirasi Islam.
Metode inipun nampaknya gagal. Sebab yang justru terjadi adalah proses
pendangkalan Islam dan proses pencampuran ideologi. Tentu jalan ini juga tidak
dibenarkan dalam Islam. Sebab Islam adalah agama yang tidak memberikan kompromi
bagi kebatilan, meski juga tidak melakukan kekerasan.
Ketiga
adalah gerakan dakwah politis yang non parlementer tanpa kekerasan. Gerakan ini
bertujuan memberikan edukasi politik sehingga melahirkan kecerdasan dan
kesadaran kaum muslimin akan situasi politik yang ada. Inilah metode yang dilakukan Rasulullah hingga tegak
supremasi hukum Islam di Madinah.
Pemaknaan
demokrasi sebagai syuro merupakan penyederhanaan masalah. Sebab demokrasi
tidaklah sesederhana mekanisme syuro. Demokrasi sesungguhnya adalah ideologi
politik yang lahir dari filsafat Barat, sebagaimana juga ideologi komunisme.
Sementara syuro adalah mekanisme pengambilan keputusan yang didasarkan oleh
nilai-nilai wahyu. Itulah kenapa produk
hukum demokrasi banyak bertentangan dengan produk hukum Islam. Di Indonesia sendiri
perda-perda syariah dianggap diskriminatif dan tidak sejalan dengan paradigma
demokrasi, meski perda itu hanya berlaku untuk kaum muslim.
Tidak
ada istilah demokrasi Islam, sebab istilah ini justru bagian dari imperialisme
epistemologi. Dengan term demokrasi
Islam yang cenderung sinkretis, akan memicu istilah-istilah lain sejenis
seperti sekulerisme Islam, liberalisme Islam, mederatisme Islam, sosialisme
Islam, pluralisme Islam atau bahkan
mungkin radikalisme Islam. Dua term yang memiliki asas yang berbeda, tidak
mungkin bisa disatukan. Kesempurnaan Islam tidak membutuhkan lagi label-label
primordialistik apalagi menyimpang. Karena itu Islam tidak perlu disandingkan
dengan demokrasi atau sebaliknya, keduanya berbeda secara asas dan paradigma.
Karena itu yang ada adalah pilihan, Islam atau demokrasi, jangan dicampur aduk.
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah
kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui [QS Al Baqarah : 42].
Dekolonialisasi Epistemologi
Dekolonisasi
epistemologi merupakan kerja intelektual yang bertujuan untuk membongkar dominasi
epistemologis Barat dalam sistem pengetahuan dan menggantinya dengan paradigma
alternatif yang berpijak pada tradisi dan worldview lokal, dalam hal ini Islam.
Dalam
konteks studi Islam, dekolonisasi ilmu berarti membebaskan kajian keislaman
dari cengkeraman pendekatan orientalis dan sekuler, sekaligus merekonstruksi
kembali ilmu berdasarkan nilai-nilai, prinsip, dan metode yang bersumber dari Islamic
worldview. Empat langkah dekolonisasi adalah, pertama, kritik epistemologi
barat. Kedua, kesadaran epistemic. Ketiga, penguatan Islamic Worldview. Kempat,
rekonstruksi ilmu dan kurikulum studi Islam di perguruan tinggi.
Istilah dekolonisasi ilmu
dalam konteks studi Islam mengacu pada upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari
dominasi, distorsi, dan kerangka berpikir yang diwariskan oleh kolonialisme
Barat, baik secara konseptual maupun metodologis. Proyek kolonialisme tidak
hanya menaklukkan wilayah fisik umat Islam, tetapi juga membentuk struktur
intelektual dan epistemologis yang menjadikan paradigma Barat—sekuler,
positivistik, dan reduksionis—sebagai standar tunggal dalam produksi dan
validasi ilmu pengetahuan (Said, 1978; Al-Attas, 1995).
Dekolonisasi ilmu, karena itu,
bukan hanya soal mengganti aktor atau institusi, tetapi merupakan proses
pembebasan dari hegemoni epistemik kolonial yang telah menjauhkan umat Islam
dari akar tradisi keilmuannya sendiri. Lebih dari itu, dekolonisasi menuntut adanya
rekonstruksi ilmu pengetahuan berbasis epistemologi lokal, dalam hal ini
epistemologi Islam, yang bersumber dari wahyu, akal, dan pengalaman historis
umat Islam. Epistemologi ini tidak sekadar alternatif teknis, melainkan suatu
sistem nilai dan cara pandang terhadap realitas yang bersifat integral,
normatif, dan transendental (Zarkasyi, 2019).
Dalam proses dekolonisasi studi
Islam, penggunaan Islamic worldview menjadi sangat penting dan mendesak.
Sebagai landasan ontologis, Islamic worldview memberikan pemahaman bahwa
realitas tidak bersifat netral atau bebas nilai, melainkan memiliki makna dan
tujuan yang ditentukan oleh Allah sebagai Pencipta. Secara epistemologis,
worldview Islam menegaskan bahwa ilmu tidak hanya diperoleh melalui observasi
atau logika rasional, tetapi juga melalui wahyu yang mutlak kebenarannya.
Sementara secara aksiologis, worldview ini menanamkan bahwa ilmu harus
diarahkan untuk mencapai kebaikan, keadilan, dan kebermaknaan spiritual dalam
kehidupan manusia (Al-Faruqi, 1982; Nasr, 1981).
Lebih jauh lagi, Islamic
worldview berperan sebagai penghubung antara wahyu, akal, dan realitas
sosial. Dalam tradisi Islam, tidak ada pertentangan antara ketiganya; wahyu
memberikan petunjuk ilahi, akal menjadi alat tafsir dan analisis, sedangkan realitas
sosial adalah medan pengamalan ilmu. Sinergi ini sangat kontras dengan
pendekatan Barat yang memisahkan antara yang sakral dan yang profan, antara
agama dan ilmu, antara nilai dan fakta. Maka, hanya dengan kerangka Islamic
worldview, studi Islam dapat dikembalikan pada kedudukan aslinya sebagai
disiplin keilmuan yang menyatukan iman, ilmu, dan amal.
Urgensi dekolonisasi studi Islam
semakin terasa di tengah krisis identitas keilmuan di banyak perguruan tinggi
Islam, di mana ilmu diajarkan tanpa ruh, nilai-nilai agama dikaji tanpa arah
transendental, dan lulusan dibentuk tanpa kesadaran epistemik yang utuh. Oleh
karena itu, upaya dekolonisasi harus dimulai dengan menyusun kembali kerangka
ilmu yang berpijak pada pandangan hidup Islam, yang mampu menjawab tantangan
kontemporer sekaligus menjaga keotentikan warisan intelektual Islam.
Dominasi epistemologi Barat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan modern, termasuk dalam studi Islam, telah
menimbulkan berbagai problem epistemologis dan metodologis. Banyak perguruan
tinggi, termasuk di dunia Muslim, masih menggunakan paradigma orientalis dan
sekuler sebagai dasar pengkajian Islam.
Hal ini mengakibatkan marjinalisasi
epistemologi Islam, pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum, serta
dekontekstualisasi nilai-nilai ilahiyah dari proses akademik. Untuk menjawab
krisis ini, diperlukan sebuah kerangka dekolonial yang tidak hanya bersifat
reaktif, tetapi juga autentik, konstruktif, dan relevan. Dalam konteks ini, Islamic
worldview hadir sebagai formula yang komprehensif dan solutif.
Islamic worldview (pandangan hidup Islam) adalah
sistem pemikiran integral yang menjelaskan hakikat realitas (ontologi), cara
memperoleh pengetahuan (epistemologi), dan orientasi nilai serta tujuan hidup
(aksiologi). Dengan menjadikan tauhid sebagai poros utama, worldview Islam
menyatukan seluruh aspek keberadaan—Tuhan, manusia, dan alam—dalam satu
kesatuan makna dan fungsi. Hal ini menjadikan ilmu pengetahuan tidak bebas
nilai, tetapi harus diarahkan kepada pengakuan dan pengabdian kepada Allah
sebagai tujuan tertinggi.
Sebagai kerangka epistemologis, Islamic
worldview mengakui tiga sumber pengetahuan: wahyu, akal, dan intuisi (‘ilm
laduni), yang semuanya saling melengkapi. Pendekatan ini berbeda dari
epistemologi Barat yang bersifat empiris-rasional semata, dan sekaligus menolak
relativisme pascamodern yang mengaburkan kebenaran objektif. Dalam Islam, ilmu
adalah amanah dan sarana untuk menegakkan keadilan serta membangun peradaban (tamaddun)
yang beradab.
Sebagai kerangka dekolonial, Islamic
worldview memiliki tiga fungsi utama: pertama, fungsi emansipatoris yakni
upaya membebaskan studi Islam dari struktur pengetahuan kolonial yang
menempatkan Islam sebagai objek pasif dan inferior. Kedua, fungsi rekonstruktif,
yakni menawarkan paradigma alternatif yang berakar pada khazanah keilmuan Islam
dan bersifat integratif.
Ketiga, fungsi normatif kritis
dengan memberikan dasar etis dan spiritual dalam membangun ilmu yang tidak
sekadar faktual, tetapi juga bermakna dan berorientasi pada maqāṣid (tujuan-tujuan
syariat). Dengan demikian, dekolonisasi ilmu tidak berhenti pada pembongkaran
wacana Barat, tetapi berlanjut pada pembentukan sistem keilmuan yang re-rooted
dalam tradisi Islam dan relevant terhadap tantangan zaman.
Di lingkungan perguruan tinggi,
penerapan Islamic worldview sebagai kerangka keilmuan memiliki relevansi
strategis. Pertama, ia memungkinkan integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum,
sehingga menghapus dikotomi yang telah lama mengakar. Kedua, ia membentuk
kurikulum yang menyatukan antara akal dan wahyu, antara keahlian teknis dan
komitmen moral. Ketiga, ia mencetak lulusan yang tidak hanya kompeten secara
akademik, tetapi juga memiliki kesadaran transendental dan tanggung jawab
sosial sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam konteks ini, Islamic
worldview bukanlah proyek nostalgik atau romantik, melainkan tawaran sistem
pengetahuan yang otentik dan mampu merespons tantangan global secara kritis dan
kreatif. Ia menjembatani tradisi dan modernitas, ilmu dan iman, serta teori dan
praksis dalam satu paradigma yang utuh.
Dengan menjadikan Islamic
worldview sebagai mabda’ dan kerangka dekolonial, studi Islam di perguruan
tinggi dapat diarahkan kembali kepada akar filosofis dan spiritualnya. Formula
ini tidak hanya membebaskan umat Islam dari subordinasi intelektual, tetapi
juga membentuk struktur keilmuan yang adil, integral, dan berorientasi pada
kemaslahatan. Inilah langkah strategis untuk membangun peradaban ilmu yang
beradab—berbasis wahyu, dipandu oleh akal, dan berakar dalam nilai-nilai
ilahiyah.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
1078/21/07/25 : 05.25 WIB)