Oleh
: Ahmad Sastra
Ketika Dunia Masih Membisu
Dunia, setidaknya yang masih berpihak pada
kemanusiaan dan moralitas, lagi-lagi dibuat geram oleh tindakan Israel. Senin,
9 Juni, militer Israel mencegat kapal Madleen, sebuah kapal sipil berbendera
Inggris yang tengah membawa bantuan ke Gaza dalam misi kemanusiaan yang
dinaungi oleh Freedom Flotilla Coalition.
Pasukan Israel menahan belasan aktivis tak
bersenjata yang berada di kapal tersebut, termasuk aktivis lingkungan asal
Swedia, Greta Thunberg. Selasa, 10 Juni, Israel menyebut Greta dan aktivis
lainnya sudah dideportasi, dengan Greta sendiri diterbangkan ke Prancis.
Tak perlu analisis rumit untuk menunjukkan
bahwa Israel telah melanggar sejumlah aturan internasional, mulai dari Konvensi
Jenewa, Statuta Roma 1998, Konvensi Hukum Laut PBB, Putusan Mahkamah
Internasional tahun 2024, hingga prinsip kemanusiaan internasional.
Sudah sejak lama Israel melakukan
pelanggaran hukum, mengabaikan prinsip kemanusiaan dan terus melakukan genosida
terhadap rakyat Palestina. Kali ini, yang patut kita pertanyakan kembali adalah
sikap negara-negara Barat—mengingat sebagian para aktivis tersebut berasal dari
negara-negara Eropa.
Pemerintah negara-negara Barat, yang
selama ini mengklaim menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan sipil, belum
menunjukkan keberpihakan yang jelas terhadap kehidupan warga Palestina. Bahkan
ketika itu sampai melibatkan warga sipil mereka sendiri, dukungan ekonomi tak
kunjung datang, pesan-pesan solidaritas pun tak terdengar dari lembaga-lembaga
resmi mereka.
Argumentasi sederhananya adalah pembebasan
Palestina tidak sejalan dengan kepentingan Barat yang dipimpin Amerika Serikat
(AS).
Tapi kini, semakin banyak orang yang
bergabung dalam aksi protes, menyerukan agar Israel segera mengakhiri genosida
di Gaza. Sikap diam negara-negara Barat dan mungkin juga negara lainnya semakin
nyata di seluruh dunia. Saat Israel terus berupaya menghapus Palestina dari
peta, apakah dunia masih akan diam saja, khususnya negeri-negeri muslim ?
Saatnya Negeri Muslim Bersatu
Sudah lebih dari tujuh dekade rakyat Palestina hidup
dalam bayang-bayang penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan. Dari pendudukan
wilayah hingga blokade ekonomi, dari pembatasan hak dasar hingga serangan
militer yang merenggut ribuan nyawa sipil tak berdosa—semuanya berlangsung di
depan mata dunia. Namun, tragedi kemanusiaan ini terus dibiarkan, seolah suara
rakyat Palestina tak pernah cukup lantang untuk mengguncang nurani global.
Di tengah keheningan dunia internasional, harapan
besar tertuju pada negeri-negeri Muslim. Dengan lebih dari 50 negara anggota
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan populasi Muslim yang mencapai lebih dari
1,9 miliar jiwa di seluruh dunia, potensi kekuatan politik, ekonomi, dan moral
umat Islam sangat besar. Sayangnya, perpecahan internal, kepentingan politik
sempit, serta dominasi kepentingan asing membuat solidaritas terhadap Palestina
seringkali hanya menjadi retorika tanpa tindakan nyata.
Kini saatnya negeri-negeri Muslim bersatu. Persatuan
umat bukan lagi pilihan, tapi kewajiban moral, spiritual, dan kemanusiaan.
Pembebasan Palestina bukan hanya soal wilayah, tetapi tentang mengembalikan hak
asasi manusia yang dirampas, menjaga kehormatan Masjid Al-Aqsa, dan menegakkan
keadilan yang sudah lama dikubur.
Kekuatan diplomatik harus dimaksimalkan. Tekanan
kolektif kepada PBB dan lembaga internasional harus ditingkatkan. Negara-negara
Muslim perlu bersatu menyuarakan sikap tegas, menolak normalisasi yang
mengabaikan penderitaan rakyat Palestina, dan mendukung upaya-upaya konkret
seperti pemboikotan produk Israel, embargo senjata, serta dukungan kemanusiaan
dan medis yang berkesinambungan.
Solidaritas tidak hanya milik para pemimpin. Dari
ulama hingga pemuda, dari akademisi hingga seniman, seluruh elemen umat harus
bergerak. Media sosial, forum publik, hingga mimbar masjid dapat menjadi alat
perjuangan untuk menyuarakan kebebasan Palestina. Umat Islam harus berhenti
diam dan mulai bergerak.
Palestina adalah cermin kehormatan umat. Selama
Al-Quds masih dijajah, selama anak-anak Palestina masih hidup dalam ketakutan,
selama suara mereka masih dibungkam oleh peluru dan bom, maka tanggung jawab
itu belum selesai.
Inilah saatnya negeri-negeri Muslim membuktikan bahwa
mereka bukan hanya kumpulan negara dengan mayoritas Muslim, tapi satu umat yang
satu hati, satu rasa, dan satu tujuan: membebaskan Palestina dari penjajahan
Israel, demi keadilan dan perdamaian yang hakiki.
Khilafah Pembebas Palestina
Palestina, tanah suci yang diberkahi, terus merintih
dalam cengkeraman penjajahan. Sejak berdirinya negara ilegal Israel pada tahun
1948, tanah para nabi ini telah menjadi saksi bisu penderitaan yang tak
berkesudahan. Rakyat Palestina terusir dari tanah mereka, dibatasi geraknya,
dibunuh tanpa keadilan, dan hidup dalam blokade yang menyesakkan. Dunia
menyaksikan, namun diam. Negeri-negeri Muslim pun terpecah, gamang, dan tak
berdaya menghadapi agresi yang sudah terang-terangan melanggar hukum dan nilai
kemanusiaan.
Pertanyaannya: sampai kapan kita membiarkan ini
terjadi?
Dalam setiap doa dan demonstrasi, umat Islam
menyerukan kebebasan bagi Palestina. Namun, seruan itu tak cukup tanpa kekuatan
politik yang nyata. Di sinilah pentingnya Khilafah—sebuah institusi
kepemimpinan umum bagi seluruh umat Islam yang akan menyatukan negeri-negeri
Muslim dalam satu barisan perjuangan. Khilafah bukan sekadar simbol sejarah,
tapi kebutuhan mendesak bagi umat yang tercerai-berai dan kehilangan arah.
Khilafah adalah kepemimpinan yang akan menyatukan
kekuatan militer, politik, ekonomi, dan spiritual umat Islam untuk membela
kehormatan kaum Muslimin dan membebaskan negeri-negeri yang terjajah, termasuk
Palestina. Di bawah Khilafah, tidak akan ada normalisasi dengan penjajah. Tidak
akan ada konferensi damai palsu yang mengabaikan penderitaan rakyat. Tidak akan
ada kompromi terhadap tanah yang secara syar'i adalah milik umat Islam.
Khilafah bukan berarti perang tanpa akhir, melainkan
pembebasan yang berdasarkan keadilan dan hukum Allah. Ia bukan kekuatan
destruktif, tapi penyelamat umat dari keterpurukan, kebodohan, dan penjajahan
dalam segala bentuknya. Dengan Khilafah, umat Islam memiliki satu pemimpin,
satu visi, dan satu suara yang tidak dapat dipecah oleh kepentingan asing atau
sekat nasionalisme sempit.
Sejarah mencatat, di masa Khilafah, Palestina
dibebaskan oleh Salahuddin Al-Ayyubi, bukan dengan diplomasi kosong, tetapi
dengan kekuatan iman, persatuan umat, dan strategi militer yang terarah. Kini,
sejarah menanti pengulangan kemenangan itu—bukan dalam bentuk nostalgia, tapi
dalam bentuk gerakan nyata menuju perubahan sistemik.
Palestina tidak akan pernah benar-benar bebas selama
umat Islam masih terpecah dan tunduk pada sistem kapitalisme global yang
melanggengkan penjajahan. Solusinya bukan sekadar simpati, bukan sekadar
bantuan kemanusiaan sesaat, tetapi perubahan total menuju sistem pemerintahan
Islam yang menerapkan syariah secara kaffah.
Khilafah adalah janji Allah dan bisyarah (kabar
gembira) dari Rasulullah ï·º. Dan
kebebasan Palestina adalah salah satu buah dari janji itu. Maka, tugas kita
bukan hanya mendoakan Palestina, tetapi juga bekerja sungguh-sungguh untuk
menegakkan Khilafah yang akan membebaskannya.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1077/20/07/25 : 09.37 WIB)