Oleh : Ahmad Sastra
Kajian Islam modern, khususnya di
lingkungan akademik Barat, berkembang dalam kerangka epistemologis yang secara
fundamental berbeda dari tradisi intelektual Islam. Sejak abad ke-18, studi
Islam secara formal dikembangkan oleh para orientalis Eropa dalam konteks
kolonialisme dan proyek intelektual modernisme. Dalam perkembangannya, kajian
Islam ini dibentuk oleh dominasi paradigma keilmuan Barat yang bersifat positivistik,
historis-kritis, dan sekuler, yang kemudian diadopsi
secara luas, bahkan oleh banyak perguruan tinggi Islam di dunia Muslim.
Paradigma positivistik
menekankan pengamatan empiris dan metode ilmiah sebagai satu-satunya jalan sah
untuk memperoleh pengetahuan. Dalam konteks studi Islam, pendekatan ini berusaha
menjelaskan agama Islam sebagai fenomena sosial dan budaya yang dapat diukur,
diklasifikasikan, dan dijelaskan melalui data empiris. Agama tidak dilihat
sebagai sistem kepercayaan transenden, melainkan sebagai produk sejarah dan
masyarakat yang dapat dianalisis secara objektif, terlepas dari klaim kebenaran
ilahiyahnya (Hoodbhoy, 1991).
Sementara itu, pendekatan historis-kritis
memperlakukan teks-teks keagamaan, khususnya al-Qur’an dan Hadis, dengan metode
kritik tekstual dan filologis yang dikembangkan dalam studi Bibel. Al-Qur’an
tidak dilihat sebagai firman Tuhan yang mutlak dan suci, tetapi sebagai teks
sejarah yang perlu "diekstraksi" konteks aslinya. Pendekatan ini
memunculkan anggapan bahwa teks suci dapat dikritisi, diinterpretasi ulang
secara bebas, atau bahkan disamakan dengan produk budaya biasa (Wansbrough,
1977; Rippin, 1985).
Selanjutnya, sekularisme
menjadi basis filsafat pengetahuan dalam banyak kajian Islam di Barat, di mana
agama dipisahkan dari ranah publik dan ilmu pengetahuan dianggap netral
terhadap nilai. Studi Islam dalam kerangka sekuler cenderung mengesampingkan
aspek normatif, spiritual, dan transenden dari Islam, serta meminimalkan peran
wahyu sebagai sumber pengetahuan. Islam diposisikan bukan sebagai sistem
kehidupan, melainkan sebagai objek riset ilmiah yang tunduk pada asumsi-asumsi
modernitas (Said, 1978; Nasr, 1981).
Pengaruh ketiga paradigma ini
sangat signifikan dalam membentuk cara pandang dan metodologi studi Islam
kontemporer. Bahkan di banyak universitas Islam di dunia Muslim, pendekatan ini
direplikasi dalam desain kurikulum dan penelitian, tanpa evaluasi kritis
terhadap implikasi epistemologis dan ideologisnya. Akibatnya, muncul ketegangan
antara ilmu yang diproduksi di lingkungan akademik dan nilai-nilai dasar Islam
itu sendiri.
Kondisi ini menunjukkan adanya kebutuhan
mendesak untuk melakukan evaluasi dan reposisi epistemologis
dalam studi Islam. Islam perlu dipahami dan dikaji berdasarkan worldview-nya
sendiri, bukan semata-mata melalui instrumen analisis Barat yang sering kali
reduksionis dan bias. Dalam hal ini, paradigma Islamic worldview menawarkan pendekatan
alternatif yang tidak hanya mempertahankan otentisitas Islam sebagai agama
wahyu, tetapi juga mampu mengintegrasikan dimensi intelektual, spiritual, dan
sosial secara holistik.
Salah satu persoalan krusial dalam
pengembangan studi Islam kontemporer, khususnya di lingkungan perguruan tinggi,
adalah tidak kritisnya adopsi metodologi keilmuan Barat ke dalam studi Islam.
Banyak pendekatan yang digunakan dalam penelitian dan pengajaran studi Islam
bersumber dari paradigma epistemologis Barat, seperti positivisme,
strukturalisme, atau pendekatan historis-kritis, namun diadopsi tanpa evaluasi
filosofis maupun konseptual terhadap kesesuaian pendekatan tersebut dengan
prinsip dasar epistemologi Islam. Akibatnya, terjadi apa yang disebut oleh
Al-Attas (1995) sebagai “confusion of knowledge”, yakni kekacauan dalam
pemahaman dan penyusunan ilmu pengetahuan yang tidak lagi berakar pada
pandangan hidup Islam.
Ketika metodologi Barat digunakan
tanpa kritik, maka nilai-nilai dasar Islam seperti tauhid, wahyu, dan akhlak
profetik seringkali tidak masuk dalam kerangka analisis akademik. Inilah yang
melahirkan fenomena dekontekstualisasi nilai-nilai Islam, dimana teks-teks suci
seperti al-Qur’an dan Hadis dikaji secara linguistik, sosiologis, atau
antropologis semata, tetapi terlepas dari kesakralan dan kerangka makna
spiritualnya. Dalam kondisi ini, ajaran Islam berpotensi direduksi menjadi
konstruksi budaya atau simbol-simbol sosial yang bersifat historis belaka,
bukan sebagai petunjuk hidup yang transenden dan normatif (Nasr, 1981; Arif,
2008).
Lebih jauh lagi, problem yang tak
kalah penting adalah fragmentasi ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan
tinggi Islam. Ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (sains, sosial, teknologi)
dipisahkan secara institusional maupun epistemologis. Ilmu agama diajarkan di
fakultas syariah, ushuluddin, atau dakwah, sementara ilmu umum diajarkan di
fakultas sains atau sosial, tanpa integrasi yang berarti. Padahal dalam tradisi
Islam klasik, tidak pernah ada dikotomi antara ‘ilm ad-din dan ‘ilm
ad-dunya; keduanya merupakan bagian dari amanah intelektual yang ditujukan
untuk membangun peradaban Islam yang seimbang antara spiritualitas dan
rasionalitas (Al-Faruqi, 1982; Zarkasyi, 2019).
Fragmentasi ini telah melahirkan
lulusan yang terjebak dalam dualisme intelektual: satu sisi menguasai aspek
teknis keilmuan modern, namun terputus dari nilai-nilai ilahiyah; di sisi lain
memahami agama secara normatif, tetapi tidak mampu membumikan ajarannya ke
dalam konteks sosial dan ilmiah modern. Krisis integrasi ini menjadi tantangan
besar bagi dunia pendidikan tinggi Islam dalam upayanya membentuk manusia yang kāmil,
yakni insan yang utuh secara intelektual, spiritual, dan sosial.
Oleh karena itu, perlu ada upaya
serius untuk membangun kembali paradigma keilmuan Islam yang integral, kritis
terhadap dominasi Barat, dan berakar pada Islamic worldview sebagai
basis epistemologis, ontologis, dan aksiologis dalam pengembangan studi Islam.
Pandangan dunia Islam (worldview Islam) adalah
perspektif yang menyeluruh dan komprehensif tentang kehidupan, realitas, dan
eksistensi yang dibentuk oleh ajaran-ajaran Islam. Pandangan ini mempengaruhi
bagaimana umat Muslim melihat dunia, berinteraksi dengan orang lain, serta
memahami tujuan dan tempat mereka di alam semesta.
Konsep aqidah atau tauhid merupakan dasar dari
pandangan dunia Islam. Umat Muslim percaya bahwa Allah adalah satu-satunya
pencipta, pemelihara, pengatur dan penguasa alam semesta. Allah tidak memiliki
sekutu, dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Kepercayaan pada keesaan Allah
ini membentuk setiap aspek kehidupan suatu negara, yang mengarah pada pemahaman
bahwa semua kebijakan, undang-undang, hubungan luar negeri, ekonomi,
pendidikan, budaya dan hukum harus
sesuai dengan kehendak Allah, yakni syariat Islam.
Allah berfirman : Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", (QS An Nahl : 36). Dan Kami tidak
mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya:
"Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah
olehmu sekalian akan aku". (QS Al Anbiya : 25). Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku. (QS Adz Dzariyat : 56) . Hanya Engkaulah yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan (QS Al Fatihah :5)
Islam mengatur rakyat dari bangun tidur hingga tidur
lagi, dari doa masuk toilet hingga bagaimana mendirikan sebuah negara dan
membangun peradaban. Allah berfirman : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu. (QS Al Maidah : 3). "Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima,
dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali
'Imran: 85).
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1079/21/07/2025 : 05.42
WIB)