FENOMENA DEGRADASI MORAL DAN PENDIDIKAN SEBAGAI SOLUSI SISTEMIK



 

Oleh: Ahmad Sastra

 

Fenomena degradasi moral yang melanda berbagai lapisan masyarakat, khususnya generasi muda, telah menjadi perhatian serius dalam diskursus sosial, budaya, dan pendidikan. Perilaku menyimpang, seperti kekerasan, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, korupsi, hingga rendahnya empati sosial menunjukkan adanya krisis nilai yang sistemik.

 

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji akar penyebab degradasi moral serta mengusulkan pendidikan sebagai solusi sistemik, bukan sekadar instrumen teknis, tetapi sebagai medium transformasi nilai dan karakter manusia. Dengan pendekatan kualitatif-deskriptif dan kajian pustaka, tulisan ini menegaskan urgensi reformasi paradigma pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter berbasis nilai moral universal dan transendental.

 

Kondisi sosial saat ini memperlihatkan realitas yang memprihatinkan: meningkatnya perilaku menyimpang, rendahnya toleransi, maraknya kekerasan di kalangan pelajar, dan menguatnya budaya instan serta materialisme. Fenomena ini sering dirujuk sebagai bagian dari degradasi moral, yaitu kemunduran atau kemerosotan dalam nilai dan etika yang seharusnya menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat.

 

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia merupakan akumulasi dari proses panjang krisis nilai dalam sistem sosial, ekonomi, dan budaya, termasuk di dalamnya peran sistem pendidikan yang kurang efektif dalam membentuk karakter generasi muda. Oleh karena itu, pendidikan perlu dilihat sebagai solusi bukan hanya sektoral, tetapi sistemik—yakni menyentuh akar persoalan dan membentuk manusia secara utuh.

 

Degradasi moral ditandai oleh: (1) Menurunnya kesadaran etis dalam berperilaku sosial (Santrock, 2011). (2) Krisis kejujuran dan tanggung jawab, sebagaimana terlihat dalam praktik korupsi dan kecurangan di berbagai sektor (Transparency International, 2023). (3) Maraknya perilaku konsumtif dan hedonistik, terutama pada generasi muda (Arnett, 2002). (4) Minimnya kesadaran spiritual dan nilai-nilai luhur, yang tergeser oleh budaya populer dan teknologi tanpa filter.

 

Akar dari degradasi ini dapat dijelaskan melalui beberapa faktor: (1) Keluarga yang tidak fungsional, di mana peran orang tua sebagai pendidik utama dalam nilai dan etika mulai melemah (Bronfenbrenner, 1979). (2) Lingkungan sosial permisif, yang mentoleransi penyimpangan demi kebebasan. (3) Media dan teknologi yang tidak terkendali, menjadi sumber nilai baru yang tidak selalu sesuai dengan norma. (4) Pendidikan yang cenderung kognitif-sentris, menekankan aspek akademik, namun mengabaikan pendidikan nilai (Nashih, 2019).

 

Pendidikan memiliki potensi besar sebagai alat rekonstruksi moral, asalkan dijalankan secara serius dan menyeluruh. Pendidikan bukan hanya proses transfer pengetahuan, tetapi proses pembentukan manusia beradab (insan kamil). Oleh karena itu, pendidikan karakter harus menjadi arus utama dalam seluruh jenjang dan pendekatan pendidikan.

 

Beberapa prinsip pendidikan sebagai solusi sistemik meliputi: Pertama, Integrasi Nilai Moral dan Spiritualitas. Nilai moral tidak cukup diajarkan sebagai mata pelajaran (misalnya PPKn atau Pendidikan Agama), tetapi harus menjadi roh dari seluruh proses pendidikan, mulai dari kurikulum, metode belajar, hingga interaksi di lingkungan sekolah (Lickona, 1991).

 

Kedua, Keteladanan (Uswah Hasanah). Pendidikan karakter paling efektif bukan dari ceramah, tetapi dari keteladanan guru dan orang tua. Nilai ditangkap, bukan hanya diajarkan. Keteladanan merupakan prinsip dalam pendidikan Islam dan universal (Al-Attas, 1980).

 

Ketiga, Pendidikan Kontekstual dan Kritis. Siswa perlu dilatih berpikir kritis terhadap realitas sosial dan budaya yang mereka hadapi. Tujuannya bukan hanya adaptasi, tapi transformasi sosial berbasis nilai kebaikan dan keadilan (Freire, 1970).

 

Keempat, Keterlibatan Komunitas dan Keluarga. Sekolah bukan satu-satunya aktor pendidikan. Diperlukan sinkronisasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat agar nilai-nilai yang diajarkan memiliki kekuatan pembentukan karakter secara menyeluruh (Epstein, 2001).

 

Dalam konteks Indonesia, pendidikan tidak bisa lepas dari nilai religius yang menjadi bagian dari identitas kultural bangsa. Nilai transendental, yang bersumber dari agama, memiliki kekuatan mendalam untuk membentuk karakter manusia yang bertanggung jawab tidak hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada Tuhan.

 

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan yang berakar pada nilai spiritual cenderung lebih berhasil dalam membentuk perilaku prososial, empati, dan integritas moral (Narvaez, 2006). Oleh karena itu, pendidikan yang mengabaikan dimensi spiritual akan kehilangan arah, menjadikan moralitas hanya sebagai wacana, bukan laku hidup.

 

Degradasi moral merupakan persoalan serius dan multidimensional yang tidak cukup diselesaikan dengan solusi parsial. Pendidikan, bila dipahami dan dijalankan secara utuh, dapat menjadi solusi sistemik untuk membentuk manusia berkarakter, bermoral, dan berintegritas.

 

Namun, hal ini menuntut transformasi mendalam dalam paradigma pendidikan: dari yang bersifat kognitif-instrumental menjadi pendidikan yang membentuk manusia utuh, melalui integrasi nilai moral, spiritualitas, dan keteladanan. Maka pendidikan yang menyentuh akar moral bukan hanya sebuah alternatif, tapi keharusan historis dan peradaban.

 

Daftar Pustaka

  • Al-Attas, S.M.N. (1980). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
  • Arnett, J.J. (2002). Adolescents in Western and Non-Western Countries: Cultural Differences in Self-Reported Values. Child Development.
  • Bronfenbrenner, U. (1979). The Ecology of Human Development. Harvard University Press.
  • Epstein, J.L. (2001). School, Family, and Community Partnerships: Preparing Educators and Improving Schools. Westview Press.
  • Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum.
  • Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
  • Narvaez, D. (2006). Integrative Ethical Education. Handbook of Moral Development.
  • Nashih, M. (2019). Krisis Nilai dan Tantangan Pendidikan Karakter di Era Globalisasi. Jurnal Pendidikan Islam, 5(2), 123–134.
  • Santrock, J.W. (2011). Life-span Development. 13th Ed. McGraw-Hill

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1085/24/07/25 : 21.08 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.