KHILAFAH, INSTITUSI POLITIK PEMERSATU UMAT ISLAM DUNIA



 

Oleh: Ahmad Sastra

 

Kehilangan institusi politik pemersatu setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah pada 1924 telah meninggalkan dampak besar bagi dunia Islam. Umat Islam saat ini terfragmentasi dalam berbagai negara bangsa dengan sistem politik, hukum, dan kepentingan yang sering kali bertentangan.

 

Artikel ini menganalisis konsep Khilafah sebagai institusi politik Islam yang bersifat transnasional dan potensinya untuk menjadi pemersatu umat Islam secara global. Dengan pendekatan normatif-teologis dan historis, tulisan ini membahas landasan syar’i Khilafah, peranannya dalam menyatukan umat, serta tantangan dan relevansinya dalam konteks kontemporer.

 

Umat Islam merupakan komunitas global (ummah) yang memiliki akidah, nilai, dan sejarah bersama. Namun realitas geopolitik kontemporer menunjukkan bahwa umat ini terpecah ke dalam lebih dari 50 negara yang dibentuk oleh perjanjian kolonial pasca-Perang Dunia I, seperti Perjanjian Sykes-Picot (1916) dan Traktat Lausanne (1923). Sejak saat itu, tidak ada satu pun entitas politik yang secara resmi mewakili kepentingan seluruh umat Islam.

 

Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924 menandai berakhirnya institusi formal pemersatu umat. Dalam konteks ini, wacana kebangkitan Khilafah sebagai institusi politik transnasional menjadi penting untuk dikaji, bukan hanya dari sudut pandang historis, tetapi juga dalam menjawab tantangan disintegrasi, penjajahan modern, dan lemahnya posisi umat Islam dalam kancah global.

 

Secara terminologis, Khilafah berasal dari kata khalafa yang berarti menggantikan. Dalam konteks politik Islam, Khilafah berarti kepemimpinan umum bagi kaum Muslimin di seluruh dunia untuk menegakkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan (al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, 1996).

 

Menurut para ulama klasik seperti: (1) Imam an-Nawawi (w. 676 H): "Sepakat para ulama bahwa wajib atas kaum Muslimin mengangkat seorang Khalifah." (Syarh Shahih Muslim). (2) Imam Ibn Khaldun (w. 808 H): “Khilafah adalah pengganti dari kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (Muqaddimah, 1377 H). Kewajiban ini bersifat fardhu kifayah, dan absennya Khilafah dianggap sebagai sumber kekacauan dan keterpecahan umat.

 

Khilafah sejak masa Abu Bakar ash-Shiddiq hingga Utsmaniyah berfungsi sebagai institusi: (1) Pemersatu wilayah dan umat lintas etnis dan bahasa di bawah satu kepemimpinan. (2) Pelindung aqidah dan hukum syariah dalam seluruh bidang kehidupan: politik, ekonomi, sosial, pendidikan, militer. (3) Pengatur diplomasi dan pertahanan terhadap agresi luar.

 

Selama masa Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah, umat Islam mengalami kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan, perdagangan, dan peradaban. Sebaliknya, sejak ketiadaan Khilafah, dunia Islam mengalami penjajahan, intervensi asing, dan konflik internal yang tiada henti (Esposito, 1998).

 

Tanpa institusi Khilafah, umat Islam menghadapi berbagai krisis: (1) Politik. Negara-negara Muslim terpecah dan sering berkonflik satu sama lain (contoh: Saudi vs. Iran, konflik di Suriah dan Yaman). (2) Ekonomi. Dunia Islam kaya sumber daya, tetapi tetap bergantung pada sistem kapitalis global. (3) Budaya dan Hukum. Syariat Islam tidak diterapkan secara komprehensif, dan umat mengalami sekularisasi sistemik. (4) Diplomasi dan keamanan. Tidak ada satu pun negara Muslim yang mampu membela kepentingan umat Islam secara global, seperti isu Palestina, Rohingya, Uighur, dan lainnya.

 

Khilafah bukan hanya solusi teologis, tetapi juga solusi strategis untuk menyatukan kekuatan dunia Islam: (1) Politik luar negeri Islam (siyasah kharijiyah) akan diarahkan untuk melindungi umat, bukan tunduk pada kepentingan negara-negara adidaya. (2) Ekonomi syariah terintegrasi akan memungkinkan kemandirian, pengelolaan sumber daya bersama, dan penghapusan ketimpangan antarnegara Muslim. (3) Sistem hukum Islam akan diberlakukan secara menyeluruh, memastikan keadilan bagi seluruh warga, Muslim maupun non-Muslim (dzimmi). (4) Persatuan militer dan pertahanan akan menggantikan sistem aliansi militer ad-hoc seperti OKI atau Liga Arab yang tidak efektif.

 

Khilafah adalah institusi politik Islam yang memiliki legitimasi syar’i dan rekam jejak historis sebagai pemersatu umat. Dalam konteks dunia Muslim yang terfragmentasi dan lemah di bawah sistem internasional buatan kolonial, kebangkitan Khilafah bukan hanya sebuah tuntutan ideologis, tetapi kebutuhan mendesak untuk mengembalikan martabat, kekuatan, dan persatuan umat Islam secara global.

 

Khilafah bukan ancaman, tetapi jalan keluar dari dominasi sistem global yang gagal membawa keadilan. Oleh karena itu, upaya membangun kembali institusi khilafah harus dilandasi kesadaran politik, keilmuan, dan dakwah yang berkesinambungan.

 

Daftar Pustaka

  • Al-Mawardi. Al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996.
  • Ibn Khaldun. Muqaddimah. Kairo: Dar al-Fikr, 1377 H.
  • An-Nawawi. Syarh Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.
  • John L. Esposito. Islam and Politics. Syracuse University Press, 1998.
  • Taqiyuddin an-Nabhani. Nidzam al-Hukm fi al-Islam. Beirut: Dar al-Ummah, 2001.
  • Abdul Qadim Zallum. Nidham al-Iqtisadi fi al-Islam. Beirut: Dar al-Ummah, 2004

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1084/24/07/25 : 20.51 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.