MEWUJUDKAN MASYARAKAT MUSLIM BERBUDAYA LITERASI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Literasi merupakan pilar penting dalam pembangunan peradaban, terutama dalam konteks masyarakat Muslim yang memiliki warisan intelektual sangat kaya. Namun, dalam praktiknya, tingkat literasi di kalangan umat Islam masih menjadi tantangan serius. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pentingnya budaya literasi dalam Islam, menganalisis faktor-faktor penghambat berkembangnya budaya literasi di masyarakat Muslim, serta menawarkan solusi strategis untuk mewujudkan masyarakat Muslim yang berbudaya literasi. Dengan pendekatan kualitatif deskriptif dan studi pustaka, artikel ini menekankan urgensi integrasi nilai-nilai keislaman dan pendidikan literasi dalam kehidupan sehari-hari.

 

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sejak awal menekankan pentingnya ilmu dan membaca. Wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca (Iqra’), yang menjadi fondasi utama budaya literasi dalam Islam (QS. Al-‘Alaq: 1–5). Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat Muslim yang masih tertinggal dalam budaya literasi, baik dari sisi kemampuan membaca maupun minat baca.

 

UNESCO (2023) melaporkan bahwa tingkat literasi fungsional di banyak negara mayoritas Muslim masih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang sistematis untuk membangun masyarakat Muslim yang menjadikan literasi sebagai bagian integral dari kehidupan.

 

Konsep literasi dalam Islam tidak terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, melainkan mencakup pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ilmu. Al-Qur’an dan Hadis memberikan banyak dorongan kepada umat Islam untuk menuntut ilmu dan menyebarkannya. Imam Al-Ghazali, dalam karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin, menekankan bahwa ilmu merupakan cahaya bagi kehidupan manusia (Al-Ghazali, 2005).

 

Para ulama klasik seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Ibnu Khaldun menunjukkan betapa pentingnya literasi dan ilmu dalam membangun peradaban. Tradisi membaca dan menulis sangat hidup pada masa keemasan Islam (abad ke-8 hingga ke-14), di mana perpustakaan seperti Baitul Hikmah menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia.

 

Tantangan Literasi di Masyarakat Muslim

 

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam menumbuhkan budaya literasi di masyarakat Muslim meliputi: Pertama, Minimnya Akses terhadap Buku dan Informasi Berkualitas. Di banyak wilayah, masyarakat Muslim kesulitan mengakses buku, perpustakaan, atau media literasi lainnya. Kedua, Kurangnya Keteladanan Tokoh Masyarakat. Figur publik atau tokoh agama seringkali belum menunjukkan budaya literasi sebagai bagian dari dakwah mereka.

 

Ketiga, Sistem Pendidikan yang Minim Literasi Kritis. Sistem pendidikan di banyak negara Muslim cenderung bersifat hafalan, bukan pada pengembangan literasi kritis dan kreatif. Keempat, Pengaruh Media Sosial yang Superfisial. Konsumsi informasi cepat melalui media sosial menjadikan banyak orang lebih suka konten instan daripada membaca mendalam.

 

Strategi Mewujudkan Masyarakat Muslim Berbudaya Literasi. Pertama, Revitalisasi Pendidikan Islam Berbasis Literasi Kurikulum pendidikan Islam perlu diperbaharui agar mengintegrasikan pembelajaran literasi kritis dan pemahaman kitab-kitab klasik. Kedua, Peran Masjid sebagai Pusat Literasi. Masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga bisa menjadi pusat kegiatan literasi seperti pojok baca, pelatihan menulis, dan diskusi buku.

 

Ketiga, Digitalisasi dan Akses Teknologi Literasi. Penggunaan teknologi digital (e-book, perpustakaan digital Islam) harus dimanfaatkan untuk memudahkan akses literasi umat. Gerakan Literasi Berbasis Komunitas. Melibatkan ormas Islam, pesantren, dan majelis taklim dalam program literasi berbasis komunitas dapat menciptakan perubahan dari akar rumput.

 

Mewujudkan masyarakat Muslim berbudaya literasi bukan sekadar tugas pemerintah atau lembaga pendidikan, melainkan merupakan tanggung jawab kolektif umat Islam. Dengan menghidupkan kembali semangat "Iqra’", serta menjadikan literasi sebagai bagian dari ibadah dan dakwah, umat Islam dapat membangun peradaban yang berlandaskan ilmu dan hikmah. Literasi bukan hanya alat untuk memahami teks, tetapi juga untuk membentuk masyarakat yang berpikir kritis, kreatif, dan berakhlak mulia.

 

Peradaban Islam mengalami masa keemasan yang luar biasa, khususnya pada abad ke-8 hingga ke-14 Masehi, yang ditopang oleh semangat keilmuan dan budaya literasi yang tinggi. Artikel ini mengkaji sejarah kemajuan peradaban Islam dengan menitikberatkan pada peran ilmu dan literasi sebagai pondasi utamanya.

 

Melalui pendekatan historis-kualitatif dan studi literatur, ditunjukkan bagaimana literasi dalam Islam bukan hanya bersifat teks, tetapi juga sebagai bentuk pembebasan intelektual dan spiritual. Selain itu, artikel ini juga menyoroti peran institusi pendidikan Islam, ilmuwan Muslim, serta warisan literatur Islam yang berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan global.

 

Masa Keemasan Islam: Ilmu sebagai Fondasi Peradaban

 

Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750–1258 M), Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Khalifah Al-Ma’mun mendirikan Bayt al-Hikmah (House of Wisdom), sebuah lembaga riset dan perpustakaan besar yang berfungsi sebagai pusat penerjemahan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Di tempat ini, teks-teks Yunani, Persia, dan India diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

 

Perpustakaan lain seperti Dar al-Hikmah di Kairo dan Al-Qarawiyyin di Maroko menjadi pusat kegiatan literasi dan diskusi ilmiah.

 

Peradaban Islam melahirkan banyak ilmuwan besar yang karya-karyanya menjadi referensi dunia: (1) Ibnu Sina (980–1037 M): menulis Al-Qanun fi al-Tibb, ensiklopedia kedokteran yang digunakan di Eropa selama berabad-abad. (2) Al-Khawarizmi (780–850 M): pelopor aljabar dan algoritma. (3) Al-Farabi dan Ibnu Rushd: filosof Muslim yang mempertemukan filsafat Yunani dengan Islam. (4) Al-Biruni: ahli astronomi, geografi, dan sejarah.

 

Para ilmuwan ini tidak hanya menulis karya-karya ilmiah, tetapi juga membangun jaringan korespondensi, forum diskusi, dan perpustakaan pribadi sebagai bentuk budaya literasi aktif.

 

Madrasah sebagai lembaga pendidikan formal berkembang pada masa Dinasti Seljuk dan Ayyubiyah. Salah satu madrasah terkenal adalah Nizamiyah di Baghdad. Sistem pendidikan ini mendukung penyebaran ilmu dan memproduksi banyak ulama dan cendekiawan.

 

Banyak karya ilmuwan Muslim diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa, terutama saat Renaissance. Universitas-universitas di Eropa mengadopsi sistem pendidikan Islam, dan tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas banyak terinspirasi dari karya Ibnu Sina dan Ibnu Rushd.

 

Menurut Montgomery Watt (1972), “Islamic civilization was the bridge by which the knowledge of the ancient world was transmitted to Europe.” Ini menunjukkan bagaimana literasi dan ilmu dalam Islam memiliki pengaruh transnasional.

 

Peradaban Islam mulai mengalami kemunduran seiring dengan melemahnya semangat keilmuan, penjajahan, dan stagnasi intelektual. Budaya literasi perlahan tergantikan oleh fanatisme dan dogmatisme. Di era modern, tantangan utama umat Islam adalah membangkitkan kembali budaya literasi yang bersifat kritis, kreatif, dan produktif.

 

Sejarah mencatat bahwa kemajuan peradaban Islam sangat erat kaitannya dengan semangat keilmuan dan budaya literasi. Islam tidak hanya memuliakan ilmu, tetapi juga menjadikannya sebagai inti dari kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dengan menghidupkan kembali tradisi intelektual dan literasi Islam, umat Islam masa kini memiliki potensi untuk kembali menjadi pelopor peradaban yang berlandaskan ilmu, etika, dan keadilan.

 

Daftar Pustaka

·         Al-Attas, S.M.N. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

  • Al-Ghazali. (2005). Ihya Ulumuddin. Beirut: Darul Fikr.

·         Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society. London: Routledge.

·         Nasr, S.H. (2006). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

  • Nasution, H. (1995). Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Jakarta: Mizan.
  • Quraish Shihab. (2006). Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
  • Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

·         Shihab, M.Q. (2006). Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

  • UNESCO. (2023). Global Education Monitoring Report 2023: Literacy for All. Paris: UNESCO Publishing.
  • Wahyudin, D. (2019). “Gerakan Literasi di Lingkungan Pesantren.” Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 150–162.

·         Watt, W. M. (1972). The Influence of Islam on Medieval Europe. Edinburgh: Edinburgh University Press.

·         Ziauddin Sardar. (1998). Islam, Science and the Challenge of History. New York: Oxford University Press.

  • Zuhairini et al. (1997). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1086/25/07/25 : 05.13 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.