Oleh : Ahmad Sastra
Kaum pembangkang Allah tidak akan
pernah rela dan berhenti untuk berusaha memadamkan cahaya Islam, dimanapun dan
sampai kapanpun. Mereka tidak menginginkan kebangkitan Islam yang semakin dekat
ini. Berbagai cara
terus dilancarkan dari dulu hingga kini. Jika merujuk pada sejarah, perjuangan
Rasulullah selalu dihalang-halangi oleh kaum kafir dan dikhianati oleh kaum
munafik. Dari fitnah hingga penyiksaan dan pembunuhan terus mereka lakukan.
Dalam sejarah kebangkitan sebuah negara selalu diawali
oleh kemajuan pemikiran bangsa tersebut. Sebuah pemikiran Islam akan
mengantarkan sebuah bangsa pada kebangkitan Islam. Begitu pula pemikiran komunisme
atau kapitalisme. Masing-masing ideologi akan saling berbenturan dan bertolak
belakang.
Karenanya benturan ideologi adalah sebuah keniscayaan.
Barat kafir kini tengah melancarkan penjajahan pemikiran kepada umat Islam atau
negeri-negeri muslim dengan menggunakan para anteknya. Imperialisme epistemologis (ghozwul fikr) (QS. Al Baqarah : 120 dan
217) ini setidaknya memiliki empat
karakteristik :
Harakah At Tasykik, Harakah At Tasywih, Harakah At Tadzwib
dan
Hakarah At Taghrib.
Harakah At Tasykik yakni menumbuhkan keraguan
(skeptis) pada umat Islam akan kebenaran Islam. Diantara keraguan yang mereka
lancarkan adalah gugatan tentang otentitas Al Qur’an, Islam sebagai
Mohammadanisme, keraguan atas kerasulan Muhammad. Dampak dari at tasykik adalah
tumbuhnya sikap netralitas dan relativitas terhadap ajaran Islam. Jika masih
ada seorang muslim yang secara fanatik memahami Islam maka mereka kemudian
dicap sebagai fundamentalis, radikalis, islamist dan teroris.
Harakah At Tasywih, yaitu menghilangkan rasa kebanggaan
terhadap ajaran Islam dengan cara memberikan stigma buruk terhadap Islam.
Mereka dengan gencar mencitrakan Islam secara keji melalui media-media. Islam
dipresentasikan sebagai agama yang antagonistik terhadap ide-ide kebebasan,
HAM, demokrasi, pluralisme dan nilai-nilai Barat lainnya. Dampak dari tasywih
ini adalah menggejalanya inferiority complex (rendah diri) pada diri umat
Islam, islamopobhia, pemujaan kepada
Barat.
Harakah At Tadzwib, yakni gerakan pelarutan
(akulturasi) peradaban dan pemikiran.
Dampaknya adalah terjebaknya umat Islam dalam pemikiran pluralisme
agama. Pluralisme jelas bertentangan dengan Islam. Sebab pluralisme menurut WC
Smith bermakna transendent unity of religion (wihdat al adyan), dan global
teologi menurut John Hick.
Hakarah At Taghrib yakni gerakan westernisasi. Sebuah
upaya penggiringan opini dan paradigma bahwa sumber kemajuan adalah Barat. Maka
jika ingin maju, harus mengikuti Barat. Padahal ideologi Barat tak ubahnya
sebagai candu dan racun yang akan membunuh pelan-pelan ghirah Islam.
Beberapa langkah praktis untuk memadamkan cahaya Islam
yang dilakukan olah para musuh Islam adalah : Name
Calling Device (stigmatisasi Islam), Gelittering
Generalaties Device ( perlambangan indah agar disenangi kaum muslim), Transfer Device (mempertalikan istilah dengan hal yang digemari orang
banyak],
Testimonial Device (merujuk perkataan orang-orang
terkenal supaya dipercaya), Plainfolks Device
(berjuang atas nama membela rakyat), Card Stacking Device ( memutar balik fakta) dan Band Wagon Device (menggunakan musik dan slogan) ( Dorothy Mulgrave, dikutip Toha Jahja Omar, Ilmu Dakwah, 1967 : 3).
Disinilah pentingnya umat Islam terutama para dai terus
meningkatkan taraf berfikir yang mendalam dan cemerlang agar mampu membaca
segala upaya musuh-musuh Islam neomodernisme dan postmodernisme yang mencoba
menggunakan bahasa-bahasa indah, namun mengandung racun yang mematikan. Mereka
akan terus memadamkan cahaya Allah, namun Allah akan terus menyalakan
cahayaNya.
Pemikiran yang mendalam dan cemerlang akan melahirkan
kesadaran ideologis yang kokoh yang tak mungkin bisa ditembuh oleh tipu daya
musuh-musuh Islam, meskipun dengan bahasa-bahasa yang indah sekalipun.
Kesadaran ideologi tak akan mampu tergoda oleh ayat-ayat setan, apalagi hanya
sekedar orientasi pragmatisme belaka. Allah melarang dengan keras orang yang
menjual agama dengan harga dunia yang hanya secuil. Wahai kaum muslimin,
cerdaslah dan sadarlah.
Tantangan besar para dai hari ini adalah tantangan
yang juga dihadapi oleh Rasulullah zaman dulu, yakni hegemoni pemikiran
menyimpang yang telah menjadikan masyarakat kini sebagai masyarakat jahiliyah
modern. Bedanya, jika dahulu jahiliyah hanya dialami oleh kaum kafir, namun
hari ini banyak kaum muslimin yang telah terjerumus kepada budaya Barat
jahiliyah.
Pemikiran seperti demokrasi, sekulerisme, kapitalisme,
liberalisme, feminisme, terorisme, komunisme, nasionalisme, dan
multikulturalisme adalah sebagian pemikiran Barat yang kini tengah menghegemoni
dunia Islam. Isme-isme jahiliyah modern ini hanyalah reinkarnasi pemikiran
jahiliyah zaman dahulu, hanya ganti nama, sementara substansinya tetap sama.
Sikap seseorang terhadap realitas inderawi maupun
metafisik sangat bergantung kepada pola fikirnya. Meski realitasnya sama, namun
karena perbedaan pola fikir, maka akan menghasilkan sikap yang berbeda. Sebagai
contoh sikap kaum muslimin terhadap ideologi demokrasi. Ada kaum muslimin yang
percaya 100 persen terhadap kebenaran demokrasi, ada kaum muslimin yang
menjadikan demokrasi sebagai instrumen, ada juga kaum muslimin yang melihat
demokrasi sebagai ideologi batil yang secara diametral bertentangan dengan
Islam. Faktanya sama, tapi sikapnya berbeda. Sederhananya, berfikir adalah
menghukumi fakta.
Kaum muslimin yang menerima sepenuhnya kebenaran
demokrasi biasanya karena sejak awal mereka bersentuhan dengan pemikiran
Barat dan tidak bersentuhan dengan
epistemologi Islam sama sekali. Kaum muslimin yang berfikir demikian biasanya
hanya mengakses informasi tentang demokrasi dari satu arah, terutama dari
Barat. Bahkan mereka percaya bahwa demokrasi adalah sistem terbaik, sebaliknya
mereka mendengarkan bahwa Islam adalah sistem diktator yang ekstrim dan
ketinggalan zaman. Dari kondisi inilah, kaum muslimin tipe pertama ini meyakini sepenuhnya demokrasi dan justru
menolak sistem Islam untuk diterapkan dalam negara.
Sementara tipologi kedua yakni kaum muslimin yang
menganggap demokrasi hanyalah instrumen didasarkan oleh ketidaktahuan hakekat
demokrasi. Demokrasi dalam pandangan muslim tipe dua ini hanya sebatas
mekanisme politik seperti pemilu misalnya. Dengan anggapan ini, mereka
menganjurkan kaum muslimin untuk ikut andil dalam parlemen dan memperjuangkan
Islam di dalamnya.
Ada yang tidak mereka sadari, bahwa di negara-negara
demokratis justru menolak Islam dan kaum muslimin. Lihat kondisi kaum muslimin
di negara-negara demokratis, bukan hanya islamnya ditolak, namun lebih dari
itu, kaum muslimin dituduh sebagai teroris sehingga layak diusir dan dibunuh.
Padahal demokrasi mengajarkan HAM, faktanya omong kosong. Tipe kedua ini tidak
memahami demokrasi dalam kontek hakekatnya.
Tipologi ketiga melihat demokrasi sebagai fakta. Fakta demokrasi
adalah sebuah ideologi politik transnasional yang lahir dari kultur Barat yang
secara definitif sangat multi-interpretatif,
baik teoritis maupun implementatif. Tak
bisa dipungkiri bahwa setiap penguasa negara berhak mengklaim negaranya sebagai
negara demokratis, meskipun nilai politik kekuasaannya yang diadopsi amat jauh
dari prinsip dasar demokrasi.
Karena sifatnya yang multi-interpretatif itu, lahirlah
berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat,
demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi
pancasila, demokrasi parlementer, dan bentuk subyektifitas demokrasi lainnya.
Dalam konteks ini, Dawam tidak menjelaskan demokrasi tipologi yang mana yang
hendak disematkan dalam kata Islam.
Sebenarnya perdebatan intelektual hubungan Islam dan
demokrasi apakah kompatible atau kontradiktif sudah terjadi sejak lama,
terutama saat kaum intelektual muslim bersentuhan dengan intelektualisme Barat.
Meski demikian, belum ada hasil yang benar-benar disepakati oleh kaum muslimin,
sebab fakta di lapangan justru negera-negara demokratis banyak yang menolak
Islam itu sendiri. Bukti paling anyar adalah ungkapan-ungkapan sarkasme Donald
Trump dalam dalam setiap kampanyenya yang melarang komunitas muslim untuk
tinggal di Amerika.
Padahal Amerika dikenal sebagai kampium demokrasi.
Bahkan saat kaum muslimin dengan partai Islamnya mengikuti perhelatan demokrasi
dan memenangkan pemilu justru dianggap tidak sah dan dianulir seperti yang
terjadi di Mesir dan Aljazair di masa lalu. Bahkan lebih dari itu, Dawan telah
memaparkan fakta-fakta historis penolakan sekulerisme demokrasi terhadap
eksistensi Islam itu sendiri. Ini sebenarnya membuktikan bahwa demokrasi
sekuler adalah ideologi kontra agama.
Sumber pemikiran demokrasi adalah filsafat
sekulerisme. Sekulerisme sendiri adalah paham yang mendistorsi peran etika
Tuhan dalam ranah publik. Karena itu dalam paradigma sekulerisme, agama di
posisikan di ruang private. Adapun di ruang publik yang berlaku adalah
konsensus elite otoritas kekuasaan untuk mengaturnya.
Meski tak dipungkiri, demokrasi seringkali hanya
sebagai kuda tunggangan kaum kapitalis untuk menghegemoni ekonomi suatu negara.
Itulah kenapa dalam negara demokrasi, kemiskinan rakyat tak kunjung dapat
diselesaikan. Wajah demokrasi lebih sering nampak sebagai alat imperialisme
atas negara-negara ketiga dibanding formula politik bagi kesejahteraan rakyat.
Sementara Islam tidak memiliki sifat sekuleristik.
Sebab Islam adalah sebuah ideologi, disamping ideologi kapitalisme sekuler dan
komunisme atheis, yang secara komprehensif mengatur masyarakat di seluruh aspek
kehidupan, baik ranah publik maupun ranah private. Dibawah prinsip-prinsip
tauhid, Islam memiliki formulasi yang paradigmatik integratif dalam ranah
politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sosial.
Seluruh aspek publik selalu dilandasi oleh etika dan
hukum Islam. Sementara demokrasi sekuler melandasinya dengan akal bebas yang
sangat relatif. Karena itu demokrasi yang secara genetik membawa gen
sekulerisme jika dipadukan dengan Islam akan nampak semacam sinkretisme
epistemologis jika tidak hendak dikatakan sebagai pemaksaan intelektual.
Memberikan interpretasi dikhotomis antara kedaulatan
Tuhan dan kedaulatan rakyat yang tertera dalam surat Asy Syura : 38 dengan
memisahkan antara urusan ibadah individual dengan sosial adalah interpretasi
sekuleristik yang bertentangan dengan sifat Islam itu sendiri. Sebab jika benar
interpretasi ini, kenapa ada konsep ekonomi Islam, pendidikan Islam, politik
Islam dan pemerintahan Islam. Syuro sendiri dalam Islam adalah model
pengambilan keputusan masalah-masalah mubah dan bersifat teknis, tidak pada wilayah
hukum. Sementara masalah-masalah yang
telah jelas hukumnya, tak perlu di musyawarahkan lagi. Mendikhotomi hal ini
adalah bentuk distorsi dari kesempurnaan Islam. Padahal QS Al Maidah : 3 telah
dengan jelas kesempurnaan Islam bagi landasan hukum seluruh aspek peradaban
manusia.
Sebenarnya implementasi demokrasi di berbagai negara
lebih banyak merugikan Islam. Hal ini
menunjukkan indikasi yang jelas bahwa sebenarnya demokrasi adalah
ideologi politik sekuler yang tidak kompatibel dengan Islam. Islam adalah
ideologi khas yang berdasarkan wahyu Allah dan memberikan rahmat bagi alam
semesta. Otoritarisme penguasa muslim tidaklah bijak jika dianggap representasi
dari Islam itu sendiri.
Harus dibedakan antara Islam dan muslim. Muslim yang
melakukan kesalahan bukan berarti Islam yang salah, justru muslim itu telah
melanggar etika Islam. Sebab jika Islam adalah otoriter yang destruktif tentu
bertentangan dengan firman Allah sendiri yang menegaskan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin (QS al Anbiyaa :
107).
Dibawah panji Islam, Rasulullah dengan sangat indah
menghadirkan kondisi paling ideal dalam sebuah kehidupan berbangsa dan
bernegara. Implementasi hukum dan etika Islam telah memberikan keberkahan bagi
siapa saja yang mau tunduk tanpa mengenal perbedaan ras, suku, agama, dan warna
kulit. Hukum-hukum Islam telah memberikan keadilan dan kesejahteraan yang belum
pernah dicapai oleh ideologi lain sepanjang sejarah. Tentu saja Rasulullah
mendasarkan seluruh gerakan politiknya pada paradigma wahyu.
Rasulullah adalah seorang oposisi sejati yang berdiri
di luar sistem jahiliyah dengan terus mengobarkan dakwah Islam hingga banyak
kaum kafir yang masuk Islam. Rasulullah menyadari sepenuhnya bahwa sistem
jahiliyah bukanlah alat untuk mencapai kemenangan Islam. Rasulullah tidak
melakukan kompromi dengan hukum jahiliyah saat menegakkan Islam. rasulullah
juga tidak menggunakan kekerasan dalam menegakkan Islam.
Metode yang
digunakan untuk mengembalikan peradaban Islam ada tiga. Pertama, dengan jalan kekerasan tanpa
kompromi. Tentu jalan ini tidak dibenarkan oleh Islam itu sendiri. Islam adalah
agama damai, bukan agama teror. Ada sebagian kecil kelompok gerakan yang
menggunakan metode ini telah gagal, bahkan metode ini telah melahirkan islam
phobia yang sangat merugikan kaum muslimin di seluruh dunia. Akibatnya umat
Islam di berbagai negara menjadi sasaran diskriminasi yang tidak manusiawi.
Kedua dengan metode demokrasi kompromistis. Metode ini
dilakukan oleh partai-partai Islam yang mengikuti arus demokrasi dengan mengikuti
pemilu. Harapannya dapat menempatkan wakilnya sebagai anggota dewan dalam
memperjuangkan aspirasi Islam. Metode inipun nampaknya gagal. Sebab yang justru
terjadi adalah proses pendangkalan Islam dan proses pencampuran ideologi. Tentu
jalan ini juga tidak dibenarkan dalam Islam. Sebab Islam adalah agama yang
tidak memberikan kompromi bagi kebatilan, meski juga tidak melakukan kekerasan.
Ketiga adalah gerakan dakwah politis yang non
parlementer tanpa kekerasan. Gerakan ini bertujuan memberikan edukasi politik
sehingga melahirkan kecerdasan dan kesadaran kaum muslimin akan situasi politik
yang ada. Inilah metode yang dilakukan
Rasulullah hingga tegak supremasi hukum Islam di Madinah.
Pemaknaan demokrasi sebagai syuro merupakan
penyederhanaan masalah. Sebab demokrasi tidaklah sesederhana mekanisme syuro.
Demokrasi sesungguhnya adalah ideologi politik yang lahir dari filsafat Barat,
sebagaimana juga ideologi komunisme. Sementara syuro adalah mekanisme
pengambilan keputusan yang didasarkan oleh nilai-nilai wahyu. Itulah kenapa
produk hukum demokrasi banyak
bertentangan dengan produk hukum Islam.
Di Indonesia sendiri perda-perda syariah dianggap diskriminatif dan tidak
sejalan dengan paradigma demokrasi, meski perda itu hanya berlaku untuk kaum
muslim.
Tidak ada istilah demokrasi Islam, sebab istilah ini
justru bagian dari imperialisme epistemologi. Dengan term demokrasi Islam yang cenderung
sinkretis, akan memicu istilah-istilah lain sejenis seperti sekulerisme Islam,
liberalisme Islam, mederatisme Islam, sosialisme Islam, pluralisme Islam atau bahkan mungkin radikalisme Islam. Dua
term yang memiliki asas yang berbeda, tidak mungkin bisa disatukan.
Kesempurnaan Islam tidak membutuhkan lagi label-label
primordialistik apalagi menyimpang. Karena itu Islam tidak perlu disandingkan
dengan demokrasi atau sebaliknya, keduanya berbeda secara asas dan paradigma.
Karena itu yang ada adalah pilihan, Islam atau demokrasi, jangan dicampur aduk.
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak
dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu
mengetahui [QS Al Baqarah : 42].
(Ahmad
Sastra, Kota Hujan, 1080/21/07/25 : 05.50 WIB)