Oleh: Ahmad Sastra
Krisis demi krisis yang melanda sistem ekonomi global
telah membangkitkan kesadaran baru di berbagai belahan dunia, termasuk
Indonesia. Ketimpangan sosial yang menganga, dominasi korporasi raksasa,
spekulasi keuangan tak terkendali, dan kerusakan lingkungan adalah bukti nyata
dari kegagalan sistem ekonomi kapitalistik yang terlalu lama dijadikan
satu-satunya jalan. Dalam konteks inilah, Islam sebagai pandangan hidup (way of
life) menawarkan bukan sekadar alternatif, tetapi jalan baru yang lebih berakar
pada nilai keadilan, keseimbangan, dan keberkahan.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim
terbesar di dunia, masih menjalankan sistem ekonomi yang berlandaskan logika
pasar bebas dan mekanisme kapital. Pertumbuhan ekonomi kerap dipuja sebagai
tolok ukur keberhasilan, sementara distribusi kekayaan dan kesejahteraan rakyat
cenderung terabaikan. Di sisi lain, praktik rente, utang berbunga tinggi,
monopoli lahan, dan eksploitasi tenaga kerja menjadi bagian dari struktur yang
semakin menyingkirkan keadilan sosial yang seharusnya menjadi dasar dari
pembangunan nasional.
Islam hadir bukan untuk menambal sistem kapitalisme
atau menjadi kosmetik spiritual dalam wajah ekonomi modern. Islam membawa
paradigma yang sepenuhnya berbeda: ekonomi bukan sekadar soal akumulasi kekayaan,
tapi sarana untuk menegakkan maqashid syariah, yakni melindungi agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta.
Dalam sistem ekonomi Islam, harta bukanlah tujuan,
melainkan amanah. Kepemilikan bersifat relatif; hak individu diakui, namun
selalu tunduk pada tanggung jawab sosial. Praktik-praktik seperti riba, gharar
(ketidakjelasan), maysir (spekulasi), dan penimbunan kekayaan dilarang karena
melahirkan ketidakadilan dan memperbesar kesenjangan.
Sebagai gantinya, Islam menekankan: (1) Zakat dan
sedekah sebagai instrumen distribusi kekayaan secara sistemik. (2) Wakaf
produktif sebagai fondasi ekonomi sosial jangka panjang. (3) Larangan riba yang
mendorong keuangan berbasis aset riil dan kemitraan. (4) Kewajiban keadilan
dalam perdagangan dan transaksi. (5) Pemberdayaan ekonomi umat, terutama
kelompok marginal. Dengan pendekatan ini, ekonomi tidak hanya tumbuh, tetapi
juga berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih adil
dan beradab.
Penerapan sistem ekonomi Islam di Indonesia bukan
tanpa tantangan. Hambatan struktural, dominasi sistem konvensional, serta
pemahaman umat yang masih terbatas menjadi persoalan utama. Bahkan
lembaga-lembaga keuangan syariah pun sering kali terjebak dalam logika
kapitalisme yang hanya diganti istilah: dari “bunga” menjadi “margin”, dari
“pinjaman” menjadi “akad murabahah”, tanpa perubahan mendasar dalam relasi
kuasa dan orientasi keuntungan.
Namun di sisi lain, kesadaran masyarakat terhadap
ekonomi Islam terus meningkat. Lembaga keuangan syariah berkembang, koperasi
syariah tumbuh di berbagai daerah, dan wacana tentang ekonomi berlandaskan
nilai mulai mendapat tempat dalam diskusi kebijakan publik.
Islam tidak mengajarkan kompromi dengan sistem yang
zalim. Ia tidak datang untuk menjadi "versi religius" dari
kapitalisme, melainkan untuk membangun sistem baru yang menjunjung keadilan
(‘adl), keseimbangan (tawazun), dan kebermanfaatan (‘afiyah).
Indonesia memiliki peluang historis untuk memimpin
transformasi ini. Bukan karena mayoritas penduduknya Muslim semata, tapi karena
nilai-nilai Islam telah lama hidup dalam kearifan lokal masyarakat: gotong
royong, musyawarah, dan kepedulian sosial. Sistem ekonomi Islam tidak akan
tumbuh dari seminar atau regulasi semata, melainkan dari kesadaran kolektif
umat dan keberanian politik untuk mengambil jalan berbeda dari dominasi
neoliberalisme global.
Sudah saatnya Indonesia berhenti menjadi pengekor
sistem ekonomi asing yang terbukti menciptakan ketimpangan. Islam bukan sekadar
agama ibadah personal, tetapi sumber peradaban yang mampu memberikan solusi
komprehensif atas persoalan bangsa. Jika kita sungguh-sungguh ingin membangun
ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan manusiawi, maka Islam bukan hanya
relevan, ia mendesak untuk dijadikan jalan baru.
Ekonomi Islam bukan sekadar varian dari sistem
kapitalis atau sosialis. Ia adalah sistem tersendiri yang bersumber dari wahyu,
bukan dari spekulasi manusia. Tujuannya bukan sekadar pertumbuhan ekonomi,
tetapi terwujudnya keadilan, distribusi kekayaan yang merata, dan tercapainya
kemaslahatan umat dalam bingkai ketaatan kepada Allah SWT.
Beberapa prinsip dasar sistem ekonomi Islam mencakup:
(1) Kepemilikan dalam Islam (Milkiyah). Dibagi menjadi tiga: kepemilikan
individu, negara, dan umum (rakyat). Sumber daya alam yang besar seperti
tambang, air, dan energi tidak boleh dimiliki swasta, apalagi asing. (2) Larangan
riba: Sistem keuangan Islam dibangun tanpa bunga. Instrumen ekonomi berbasis
riba adalah haram dan menjadi sumber penindasan ekonomi.
(3) Distribusi Kekayaan. Islam bukan hanya mendorong
produksi, tetapi menjamin distribusi kekayaan melalui mekanisme zakat, waris,
larangan penimbunan, dan penghapusan monopoli. (4) Tidak ada pajak penghasilan
permanen. Negara tidak boleh memungut pajak selain yang telah ditentukan
syariat (seperti kharaj, jizyah, dan ‘ushr). Ini melindungi individu dari beban
fiskal yang menindas.
Banyak yang mencoba menerapkan sebagian prinsip ekonomi
Islam di bawah sistem sekuler, baik dalam bentuk perbankan syariah, zakat sebagai
CSR, atau kebijakan subsidi, namun hasilnya tetap tidak mampu melepaskan umat
dari jeratan sistem kapitalisme. Mengapa? Karena Islam tidak bisa diterapkan parsial.
Penerapan ekonomi Islam memerlukan struktur negara yang mendukung, hukum yang
konsisten, dan visi politik yang tunduk kepada syariat.
Hanya dalam sistem Khilafah, seluruh aspek ekonomi, dari
kepemilikan, distribusi, sistem keuangan, kebijakan fiskal, hingga relasi
internasional, dijalankan secara terpadu berdasarkan hukum syariah.
Khilafah memiliki wewenang: (1) Mengelola kekayaan
milik umum untuk kemaslahatan umat, bukan untuk dikomersialisasi. (2) Menghapus
seluruh sistem ekonomi ribawi dan menggantinya dengan sistem keuangan berbasis
akad yang halal dan produktif. (3) Menjamin kebutuhan dasar setiap individu:
sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. (4) Membangun industri dan
teknologi strategis tanpa ketergantungan pada asing. (5) Menolak intervensi
lembaga penjajah seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Dalam sejarahnya, sistem ekonomi Islam telah terbukti
membangun peradaban yang adil dan makmur selama lebih dari 13 abad. Pada masa
Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah, wilayah Islam menjadi pusat perdagangan,
pertanian, ilmu pengetahuan, dan kemakmuran. Tak ada krisis pangan sistemik.
Tak ada skandal utang luar negeri. Distribusi zakat mampu menjangkau wilayah
luas, bahkan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, hampir tak ada lagi
mustahiq zakat karena kemakmuran begitu merata.
Bandingkan dengan hari ini, ketika negeri-negeri
Muslim justru menjadi korban utang, ketimpangan, dan eksploitasi oleh kekuatan
kapital global. Penerapan sistem ekonomi Islam tidak cukup dengan niat baik,
tidak cukup pula dengan reformasi parsial dalam sistem sekuler. Ia menuntut
perubahan sistemik yang menyeluruh, yang hanya bisa diwujudkan melalui tegaknya
institusi Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Khilafah bukan utopia. Ia adalah keniscayaan syar’i
dan sejarah. Dalam Khilafah, hukum Allah menjadi sumber satu-satunya dalam
mengatur ekonomi, politik, sosial, dan seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan
itu, umat Islam bisa keluar dari dominasi ekonomi kapitalistik yang
menyengsarakan dan menuju sistem ilahiah yang menjanjikan keberkahan dunia dan
akhirat.
(Ahmad
Sastra, Kota Hujan, 1083/24/07/25 : 20.46 WIB)