PEJABAT RANGKAP JABATAN SEBAGAI MANUSIA SERAKAH



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Di dalam kitab Bidayat al Hidayah, Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa orang yang tamak dunia atau serakah terhadap dunia adalah racun yang dapat membunuh. Untuk itu, Imam Al Ghazali menyarankan agar jangan bersahabat dengan orang yang serakah terhadap dunia.

 

Di tengah jeritan rakyat kecil yang semakin terbebani oleh inflasi, ketimpangan ekonomi, dan ketidakpastian masa depan, pemandangan para pejabat publik yang merangkap berbagai jabatan justru semakin sering kita temui. Fenomena ini bukan lagi sekadar anomali, tetapi telah menjadi pola yang terus berulang dalam struktur birokrasi dan politik kita—suatu bentuk pragmatisme yang dibalut keserakahan.

 

Secara formal, banyak pejabat yang berdalih bahwa rangkap jabatan diperlukan demi efektivitas, kesinambungan kebijakan, atau karena "kekurangan SDM yang mumpuni". Namun kenyataannya, justru terjadi tumpang tindih kewenangan, konflik kepentingan, hingga penyalahgunaan kekuasaan. Lebih parah lagi, publik menyaksikan bagaimana pejabat yang rangkap jabatan justru gagal melaksanakan tugas utamanya dengan baik karena beban kerja yang tidak manusiawi atau karena prioritasnya terbagi.

 

Dalam banyak kasus, jabatan tambahan itu juga disertai tunjangan dan fasilitas ganda, yang pada akhirnya menambah beban keuangan negara tanpa hasil kerja yang sebanding. Dalam perspektif ini, rangkap jabatan tidak lagi menjadi bentuk pengabdian, tetapi telah bergeser menjadi peluang menumpuk kekuasaan dan pendapatan.

 

Ironi ini terasa begitu tajam ketika dibandingkan dengan kondisi masyarakat luas. Di berbagai daerah, rakyat harus berjibaku mencari penghasilan yang tak seberapa, menghadapi harga kebutuhan pokok yang terus naik, layanan publik yang buruk, hingga sulitnya akses pendidikan dan kesehatan. Sementara itu, mereka yang dipercaya untuk mengurus negara justru asyik menumpuk jabatan dan memperluas jejaring politik demi kepentingan pribadi atau kelompok.

 

Rakyat tidak butuh pejabat superman, mereka butuh pemimpin yang fokus, bertanggung jawab, dan adil. Rangkap jabatan bukan hanya menciptakan ketimpangan di kalangan birokrasi, tetapi juga menyampaikan pesan yang salah: bahwa jabatan adalah ladang keuntungan, bukan amanah.

 

Di balik dalih efisiensi dan loyalitas, rangkap jabatan seringkali mencerminkan pragmatisme politik yang merugikan publik. Partai politik, misalnya, lebih memilih menunjuk kader yang sudah “teruji” meskipun sudah memegang jabatan penting, ketimbang memberi kesempatan kepada tokoh lain yang mungkin lebih kompeten. Di sisi lain, individu yang menerima banyak jabatan kerap melakukannya bukan karena panggilan moral, tapi karena kalkulasi kekuasaan dan keuntungan.

 

Keserakahan, dalam konteks ini, bukan hanya soal uang, tetapi juga tentang kehausan akan pengaruh dan posisi tawar politik. Dan sayangnya, sistem kita belum cukup tegas untuk membatasi atau memberi sanksi terhadap praktik ini.

 

Fenomena rangkap jabatan yang merajalela membutuhkan sikap tegas dari negara. Aturan pembatasan jabatan ganda perlu ditegakkan dengan konsisten. Lembaga pengawas, baik administratif maupun publik, harus diberdayakan untuk memantau dan menindak penyalahgunaan kewenangan. Selain itu, perlu dibangun budaya politik baru yang menempatkan integritas dan kompetensi di atas loyalitas dan koneksi.

 

Lebih dari itu, rakyat juga harus semakin kritis. Pejabat publik bukan majikan, melainkan pelayan. Kita berhak menuntut agar mereka bekerja penuh untuk satu amanah, bukan menyulap jabatan menjadi mesin pencetak kekuasaan.


Rangkap jabatan di tengah penderitaan rakyat adalah potret buram demokrasi yang dijalankan dengan logika kekuasaan, bukan keadilan. Ketika pragmatisme bercampur dengan keserakahan, maka yang dikorbankan adalah akuntabilitas dan kepercayaan publik. Sudah saatnya kita mengakhiri praktik ini, sebelum jabatan kehilangan makna moralnya sebagai bentuk pengabdian, bukan komoditas pribadi.

 

Kedudukan Jabatan dalam Islam

 

Dalam Islam, jabatan atau kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan amanah (tanggung jawab) yang besar. Siapa pun yang memegang jabatan, baik dalam pemerintahan, organisasi, maupun masyarakat, akan dimintai pertanggungjawaban atas tugas dan kekuasaan yang diembannya. Islam tidak memuliakan jabatan karena statusnya, tetapi karena fungsinya dalam menegakkan keadilan, menyejahterakan umat, dan menjaga kemaslahatan.

 

Jabatan adalah Amanah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya..." (QS. An-Nisa: 58)

 

Ayat ini menegaskan bahwa jabatan bukan hak yang boleh diminta atau diperjualbelikan, tetapi sebuah titipan yang harus diberikan kepada orang yang memiliki kemampuan dan keadilan. Rasulullah ï·º juga bersabda: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan. Karena jika kamu diberi jabatan karena memintanya, maka kamu akan dipikul (tanpa pertolongan Allah), tetapi jika kamu diberi jabatan tanpa memintanya, maka kamu akan dibantu (oleh Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Hadis ini menunjukkan bahwa dalam Islam, jabatan bukan untuk diburu demi kepentingan pribadi, melainkan harus diterima dengan penuh tanggung jawab jika dipercayakan.

 

Dalam sejarah Islam, para pemimpin besar seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib memegang jabatan bukan karena ambisi pribadi, tetapi karena dipilih atas dasar kepercayaan umat dan ketakwaan mereka.

 

Beberapa kriteria utama pemegang jabatan menurut Islam meliputi: Amanah (dapat dipercaya), Kafa’ah (kompeten), Adil, Takwa kepada Allah dan Mengutamakan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi atau golongan

Jabatan sebagai Ujian.

 

Islam memandang jabatan sebagai ujian yang sangat berat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ï·º bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Jabatan bisa menjadi jalan menuju surga jika dijalankan dengan kejujuran, keadilan, dan niat yang lurus. Namun, bisa pula menjadi jalan kehancuran jika disalahgunakan untuk kepentingan diri, korupsi, atau penindasan.

 

Umar bin Khattab dikenal dengan gaya kepemimpinan yang sederhana dan penuh tanggung jawab. Ia pernah berkata: “Andai seekor keledai mati karena tersandung di jalan Baghdad, aku khawatir Allah akan menanyakannya kepadaku karena aku adalah pemimpin di sana.” Ucapan ini menunjukkan betapa beratnya rasa tanggung jawab seorang pemimpin dalam Islam, bahkan terhadap makhluk kecil sekalipun.

 

Jabatan dalam Islam adalah bentuk amanah yang harus diemban dengan keikhlasan, keadilan, dan integritas. Seorang pemimpin bukanlah orang yang paling tinggi derajatnya di hadapan manusia, tetapi orang yang paling berat beban hisabnya di akhirat. Oleh karena itu, Islam menuntut agar jabatan diberikan kepada mereka yang layak, bukan karena koneksi atau kekayaan, melainkan karena kemampuannya untuk menegakkan keadilan dan membawa maslahat bagi umat

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1082/24/07/25 : 18.58 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.