Oleh : Ahmad Sastra
Tempo.co. merilis berita terkait genosida rakyat Palestina
oleh israel. Sebanyak 110 warga Palestina tewas dalam serangan
militer Israel di Jalur Gaza pada Sabtu, 12 Juli 2025. Menurut
laporan Al Jazeera, 34 di antaranya tewas saat mengantre bantuan pangan di
fasilitas Gaza Humanitarian Foundation (GHF) di Rafah selatan, yang didukung
oleh Amerika Serikat.
Para korban dan saksi mata mengatakan pasukan Israel
menembaki langsung kerumunan warga di area al-Shakoush, tepat di depan salah
satu titik distribusi GHF. PBB dan kelompok hak asasi manusia mengecam lokasi
GHF sebagai “rumah jagal manusia” dan “perangkap maut”.
Samir Shaat, penyintas serangan, menyebut korban
berlumuran darah di tempat mereka berharap mendapat bantuan. “Kantong yang
seharusnya diisi makanan berubah menjadi kafan. Demi Tuhan, itu tidak lain
hanyalah perangkap maut,” ujarnya di Rumah Sakit Nasser, Khan Younis. “Mereka
menembaki orang secara membabi buta. Saat saya memanggul tubuh teman saya, saya
berjalan di antara para jenazah,” ungkapnya melanjutkan.
Mohammad Barbakh, warga Palestina lain yang selamat,
mengatakan para korban ditembak oleh penembak jitu Israel. “Mereka menipu kami,
membiarkan kami datang mengambil bantuan. Mereka membiarkan kami membawa
kantong, lalu mulai menembaki kami seolah kami bebek yang diburu,” ujarnya.
Serangan ini terjadi saat pembicaraan gencatan senjata
di Qatar menemui jalan buntu dan kecaman internasional terhadap rencana Israel
untuk memindahkan seluruh penduduk Gaza secara paksa terus meningkat.
Selain insiden di Rafah, pasukan Israel juga
melancarkan serangan udara di sejumlah wilayah lainnya. Di Gaza, 14 orang
tewas, termasuk empat warga yang berada di rumahnya di Jalan Jaffa, Tuffah.
Sepuluh orang lainnya terluka. Di Jabalia, Gaza utara, dua bangunan tempat tinggal
dibombardir, menewaskan 15 orang. Serangan di kamp pengungsi Shati, barat Kota
Gaza, menewaskan tujuh orang, menurut sumber medis.
Dilansir dari Anadolu Israel juga
menggempur wilayah timur laut Beit Hanoon dengan menjatuhkan hampir 50 bom pada
Sabtu. Militer Israel menyatakan telah menyerang Gaza sebanyak 250 kali dalam
48 jam terakhir. Di saat yang sama, mereka masih membatasi masuknya makanan dan
bantuan kemanusiaan, meski berbagai kelompok hak asasi telah memperingatkan
risiko kelaparan.
Kantor Media Pemerintah di Gaza pada Sabtu
mengungkapkan 67 anak telah meninggal akibat kekurangan gizi. Sebanyak 650.000
anak di bawah lima tahun kini dalam kondisi berisiko tinggi mengalami
malnutrisi akut dalam beberapa minggu ke depan.
“Selama tiga hari terakhir, kami mencatat puluhan
kematian akibat kekurangan makanan dan pasokan medis penting, dalam situasi
kemanusiaan yang sangat kejam,” bunyi pernyataan resmi kantor tersebut.
Dokter di Gaza juga mencatat bahwa lebih dari 800
warga telah tewas dan 5.000 lainnya luka-luka di sekitar titik distribusi GHF
sejak organisasi itu mulai beroperasi pada akhir Mei. “Sebagian besar korban
ditembak di kepala dan kaki,” kata Khalil al-Degran, juru bicara Rumah Sakit
Al-Aqsa.
Ironi, Dua Milyar Umat Islam Lumpuh
Di tengah genosida rakyat Palestina oleh penjajah
israel yang didukung oleh negara komprador amerika serikat, ada realitas pahit
umat Islam hari ini, kenapa dua miliar umat Islam tidak bisa membebaskan
Palestina?. Kenapa umat Islam yang jumlahnya banyak lumpuh tak mampu melawan
israel dan membebaskan Palestina.
Jawaban singkatnya adalah bukan karena kurang jumlah,
tapi karena lemahnya kesatuan, hilangnya kepemimpinan politik Islam yang
menyatukan, dan dominasi sistem dunia yang tidak adil.
Meski jumlahnya banyak, namun realitasnya umat Islam terpecah
belah, tidak bersatu. Sebanyak apapun umat Islam jika tak bersatu, maka pasti
akan lemah. Sebab persatuan adalah pilar kekuatan dan kemenangan. Sementara israel
dan amerika bersatu padu. Umat Islam terpecah tanpa karena tidak ada lagi khilafah,
institusi pemersatu negeri-negeri muslim.
Kaum muslimin kini terpecah belah dalam ikatan primordial
yang namanya nasionalisme. Ikatan nasionalisme sendiri adalah warisan penjajah.
Sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyah
tahun 1924, umat Islam tidak lagi dipimpin oleh satu kepemimpinan global. Dunia
Islam kini terpecah menjadi lebih dari 50 negara dengan kebijakan luar negeri
masing-masing, tunduk pada nasionalisme, bukan ukhuwah Islamiyah.
Akibat tiadanya khilafah, tidak ada satu pun negara
yang sungguh-sungguh menggunakan kekuatan militer atau politik secara tegas
untuk membebaskan Palestina. Sementara Allah berfirman : “Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara…” (QS Al-Hujurat: 10). Namun saat ini, kata
“saudara” hanya sebatas retorika politik, tidak pernah benar-benar diwujudkan
dalam strategi politik ideologis.
Faktor lainnya yang menjadikan kaum muslimin lemah adalah
karena para penguasa dunia islam tidak bersungguh-sungguh membela Palestina. Sebagian
besar pemimpin di negara-negara Muslim lebih memilih menjaga hubungan baik
dengan negara Barat atau Israel demi stabilitas ekonomi, kekuasaan, dan
keamanan internal.
Buktinya adalah bahwa banyak negara muslim membuka
hubungan diplomatik dengan Israel (normalisasi). Ada juga negeri muslim yang membatasi
bantuan yang dikirim ke Gaza. Bahkan ada negeri muslim yang melarang rakyat
mereka berjihad atau bahkan berdemo besar-besaran.
Ada negara Muslim yang melarang rakyatnya menyumbang
untuk Palestina karena khawatir dicap mendukung “terorisme”. Padahal Palestina
jelas sebagai negeri yang dijajah israel laknatullah. Hasilnya, banyak negeri
muslim di timor tengah justru menjadi sekutu dan budak Amerika.
Faktor lainnya yang menjadikan umat Islam lemah adalah
adanya ketergantungan kepada sistem internasional (PBB, AS, Barat). Banyak
negara muslim mengandalkan PBB atau negara-negara Barat untuk menyelesaikan
konflik. Padahal, AS dan sekutunya adalah pendukung utama Israel, baik militer,
politik, maupun ekonomi. Adalah ironi, umat Islam berharap keadilan dari sistem
yang justru menopang penjajahan.
Faktor lainnya adalah bahwa umat islam belum
menjadikan masalah Palestina sebagai masalah utama (prioritas ummah). Palestina
dianggap isu luar negeri, bukan bagian dari akidah dan kehormatan Islam. Masih
banyak umat Islam yang sibuk dengan masalah lokal, konsumtif, atau tidak sadar
peran politik mereka. Tanpa tekanan rakyat yang kuat, para penguasa tidak akan
bertindak.
Faktor penting lainnya kenapa Paletina terus dijajah
israel adalah tidak adanya jihad fisik terorganisir di level negara. Dalam
Islam, pembebasan wilayah Muslim yang dijajah adalah kewajiban militer negara
Muslim, bukan hanya solidaritas sosial. Namun, karena tidak ada khilafah atau
negara yang siap berjihad secara resmi, maka jihad hanya dilakukan oleh
kelompok kecil, tanpa dukungan negara.
Intinya, kenapa
umat Islam yang jumlahnya dua milyar begitu lemah dan lumpuh sehingga tak mampu
bebaskan palestina dari penjajahan israel adalah karena umat Islam belum menyatukan
potensinya. Berbeda lagi jika dua milyar umat muslim itu bersatu di bawah satu
komando seorang khalifah. Berbeda lagi jika ada upaya konkret untuk menyatukan kekuatan militer dari Mesir,
Turki, Pakistan, Indonesia, Iran, dll. Berbeda lagi jika seluruh negeri muslim
kompak menghentikan ekspor minyak ke negara pendukung Israel. Berbeda lagi jika
seluruh negeri muslim kompak memboikot ekonomi secara global dan berkelanjutan.
(Ahmad Sastra,
Kota Hujan, 1072/13/07/25 : 20.23 WIB)