KAPITALISME DAN JERAT MEMISKINKAN RAKYAT



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Kemiskinan merupakan salah satu persoalan struktural yang terus dihadapi oleh berbagai bangsa. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin menawarkan solusi integral dan komprehensif dalam mengatasi kemiskinan, tidak hanya dari aspek material, tetapi juga spiritual dan sosial.

 

Kemiskinan bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan spiritual yang dapat merusak tatanan masyarakat. Data dari World Bank menunjukkan bahwa lebih dari 700 juta orang di dunia masih hidup dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2023. Dalam konteks ini, solusi yang bersifat pragmatis semata tidak cukup. Islam hadir dengan sistem nilai dan perangkat sosial-ekonomi yang dirancang untuk menghapus kemiskinan dari akar-akarnya.

 

Kemiskinan struktural merupakan bentuk kemiskinan yang disebabkan oleh ketimpangan sistemik dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Berbeda dengan kemiskinan individual yang dipicu oleh faktor personal seperti kemalasan atau kurangnya keterampilan, kemiskinan struktural berlangsung secara sistemik dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

 

Kemiskinan merupakan permasalahan multidimensional yang tidak hanya menyangkut ketiadaan penghasilan, tetapi juga keterbatasan akses terhadap sumber daya, pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi. Kemiskinan struktural adalah jenis kemiskinan yang muncul akibat kebijakan, institusi, dan sistem ekonomi yang tidak adil dan eksklusif. Fenomena ini sangat sulit diberantas tanpa perubahan sistemik karena akar penyebabnya berada dalam struktur sosial dan ekonomi itu sendiri (Galtung, 1969; Sen, 1999).

 

Salah satu faktor utama kemiskinan struktural adalah ketimpangan dalam penguasaan dan akses terhadap sumber daya, seperti tanah, air, modal, dan pendidikan. Di banyak negara berkembang, kepemilikan lahan didominasi oleh sekelompok kecil elite, sementara mayoritas masyarakat hanya menjadi buruh tani tanpa kepastian ekonomi (Todaro & Smith, 2012).

 

Struktur ekonomi yang berpihak pada kapital besar (sistem kapitalisme) dan melemahkan pelaku usaha kecil turut memperkuat kemiskinan. Kebijakan fiskal dan moneter sering kali lebih menguntungkan korporasi dibandingkan masyarakat miskin. Globalisasi ekonomi tanpa regulasi yang adil juga memperparah ketimpangan antara pusat dan pinggiran (Stiglitz, 2002).

 

Kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat miskin, seperti pemotongan subsidi kebutuhan pokok atau minimnya jaminan sosial, memperkuat kemiskinan struktural. Seringkali, anggaran pembangunan lebih banyak dialokasikan untuk sektor makroekonomi dan infrastruktur padat modal daripada pengembangan sumber daya manusia dan sektor informal (Bappenas, 2020).

 

Faktor sosial seperti diskriminasi berbasis suku, agama, gender, atau status sosial juga menyebabkan kelompok tertentu mengalami marginalisasi berkelanjutan. Kelompok yang terpinggirkan ini seringkali tidak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan publik, sehingga peluang untuk keluar dari kemiskinan sangat terbatas (UNDP, 2016).

 

Keterbatasan akses terhadap pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan dasar menjadi penghambat mobilitas sosial. Ketika anak-anak dari keluarga miskin tidak mendapatkan pendidikan yang layak, mereka cenderung mengulang nasib orang tua mereka sebagai pekerja berupah rendah (Sen, 1999).

 

Kemiskinan struktural bukanlah akibat dari kegagalan individu semata, melainkan hasil dari sistem sosial dan ekonomi yang timpang. Penyebabnya mencakup ketimpangan akses terhadap sumber daya, kebijakan publik yang tidak berpihak, sistem ekonomi eksklusif, serta diskriminasi sosial dan rendahnya kualitas layanan publik. Oleh karena itu, solusi terhadap kemiskinan struktural menuntut perubahan paradigma dalam perumusan kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, redistribusi aset, dan pemberdayaan masyarakat miskin secara menyeluruh.

 

Konsep Islam tentang Kemiskinan

 

Dalam Islam, kemiskinan (al-faqr) dipandang sebagai keadaan yang harus dihindari dan diberantas. Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran.” (HR. Abu Dawud). Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis menunjukkan bahwa Islam sangat menaruh perhatian terhadap kaum fakir miskin dan menempatkan mereka dalam prioritas penerima hak sosial. Kemiskinan bukan hanya menjadi urusan pribadi, tetapi menjadi tanggung jawab kolektif umat dan negara.

 

Zakat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim yang mampu. Zakat bukan sekadar ibadah, tetapi juga mekanisme redistribusi kekayaan: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At-Taubah: 103). Menurut Chapra (2000), zakat dalam sistem ekonomi Islam setara dengan pajak progresif dalam sistem modern, tetapi lebih bersifat spiritual dan sosial karena menyucikan harta dan jiwa.

 

Wakaf adalah pemberian harta untuk kepentingan umum secara permanen. Institusi wakaf, bila dikelola profesional, dapat menciptakan aset produktif seperti rumah sakit, sekolah, dan lahan pertanian untuk membangun kemandirian ekonomi masyarakat miskin (Kahf, 2003).

 

Islam melarang riba karena menciptakan ketimpangan sosial dan memiskinkan masyarakat. Sebagai gantinya, Islam menawarkan sistem keuangan berbasis bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) yang adil dan menguntungkan kedua belah pihak.

 

Dalam sistem khilafah atau pemerintahan Islam, negara bertugas menjamin kebutuhan dasar setiap individu seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Negara juga bertindak sebagai pengelola sumber daya alam dan pendistribusi kekayaan kepada rakyat (An-Nabhani, 2001).

 

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kemiskinan berhasil diberantas dalam waktu singkat. Dikisahkan bahwa tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat karena semua kebutuhan mereka telah terpenuhi. Hal ini menunjukkan efektivitas sistem Islam jika diterapkan secara utuh dan adil (Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyah).

 

Islam menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas dan komprehensif dengan mengintegrasikan aspek spiritual, sosial, dan ekonomi. Instrumen seperti zakat, infak, wakaf, serta sistem distribusi kekayaan yang adil menjadi fondasi utama. Lebih dari itu, peran aktif individu, masyarakat, dan negara diperlukan untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata.

 

Sistem Islam bukan hanya idealis, tetapi juga realistis dan historis telah terbukti mampu menyejahterakan umat manusia. Sebab kekayaan alam yang melimpah dari Allah ditetapkan sebagai milik umum (milkiyah ammah) yang pengelolaannya diamanahkan kepada negara untuk Kesejahteraan rakyat. Haram privatisasi SDA dalam Islam. kondisi ini hanya bisa terwujud dalam sistem Islam yang disebuth khilafah Islamiyah.  

 

Daftar Pustaka

  • Chapra, M. U. (2000). The Future of Economics: An Islamic Perspective. Islamic Foundation.
  • Kahf, M. (2003). The Role of Waqf in Improving the Ummah Welfare. Islamic Research and Training Institute.
  • An-Nabhani, T. (2001). Nizhamul Islam (Sistem Islam). Al-Khilafah Publications.
  • Al-Mawardi. Al-Ahkam As-Sultaniyah.
  • Qur’an Al-Karim dan Hadis-hadis Shahih

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1091/01/08/25 : 05.40 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.