Oleh : Ahmad Sastra
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
tradisional yang memainkan peran penting dalam pembentukan karakter dan
keilmuan santri. Namun, dalam era modern yang sarat informasi, penguatan budaya
literasi di lingkungan pesantren menjadi tantangan sekaligus kebutuhan
mendesak.
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi
strategi-strategi efektif dalam mengembangkan budaya literasi di kalangan santri.
Melalui pendekatan deskriptif-kualitatif dan studi pustaka, penelitian ini
menunjukkan bahwa strategi berbasis integrasi kurikulum, pembiasaan membaca,
pemanfaatan teknologi, serta keteladanan dari para kiai dan ustadz sangat
efektif dalam menumbuhkan minat dan keterampilan literasi santri.
Literasi merupakan fondasi utama dalam proses
pendidikan. Dalam konteks pesantren, yang dikenal sebagai pusat pengkaderan
ulama dan pendidik moral bangsa, penguatan budaya literasi menjadi sangat
relevan. Literasi dalam arti luas mencakup kemampuan memahami, mengolah, dan
menyampaikan informasi dalam berbagai bentuk dan konteks. Meskipun pesantren telah
lama dikenal sebagai tempat pembelajaran kitab kuning yang mendalam, budaya
literasi dalam arti modern—terutama literasi baca tulis dan digital—masih
membutuhkan perhatian lebih.
Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud, 2021), minat baca pelajar Indonesia masih tergolong rendah,
termasuk di lingkungan pesantren. Oleh karena itu, diperlukan strategi-strategi
konkret yang kontekstual dengan kehidupan santri untuk menumbuhkan dan
menguatkan budaya literasi di pesantren.
Literasi dalam Konteks Pendidikan Pesantren
Pesantren memiliki kekayaan tradisi keilmuan berbasis
teks, utamanya kitab kuning, yang sebenarnya merupakan bentuk literasi klasik
Islam. Namun, pendekatan terhadap teks sering kali bersifat tradisional, dengan
penekanan pada hafalan dan pemahaman literal. Literasi modern menuntut lebih
dari itu, yakni kemampuan berpikir kritis, reflektif, dan komunikatif.
Budaya literasi modern yang terintegrasi dengan
tradisi pesantren dapat memperluas cakrawala berpikir santri dan menjadikan
mereka mampu merespons tantangan zaman. Menurut Zuhairini et al. (1997),
pesantren sejatinya memiliki potensi besar dalam mengembangkan literasi karena
memiliki waktu belajar intensif dan suasana akademik yang mendalam.
Strategi Penguatan Budaya Literasi di Pesantren. Pertama,
Integrasi Kurikulum Literasi dalam Pembelajaran Kitab Kuning. Literasi tidak
harus dipisahkan dari pembelajaran kitab klasik. Pengasuh dan pengajar dapat
menyisipkan kegiatan analisis teks, diskusi kritis, penulisan reflektif, dan
debat ilmiah dalam proses ngaji kitab. Hal ini akan membantu santri tidak hanya
memahami teks, tetapi juga mengasah nalar kritis mereka. “Literasi kontekstual
dalam pesantren harus dikembangkan sejalan dengan tradisi pembelajaran yang
sudah ada.” (Yusron, 2020)
Kedua, Pengadaan Pojok Baca dan Perpustakaan Digital
Pesantren. Perpustakaan menjadi sarana vital dalam mengembangkan budaya
literasi. Pojok baca yang nyaman dan koleksi buku yang bervariasi (fiksi,
nonfiksi, keislaman, sains populer) bisa menjadi media rekreasi edukatif bagi
santri. Pemanfaatan perpustakaan digital dan e-book juga memudahkan akses
informasi.
Ketiga, Gerakan Literasi Santri (GLS) Berbasis
Komunitas. Pesantren dapat membentuk klub baca, komunitas menulis, dan forum
diskusi santri. Kegiatan seperti bedah buku, lomba menulis esai, hingga
pelatihan jurnalistik santri dapat membangun antusiasme terhadap kegiatan
literasi.
Keempat, Pemanfaatan Teknologi dan Media Digital. Di
era digital, literasi bukan hanya soal baca tulis, tetapi juga literasi media,
informasi, dan digital. Santri perlu diajarkan cara menggunakan internet secara
produktif, untuk mencari referensi, menulis blog, membuat konten edukatif, dan
berdakwah digital secara bijak. “Digitalisasi pesantren harus diiringi dengan
penguatan literasi digital santri untuk mencegah disinformasi.” (Ma’arif
Institute, 2022).
Kelima, Keteladanan dari Pengasuh, Kiai, dan Ustadz. Budaya
literasi tidak akan hidup tanpa keteladanan. Kiai atau guru yang gemar membaca,
menulis, dan berdiskusi akan menjadi inspirasi bagi santri. Pengasuh pesantren
bisa memberikan ceramah atau khutbah yang dikaitkan dengan pentingnya ilmu dan
literasi.
Beberapa tantangan dalam penguatan literasi santri
antara lain: (1) Terbatasnya koleksi buku dan infrastruktur perpustakaan (2) Kurangnya
pelatihan guru dalam literasi modern (3) Keterbatasan waktu di tengah jadwal
ngaji yang padat
Solusinya mencakup kolaborasi dengan pihak luar
(perpustakaan daerah, NGO literasi), penyediaan pelatihan bagi ustadz/ustadzah,
dan penyisipan kegiatan literasi dalam sela kegiatan harian santri.
Penguatan budaya literasi santri di pesantren
merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditunda. Dengan strategi yang kontekstual
dan berkelanjutan, termasuk integrasi literasi dalam kurikulum, penyediaan
fasilitas baca, pengembangan komunitas literasi, pemanfaatan teknologi, serta
keteladanan para guru, pesantren dapat menjadi pelopor dalam mencetak generasi
Muslim yang literat, cerdas, dan bijak dalam menyikapi perkembangan zaman.
Daftar Pustaka
- Kemendikbud. (2021). Peta Jalan Literasi Nasional 2021–2025.
Jakarta: Kemendikbud RI.
- Ma’arif Institute. (2022). Literasi Digital Santri: Panduan
untuk Pesantren dalam Era Digital. Jakarta: Ma’arif Institute.
- Qomar, M. (2007). Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
- Shihab, M.Q. (2006). Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
- UNESCO. (2023). Global Literacy Report. Paris: UNESCO
Publishing
- Yusron, M. (2020). “Strategi Pengembangan Literasi di Pesantren.” Jurnal
Tarbawi, 5(1), 23–35.
- Zuhairini, et al. (1997). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1087/25/07/25 :
05.31 WIB)