Oleh : Ahmad Sastra
Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW penuh dengan
rangkaian peristiwa yang menyentuh hati dan sarat pelajaran. Salah satu
peristiwa paling memilukan adalah wafatnya sang ibu, Aminah binti Wahab, saat
Nabi masih berusia 6 tahun. Peristiwa ini terjadi di daerah Abwa, dalam
perjalanan pulang dari Madinah ke Makkah.
Dengan wafatnya Aminah, Nabi Muhammad SAW resmi
menjadi yatim piatu, kehilangan kedua orang tuanya di usia yang sangat belia. Momen
ini bukan sekadar bagian dari sejarah kehidupan Rasulullah, tetapi menyimpan
nilai-nilai kemanusiaan, spiritual, dan psikologis yang relevan sepanjang
zaman. Artikel ini membahas peristiwa tersebut, hikmahnya, serta pelajaran yang
dapat diambil umat Islam.
Setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW, Aminah merawat anak
semata wayangnya seorang diri. Sang suami, Abdullah bin Abdul Muthalib, telah
wafat sebelum putra mereka lahir. Ketika Muhammad berusia sekitar 6 tahun,
Aminah memutuskan untuk mengunjungi kerabatnya di Yatsrib (Madinah), sekaligus
mengenalkan anaknya kepada keluarga dari pihak ayah.
Perjalanan ke Madinah saat itu cukup panjang dan
melelahkan. Setelah beberapa waktu tinggal di sana, Aminah dan rombongan
kecilnya memulai perjalanan kembali ke Makkah. Namun, di tengah perjalanan,
tepatnya di daerah Abwa, Aminah jatuh sakit dan akhirnya wafat. Jenazahnya
dimakamkan di tempat itu. Anak kecil berusia 6 tahun itu kini sendirian, tanpa
ayah dan ibu, seorang yatim piatu. Ia kemudian diasuh oleh kakeknya, Abdul
Muthalib.
Meskipun terlihat tragis, kematian ibunda Rasulullah
SAW memiliki hikmah besar dalam pembentukan karakter dan misi kerasulan beliau.
Beberapa di antaranya:
Pertama, Mendidik Nabi Menjadi Pribadi yang Tangguh
dan Mandiri. Kehilangan dua sosok terpenting di usia sangat muda mendidik Nabi
untuk menjadi mandiri, tangguh, dan tidak bergantung pada manusia. Ia belajar
untuk mengandalkan pertolongan Allah SWT sejak usia dini.
Kedua, Menumbuhkan Empati yang Luar Biasa terhadap
Anak Yatim. Pengalaman pribadi sebagai yatim piatu membuat Nabi sangat memahami
penderitaan anak-anak yatim. Hal ini terbukti dalam banyak sabdanya yang
memuliakan anak yatim dan perhatiannya dalam menyantuni mereka. Seperti sabda
beliau: “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga
seperti ini.” (HR. Bukhari)
Ketiga, Menjadi Teladan Bahwa Kesulitan Bukan Halangan
untuk Sukses. Nabi Muhammad SAW adalah contoh nyata bahwa latar belakang sulit
tidak menentukan masa depan seseorang. Lahir sebagai yatim piatu, tanpa warisan
dan tanpa perlindungan istimewa, beliau justru tumbuh menjadi manusia paling
berpengaruh dalam sejarah.
Keempat, Kehilangan Duniawi untuk Menguatkan Ikatan
Spiritual. Dengan kehilangan orang tua sejak dini, ikatan Rasulullah dengan
Allah SWT tumbuh lebih dalam. Tidak ada sosok manusia yang terlalu mendominasi
kehidupan beliau sejak kecil, sehingga kebergantungan hati dan harapan hanya
kepada Tuhan semesta alam.
Peristiwa wafatnya Aminah binti Wahab membawa
pelajaran besar bagi umat Islam hingga hari ini: Pertama, Pentingnya Merawat
dan Menyayangi Anak Yatim. Islam memerintahkan umatnya untuk memperhatikan anak
yatim dan tidak menyakiti mereka, baik secara fisik maupun emosional. Allah SWT
berfirman: "Maka adapun anak yatim, maka janganlah kamu berlaku
sewenang-wenang terhadapnya." (QS. Ad-Dhuha: 9)
Kedua, Kesabaran dalam Menghadapi Ujian Kehidupan. Nabi
Muhammad SAW tidak mengeluh atau menyalahkan takdir atas kehilangan orang
tuanya. Ia tetap tumbuh dengan kepribadian luhur. Ini mengajarkan kita bahwa kesedihan
boleh hadir, tetapi jangan menjauhkan diri dari Allah.
Ketiga, Meneladani Rasul dalam Menghadapi Kesedihan. Banyak
dari kita mengalami kehilangan orang yang dicintai. Nabi pun pernah
merasakannya. Namun, ia memilih bersabar, terus berbuat baik, dan tidak larut
dalam duka. Keteladanan ini penting bagi siapa pun yang sedang menghadapi ujian
kehidupan.
Wafatnya Aminah binti Wahab saat Nabi Muhammad SAW
baru berusia 6 tahun merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan. Namun
di baliknya, tersembunyi hikmah besar yang membentuk pribadi agung Rasulullah:
penuh kasih, kuat, dan penuh keimanan. Peristiwa ini juga menjadi pengingat
abadi bahwa siapa pun yang mengalami ujian berat di masa kecil, bukan berarti
tertutup jalan menuju keberhasilan dan kemuliaan. Justru, seperti Nabi, mereka
bisa menjadi cahaya bagi dunia.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1105/24/08/25 : 09.30 WIB)